Beberapa waktu lalu saya mudik ke Lamongan. Seperti biasa, saya memikirkan bahwa desa, masa lalu, ketenangan, akan baik untuk memulai menulis sesuatu yang baru atau memulai lagi proyek-proyek yang macet. Jika lancar, saya mungkin akan bertahan di desa seminggu atau dua minggu atau bisa lebih lama lagi. Tapi, seperti biasanya juga, hal itu selalu sulit saya lakukan. Alih-alih menulis, saya malah hanya menghabiskan waktu untuk nongkrong di satu warung kopi ke warung kopi lain, dari obrolan lama yang diulang-ulang ke obrolan lama lain yang diulang-ulang lagi—seperti yang sudah-sudah. Pada akhirnya, saya biasanya hanya bertahan tiga sampai empat hari di kampung. Saya merindukan kamar baru saya di Jogja.
“Aku besok pulang ke Jogja,” kata saya kepada teman saya, Wahab, di tengah obrolan yang sudah kelewat malam di luar sebuah warung kopi di pinggir jalan desa kami.
“Pulang?” tanyanya balik. Dan ia melanjutkannya dengan nada sebal: “Ya, pulang sana! Toh di sini cuma berkunjung ke rumah nenek!”
Saya tertawa-tawa, sementara ia terus mengomel. Saya tentu saja bercanda, dan itu tak saya lakukan untuk pertama kalinya. Saya mengulanginya hanya untuk membuat Wahab kesal. Saya tahu ia akan kesal. Dan ia memang pantas merasa kesal.
Wahab adalah bekas perantau, seperti kebanyakan warga desa kami. Ia pernah ke Malaysia, lalu memutuskan pulang kampung dan tak kembali lagi. Entah buku motivasi jenis apa yang dulu dibacanya, atau nasihat siapa yang didengarnya, ia belanjakan sebagian besar hasil kerjanya di Malaysia untuk membeli beberapa ekor kambing dan memantapkan diri menjadi peternak. Mungkin dikiranya ia bisa merasakan indahnya jadi gembala, pengalaman yang tak benar-benar dirasakannya sewaktu kecil. Tak menunggu lama, peternakan yang saya duga lebih didorong pertimbangan emosional dibanding rasional itu pun gagal. Tampangnya yang sangar membuatnya jadi satpam di beberapa pabrik di kawasan Pantura. Belakangan, ia memutuskan keluar dari pekerjaan dan memulai bisnis penjualan online, setelah sebelumnya mencoba-coba banyak usaha. Saya berharap bisnisnya kali ini bagus, atau setidaknya baik-baik saja. Namun, melihat intensitasnya ngopi bersama saya, saya khawatir yang terjadi adalah sebaliknya. Ia memang banyak gagal, dan mungkin karena itu kami berteman.
Tapi setidaknya Wahab berhasil dengan satu hal: pulang. Ia kembali ke rumah tempat ia lahir dan besar, dan selalu memiliki pertimbangan yang sulit dan rumit ketika kesempatan pergi atau berpindah tempat datang kembali menghampirinya: bagaimana dengan rumah, bagaimana dengan desa, bagaimana dengan orang-orang, bagaimana dengan ini, bagaimana dengan itu.
Saya lebih dulu keluar desa dibanding Wahab, karena saya lebih tua darinya. Namun, berkebalikan dengannya, saya selalu memiliki pertimbangan yang sulit dan rumit justru ketika hendak “pulang”.
Mungkin karena ada hal mendasar yang membedakan saya dengan Wahab dan para bekas perantau yang lain. Saya, tak seperti mereka, tak pernah benar-benar merasa merantau.
***
Saya meninggalkan desa di usia lima belas, setelah berhasil melewati seleksi sebuah sekolah menengah atas negeri yang cukup baik di sebuah kota kecil berjarak dua jam dengan angkutan umum dari kampung halaman. Tinggal di sebuah pesantren kecil dan murah, saya pulang ke ke rumah sebulan sekali atau bisa kurang dari itu. Sejak itu, saya sebenarnya telah berjarak dengan desa. Tak semua hal yang terjadi di desa saya tahu. Jika pun tahu, kebanyakan saya ketahui dari kata orang.
