Hanya tiga kali saya membeli Innova. Begini ceritanya, dengan meniru gaya cerpen Franz Kafka dalam cerpen “Sebelas Putra”.
Innova pertama saya berwarna merah. Tubuhnya tambun, tapi tak terkesan sombong. Itu mobil second hand yang kilometernya baru dua ribuan. Jelas masih sangat kempling. Kau bisa bayangkan kening agak berkeringat Dek Nella Kharisma saat menyanyikan lagu “Kelayung-layung”. Umpama ada nyamuk yang hinggap, niscaya akan langsung kepleset saking licinnya.
Begitulah si merah itu menggantikan Kijang Krista biru yang saya pakai selama setahunan. Tenaganya jelas powerful, handling mantap, dan yang paling saya sukai ialah suara knalpotnya yang sangat garing-gurih macam bunyi kerupuk yang terinjak setelah baru saja diangkat dari penggorengan. Kriuk banget.
Sayangnya, Innova pertama ini bernasib paling malang di antara sekian banyak petualangan saya bersama berbagai jenis mobil. Saya terkaget-kaget setelah mengetahui dengan meyakinkan bahwa konsumsi BBM-nya sungguh mengharukan.
Begini gambarannya.
Kamu kenalan sama seorang perempuan yang good looking dan tanpa memerlukan perjuangan penuh drama macam kisah cinta “aku” dan Midori dalam Norwegian Wood, jadilah cewek memikat itu kamu ajak jalan-jalan. Lalu, sebagai kebaikan khas lelaki, kamu ajak dia ke sebuah restoran. Kamu memesankan menu yang banyak dan semuanya dihabiskan tanpa sisa secuil pun. Lalu lanjutlah jalan-jalanmu berkeliling Malioboro, Kusumanegara, Timoho, Babarsari, dan tepat di Seturan ia memintamu masuk ke restoran lagi.
Makan lagi!? Alamak!
Borosnya subhanallah, demikianlah “kegagalan” Innova produk awal. Saya pun melepasnya.
Sekian tahun kemudian dalam durasi yang cukup lama, setelah saya berkelana dengan pelbagai varian mobil (sekadar menyegarkan ingatanmu), dari Mercy SLK250, CR-V, Jazz, Camry, Accord, dan tentu saja MPV Alkampret berplat AB 94 RA itu, saya membeli Innova manual tipe G warna hitam. Tidak ada niatan untuk menjadikannya kendaraan pribadi. Itu saya beli barengan sejumlah unit mobil MPV lainnya untuk membuka bisnis rental mobil—belakangan bisnis ini saya tutup karena sejumlah unitnya saya hadiahkan ke sejumlah lembaga dan person. Songong? Ben!
Jelas saja saya merasa turun harkat dan martabat untuk mengemudikan mobil manual. Saya telah terlampau lama terbiasa memakai matic. Tetapi, keluhan-keluhan yang menembus ulu hati kepada Alkampret laknat itu—bikin pusing dan mual—memaksa saya untuk menggunakan Innova. Memilih pakai mobil ini cuma untuk mengakomodir jumlah anggota keluarga yang tak muat pakai CR-V atau Accord atau Camry.
Dua tiga kali perjalanan bersama keluarga menggunakan Innova hitam manual membuat saya mulai menemukan kenyamanannya. Pada dasarnya, mobil ini adalah mobil kategori MPV yang nyaman. Cocok untuk keluarga atau penumpang banyak. Dan, hal yang paling mengejutkan saya ialah tenggakan bensinnya normal belaka. Tidak sesadis yang merah dulu.
Perkaranya kini ialah saya kurang nyaman dengan manual. Ini tetap saja menjadi gangguan batin yang kadang kala hadir di dalam lelap. Tentu saja ini berlebihan.
Pikir punya pikir dalam waktu singkat saya jual Innova hitam manual itu. Saya lalu membeli Innova putih matic diesel. Mulanya saya tidak suka diesel. Suaranya pasti berisik macam mobil travel.
Mas Joko, sales Toyota langganan, meyakinkan saya bahwa varian matic bensin kurang powerful. Dia tahu benar selera saya. Ia menyarankan supaya mengambil versi diesel saja. Dijamin jos gandos powernya, begitu tegasnya.
Saya sepakat. Innova hitam manual yang baru seumur dua bulanan itu saya jual. Begitulah. Rugi 50 jutaan. Saya selalu tergumun-gumun: mengapa setiap saya jual mobil selalu rugi tetapi para pedagang mobil selalu untung ya? Ah, sudahlah, memang hanya pikiran goblok, tetapi sungguh pula sangat tak masuk akal.
Innova diesel matic putih inilah yang terus bertahan sampai kini. Jika saya bepergian bersama keluarga dalam formasi lengkap, yang tak muat dengan mobil dua baris, pastilah Innova ini yang saya kemudikan. Selalu begitu.
Anda tahu tanjakan terjal menuju Candi Cetho Karanganyar dan Suko? Itu kurang terjal, Bro, buat tenaga diesel Innova matic ini. Iya, matic!
Sudah tiga tahunan ini Innova diesel matic putih ini menemani saya—meski tidak untuk harian. Sesekali saja jika bepergian bersama. Tak ada keluhan apa pun dari para penumpang, sebagaimana mereka rajin mengeluhkan rasa mual dan pusing saat menumpang MPV Alkampret yang syahdan mobil premium itu. Taek!
Sejujurnya, meski telah berkategori mobil keluarga yang nyaman, saya masih saja acap berpikir, apa ya mobil MPV yang lebih premium ketimbang Innova tetapi diterima dengan senang hati oleh seluruh anggota keluarga? Pastinya jangan pernah sebut Alkampret dalam model terbaru apa pun (termasuk yang sekarang bemper depannya macam gigi robot itu) karena kami telah talak tiga dengannya.
Saya tak menemukan jawabannya. Sampai saat ini Innova diesel matic adalah the best mobil gede buat jalan-jalan kompak bersama keluarga. Boleh sepakat atau tidak, tapi saya selalu mengatakan kepada teman-teman yang telah beranak pinak: “Jika suatu hari kamu punya rejeki, gantilah mobil kaleng bekas Khong Guanmu dengan Innova. Tawakal sih tawakal, tapi sekali njebluk, modar semua anggota keluargamu. Anggap saja itu ikhtiar untuk melindungi keluargamu dari njebluk kolektif dengan cara menggunakan Innova.”
Kekurangan Innova? Silakan Anda sebutkan sendiri ya.