MOJOK.CO – Dengan keperkasaan keuangan Cina, kelak semua negara akan aseng pada waktunya. Tak terkecuali dengan Turki.
Mahabenar apa yang dikatakan Perdana Menteri Dinasti Tang Zhang Yanshang (727–787) ini: “Qian zhi shi wan, ke tong shen yi, wu bu ke hui zhi shi.”
Wejangan itu ana kutip dari antologi cerita mini Youxian Guchui (Nyanyian Sunyi) karya Zhang Gu, prosais dinasti Tang yang—seperti judul bukunya—namanya cuma sayup-sayup terdengar dalam kesusastraan Cina.
Terjemahan bebasnya kira-kira: “Jika duitmu triliunan, dewa pun bisa kau taklukkan, maka tak bakal ada sesuatu yang tak bisa kau lakukan.”
Butuh bukti? Silakan kisanak tengok bagaimana para ulama sudah bersusah payah dan berkorban banyak demi menghelat ijtima ulama buat merekomendasikan pasangan calon presiden dan wakil presiden sedari jauh-jauh hari, namun terjungkal dalam tempo yang sesingkat-singkatnya akibat ditikung kiri tanpa klakson oleh “kardus” seharga masing-masing Rp500 miliar.
Tapi ana tak hendak membahas itu. Soalnya, di samping tidak ada sangkut pautnya dengan Cina, ana juga takut jadi baper kalau ikut-ikutan ngerumpi masalah ini. Biarkan Aktivis 98 cum Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief bersama PKS dan PAN yang berantem. Ana gelar tikar saja, nonton.
Baiklah, kali ini izinkan ana berbuat dosa menyuguhkan secuil data fulus-fulus haram Cina yang secara masif membanjiri Turki, negeri yang senantiasa dipuja setinggi langit kesuciannya dan dielu-elukan sebagai role model bagi negara Indonesia kita tercinta.
Tujuan ana tak lain dan tak bukan supaya kita sama-sama mafhum bahwa, pascakrisis finansial global 2008 yang berimbas pada relatif melemahnya kedigdayaan ekonomi Amerika, mau mencari negara yang tidak main mata dengan Cina yang kaya raya agaknya kian menjadi mission impossible belaka.
Bila boleh ana terawang, dengan keperkasaan keuangan Cina, kelak semua negara di bumi datar ini sepertinya akan aseng pada waktunya—Turki pun tak terkecuali. Dan, sekarang sudah mulai ada tanda-tanda ke arah situ.
Begini. Ana hakulyakin antum yang mengikuti berita perkembangan perekonomian dunia pasti tahu info valid bin sahih terkini tentang Turki yang megap-megap lantaran nilai tukar lira terhadap dolar Amerika (USD) terdepresiasi: nyungsep dari yang awalnya sekitar 3,7 ke kisaran 6,9 per USD.
Pemicunya tentu bukan Yahudi yang berkonspirasi dengan komunis-kafir-laknatullah, tapi karena—sederhananya—ketergantungan pertumbuhan ekonomi Turki kepada utang luar negeri berdenominasi USD, yang dulunya memang murah meriah sebab kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) The Fed, Bank Sentral Amerika, sekaligus inflasi tinggi sampai dua digit di tengah pemerintahan yang enggan menaikkan suku bunga.
Sialnya, seiring dengan kian menggunungnya utang Turki dan banyaknya pinjaman yang bakal jatuh tempo, harga USD belakangan ini malah terus ngegas terapresiasi. Otomatis, beban tagihan bekas Kekhalifahan Utsmani terakhir itu makin bikin pusing pala barbie.
Lebih bedebahnya lagi, pada waktu yang sama, relasi Amerika dengan Turki juga sedang uring-uringan. Presiden Donald Trump ngamuk gegara permintaan Washington untuk melepas pastor Amerika yang ditahan Turki karena dituduh sebagai mata-mata, tidak dikabulkan Ankara.
Yang Mulia Recep Erdoğan pun naik darah lantaran Amerika menaikkan tarif impor baja dan aluminium asal Turki yang menyebabkan harga jualnya sulit berkompetisi dengan barang serupa dari negara lain.
Karena itu, Paduka Erdoğan dalam artikelnya yang dimuat di pagina A21 The New York Times edisi 13 Agustus 2018 kemarin langsung mengancam akan “memulai mencari kawan-kawan dan sekutu-sekutu baru” kalau Amerika ogah “mengubah tren unilateralisme dan tidak hormat (disrespect)” terhadap Turki yang “memiliki alternatif-alternatif.”