Saat ke Jogja untuk kuliah, tak ada kondisi psikologis yang terlalu berubah. Saya merasa saya hanya melanjutkan sekolah ke tempat yang lebih jauh. Dan hanya karena pertimbangan ekonomi sajalah jika kemudian saya lebih jarang pulang kampung dan, oleh karena itu, lebih berjarak lagi dengan desa kelahiran. “Saya sudah tak tahu lagi siapa yang lahir, siapa yang mati,” demikian istilah yang sering saya pakai, biasanya untuk berlindung dari ketaktahuan yang fatal bahwa seorang famili jauh telah meninggal atau seorang bocah tak saya kenal yang bermain di depan rumah adalah anak dari seorang sepupu.
Perihal “tak tahu siapa yang lahir dan siapa yang mati” ini pernah saya alami di tingkat yang hampir tragis dan sulit diterima. Suatu hari, saya pulang dari Jogja untuk alasan yang rutin, yaitu Lebaran. Seseorang yang berpapasan dengan saya di jalan menyapa, “Mau ziarah ini?” Saya yang menyangka itu sebagai semacam sindiran membalasnya dengan tertawa, “Memang siapa yang mati?” Saya tak mendapat jawaban dari si penyapa, namun segera tahu apa yang terjadi begitu sampai di rumah. Kakek saya dari pihak Bapak rupanya meninggal hampir sebulan yang lalu, dan tak seorang pun memberi tahu saya. Kami tak terlalu dekat, tapi betapa terlambatnya saya tahu perihal kematiannya sungguh memukul saya.
Sampai di sini, bukankah apa yang terjadi pada saya juga terjadi dengan kebanyakan perantau? Ya, tapi dengan gampang saya bisa membedakannya. Kenapa tak seorang pun memberi tahu saya perihal kematian Kakek, misalnya? Karena kedua orang tua saya tidak di rumah. Merekalah yang merantau, bukan saya.
“Mondok kok nggak selesai-selesai. Garap itu ladang bapakmu yang terlantar,” demikian kata nenek saya dari pihak Ibu. Ia selalu menyebut saya mondok, meskipun saat itu saya adalah seorang buruh di sebuah perusahaan penerbitan buku sekolah dan telah bertahun-tahun lulus kuliah. Saya tertawa saat pertama kali mendengarnya, tapi rasa-rasanya saya mesti berterima kasih kepada Nenek, orang yang tak pernah menyembunyikan ketaksukaannya dengan sekolah cucu-cucunya. Saya tak tahu apakah sebutan itu akurat atau tidak (nanti kita akan periksa), tapi itu membantu menjelaskan bahwa saya sepertinya memang bukan perantau.
Ya, secara psikologis, saya tak pernah berubah dari pertama kali saya meninggalkan desa nyaris dua puluh lima tahun lalu. Saya adalah bocah yang sama yang, kata Nenek, “mondok tak selesai-selesai”. Tak peduli saya pernah dua tahun di Jakarta dan hidup dan mengalami semua lika-liku ala perantau; tak peduli saya adalah buruh yang masuk dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore selama lima tahun sebelum memutuskan keluar.
Apakah masalahnya ada di Jogja?
Wahab dan kebanyakan teman mungkin akan menyangkanya begitu, tapi sebenarnya tak begitu-begitu amat. Jogja memang nyaman seperti yang sering dijargonkan. Kamu bisa membaca buku di depan rumah dan tetangga atau pemilik rumah yang kamu huni mungkin menyangkamu mahasiswa S-2. Kamu bisa nongkrong seharian di warung kopi dan orang-orang mungkin menyangkamu penulis atau seniman atau setidaknya budayawan. Kamu bisa berbulan-bulan hanya melamun dan rebahan dan selama itu hanya makan dari sisa tabungan, dan tetap saja bisa mendaku bahwa kamu bukanlah pemalas paling brengsek di kota ini.
Ya, Jogja memang senyaman itu, dan memang itu yang saya cari dari tempat ini, tapi ia tetap jauh dari sempurna. Misalnya, setelah dua puluh tahun, mulut saya masih mencibir setiap menghadapi sepiring nasi dengan sayur gudeg. Setiap masuk warung bakso di seantero Jogja, saya tak pernah bisa untuk tidak membandingkannya dengan bakso di Jawa Timur—mana saus tomatnya, mana lontongnya, dst. Setiap mendapati sambal yang lebih manis dibanding pedas, saya ingin makan terasi atau menjilati petis mentah-mentah. Makanan yang tak cocok di selera memang tak pernah membuat saya kurus kering, saya sikat semua. Tapi, itu menyadarkan bahwa lidah saya tak pernah bisa diajak pindah; saya tetap orang manca di Bumi Mataram.
Dan, tentu saja, masalah saya dengan Jogja bukan cuma soal makanan. Teman-teman yang kenal baik dengan saya pasti tahu itu.
Jogja bagi saya, saya kira, sama saja dengan Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang bagi kebanyakan para pendatang di sana: Tak seperti dipikirkan banyak orang. Tinggal di sini mungkin hanya sejenis kebiasaan lama yang sulit diubah; sebuah zona nyaman yang enggan ditinggalkan, demikian barangkali para motivator akan bilang. Saya kerasan dan menyayangi Jogja dengan segala kekurangannya, bahkan dengan segala perangkapnya.
Lalu kenapa saya bisa bercanda—bahkan jika itu benar-benar sekadar bercanda—untuk “pulang” ke Jogja? Mungkin lagi-lagi kita mesti kembali ke konsep “merantau”.
Orang-orang desa saya merantau untuk tujuan yang sangat jelas, atau setidaknya mudah dijelaskan: kembali ke kampung halaman sebagai orang yang lebih kaya, lebih sukses, atau setidaknya lebih baik. Mereka mencari uang untuk dibawa pulang, untuk memperbaiki rumah, untuk seragam dan SPP sekolah anak, untuk kendaraan yang pantas atau kalau bisa mutakhir; untuk secara umum mencapai taraf hidup yang lebih baik. Saya, sementara itu, tak pernah pergi dari desa kelahiran dengan niat sejelas itu. Saya ingin sekolah? Ya, jelas, tapi setelah sekolah terus apa? Saya tak pernah bisa menjelaskannya, bahkan sampai sekarang—bahkan sampai tiba masa ketika saya dikejutkan dengan bentangan spanduk ucapan selamat “kepada Mahfud Ikhwan yang memenangkan lomba novel tingkat nasional” dengan wajah saya tercetak di sana.
Dalam skripsi yang saya garap nyaris tujuh belas tahun lalu, saya menulis ucapan terima kasih untuk desa kelahiran yang saya sebut: “Sebuah desa terpencil di pelosok Lamongan, tempat penulis lahir dan besar, yang dengan carut-marut (sic) kesadaran kolektifnya mencambuk penulis untuk keluar dan mendobraknya.” Jelas sekali, ucapan terima kasih yang mengancam itu terlalu bersemangat. Kata “mendobrak” bukan hanya terlalu heroik, juga kelewat hiperbolik. Meski demikian, kata “keluar” saya rasa menggambarkan dengan tepat apa yang saya rasakan ketika keluar dari desa. Kata itu, alih-alih “pergi”, mungkin saja saya pilih karena dipengaruhi konsep “Kesadaran Kolektif”-nya Durkheim yang saya pakai untuk skripsi, tapi secara umum ia mengatakan satu hal penting dan benar: sejak “keluar” dari desa, saya memang mencari “rumah” lain.
Dan apakah “rumah” lain tersebut adalah Jogja? Sejauh ini, setelah dua puluhan tahun lebih, saya hanya bisa menyebutnya dalam candaan kepada Wahab, tapi tak benar-benar meyakininya. Saya kira, saya masih sebatas orang Lamongan yang tinggal di Jogja.
***
Saya terbangun dengan mata berat dan badan pegal-pegal, di Jogja, di kamar baru namun dengan kasur dan bantal lama. Naik bus Tuban-Babat-Bojonegoro-Ngawi-Jogja bukan hanya panjang dan melelahkan, tapi nyaris selalu tidak menyenangkan—meskipun saya telah melakukannya ratusan kali selama setidaknya dua puluh tahun terakhir. Ponsel saya bergetar, dengan gambar bunga berbayang doa-doa muncul di layar, dan nama “Mak-e” di atasnya. Itu Ibu saya. Sejak tahun 2000 ia merantau ke Malaysia, dan masih di sana. Ia belum ingin berhenti, meski saya bertahun-tahun membujuknya. “Biarlah. Aku tak ingin merepotkan anak,” kilahnya.
Ia bertanya apakah saya sudah di Jogja atau belum, setelah sebelumnya bertanya apakah saya sudah salat Subuh atau belum. Saya menjawab “sudah” untuk dua pertanyaan sekaligus.
“Begini….” jika memulai dengan cara itu, ia sepertinya ingin menyampaikan sesuatu yang penting. “Ibu sudah putuskan balik setelah Lebaran. Menurutmu, Ibu enaknya pulang ke mana? Surabaya atau Jogja? Atau Solo?”
Ibu bertanya. Tapi ia justru memberikan jawaban atas pertanyaan saya tentang “pulang”.
BACA JUGA Kolom: Dapur Hijau atau esai MAHFUD IKHWAN lainnya.