Garang sekali, bukan? Itu belum seberapa. Al-Mukarram Erdoğan dalam khotbahnya bakda salat Jumat yang dilansir laman Hürriyet Daily News (10/8) berfatwa, “Kita tidak akan kalah dalam perang ekonomi ini. Mereka boleh memiliki dolar, tapi kita memiliki rakyat dan Allah.”
Tafaḍḍal kalau antum mau memekikkan takbir euforia karena mengira itu adalah wujud nyata kegagahan Tuan Erdoğan yang tidak mau tunduk pada imperialisme asing dan lebih berserah diri kepada Tuhan, tetapi antum bakal segera kecewa karena kawan-kawan dan sekutu-sekutu baru yang akan dijadikan alternatif Turki itu, di samping si komunis Rusia dan si Syi’ah Iran, ternyata adalah aseng.
Na‘am, hiya Jumhūriyyah al-Ṣīn al-Sya‘biyyah alias Republik Rakyat Cina, yā akhī! Ini ceritanya persis seperti apa yang dibilang pepatah ugal-ugalan: terbebas dari singa, malah tersambar naga.
Betapa tidak? Sebagaimana ditulis ekonom David P. Goldman di Asia Times (10/8), Turki sedang mengkaji peluang penerbitan surat utang dalam bentuk yuan (Panda Bonds) sebagai salah satu cara untuk mendiversifikasi produk surat utangnya agar tidak melulu berkomposisi USD.
Sebenarnya, setahu ana ancang-ancangnya sudah dimulai sejak Februari 2018 ketika Kementerian Keuangan Turki—yang kini menterinya dijabat oleh Berat Albayrak, menantunya Pak Erdoğan sendiri—memandati Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Bank of China (BOC), beserta The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) untuk menggelar studi kemungkinan Ankara bisa berutang ke Beijing pakai skema Panda bonds.
Barangkali Turki tergiur mengikuti jejak Sharjah, emirat terbesar ketiga di negara federasi Uni Emirat Arab yang, dengan dibopong ketiga bank dimaksud, sukses mendapat “Panda Bonds” senilai 2 Miliar Yuan pada 1 Januari 2018 silam.
Walakin, biar enggak rempong-rempong amat, Turki sebetulnya bisa meniru pemerintah Arab Saudi yang meminjam USD 950 juta langsung kepada ICBC pada Mei 2016 sebelum sebulan setelahnya Saudi Electricity Company—yang 74,3 persen sahamnya dimiliki oleh Kerajaan Saudi—juga berutang USD 1,5 miliar ke bank tertajir sejagat tersebut.
Atau, Turki bisa “menjual beberapa aset paling berharga negaranya” ke Cina sesuai anjuran Goldman di artikel yang ana nukil di muka. Ana pikir, itu saran yang tak kalah realistis. Pasalnya, Turki jelas tak kurang pengalaman dalam hal berjualan aset ke Cina.
Pada April 2015, misalnya, Turki menjual 75,5 persen saham Tekstilbank kepada ICBC. Sejak itu, ICBC intens menjadi penyokong handal megaproyek-megaproyek Turki. Dilaporkan portal berita Sina (15/8), tanggal 26 Juli tempo hari, ICBC resmi meminjamkan USD 3,6 miliar buat membiayai sektor energi dan transportasi Turki. Lima hari kemudian, 31 Juli, ICBC kembali dipercaya Turki menalangi proyek Jembatan Yavuz Sultan Selim dan Tol Marmara Utara sebesar USD 2,7 miliar.
Belum puas jual bank, pada 16 September 2015, Turki menjual 65 persen saham Kumport seharga hampir USD 1 miliar kepada tiga perusahaan pelat merah Cina. Dengan diakuisisinya pelabuhan terbesar ketiga di Turki yang letaknya tak jauh dari Selat Bosporus yang strategis itu, Cina tak pelak bisa lebih leluasa berdagang sampai Eropa.
Yang teranyar, ana baca di China Daily (16/8), sebagian besar saham Trendyol, perusahaan e-commerce Turki, baru-baru ini juga dijual ke Alibaba miliknya Jack Ma. Konon harganya USD 750 juta.
Ya begitulah, Cina tampaknya memang benar-benar trengginas dalam mengejawantahkan strategi “merampok rumah kebakaran” yang diajarkan kitab Tiga Puluh Enam Taktik (Sanshiliu Ji) peperangan Cina kuno.
Jadi gimana nih, Baginda Erdoğan mau ngutang apa mau jualan saja?
Tenang, kalau Cina bergeming, patik sarankan kompori saja itu isu agama kaum Uighur keturunan Turki di Xinjiang sana. Keseruannya dijamin bakal sampai juga ke Indonesia.