Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar: Antara Keriaan dan Kemarahan yang Tak terjawab

Rentetan kejadian dari Puncak Bogor hingga Makassar tak mungkin terlupakan. Gimana bisa lupa kalau wajah-wajah spirit itu terus terpatri di dalam kepala saya.

Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar MOJOK.CO

Ilustrasi Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CORentetan kunjungan spirit di Puncak Bogor, Kota Bogor, sampai Makassar bikin saya agak trauma ketika menginap di hotel.

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang “pertemuan” dengan para penghuni hotel tak kasat mata di kawasan wisata Puncak Bogor, Kota Bogor, hingga Makassar. Para penghuni yang beragam, ada yang bersahabat, penuh keriaan canda tawa, ada juga yang langsung marah.

Saya pribadi tidak mau menyebut mereka dengan istilah hantu. Menurut saya, istilah hantu identik dengan hal-hal negatif dan menyeramkan. Padahal, perilaku mereka tidak selalu negatif dan menakutkan. Hanya, setiap berjumpa dengan mereka, saya sering dilanda rasa takut. Maklum, namanya juga penakut.   

Saya lebih suka menyebut mereka yang menghuni kawasan wisata Puncak Bogor, Kota Bogor, dan Makassar dengan istilah spirit, makhluk gaib, atau entitas dari dimensi lain. 

Kenapa begitu? Ya karena saya tidak tahu persis, apakah yang menemui saya itu jin, arwah, atau makhluk jenis lainnya. Yang saya tahu, mereka adalah makhluk Allah seperti kita. Mereka memiliki pikiran dan perasaan yang (mungkin) sama seperti manusia. Bedanya, mereka tidak memiliki jasad (jasmani).

Pengalaman pertama yang akan saya ungkapkan berlangsung di sebuah hotel di kawasan wisata Puncak Bogor, Jawa Barat. Entah kenapa, pengalaman di sini begitu membekas dan seperti menjadi trigger dari kunjungan spirit di lokasi lain.

Hari itu hari Jumat, saya dan istri sedang dalam perjalanan pulang dari Bandung menuju Jakarta. Kami memang sering bolak-balik antara Bandung-Jakarta. Baik untuk urusan pekerjaan, liburan, atau urusan keluarga dengan mengendarai mobil secara bergantian. 

Kadang-kadang kami melewati jalan tol Purbaleunyi, terkadang pula melewati kawasan Puncak Bogor untuk sekadar ganti suasana perjalanan. Adakalanya kami menginap dulu barang semalam di kawasan Puncak, namun tak jarang pula sekadar lewat. Nah, kala itu niatnya hanya sekedar lewat.

Misteri di Puncak Bogor

Menjelang Puncak Pass dari arah Cianjur, kami makan di sebuah restoran masakan Sunda. Usai makan, tiba-tiba di hampir seluruh tubuh saya bermunculan bercak-bercak merah dengan rasa gatal yang luar biasa. Ini bukan kejadian istimewa. Saya memang punya alergi terhadap makanan-makanan tertentu. Salah makan sedikit saja sudah pasti akan muncul bercak-bercak merah yang disebut kaligata dengan rasa gatal yang sangat mengganggu.

Untungnya saya selalu membawa pil antialergi setiap bepergian. Pil yang saya bawa cukup ampuh meredakan rasa gatal. Tapi efek sampingnya adalah serangan rasa kantuk yang sangat berat. Istri saya mengusulkan untuk menginap di hotel terdekat di Puncak Bogor agar saya bisa tidur nyenyak guna menghilangkan efek kaligata setelah mengkonsumsi pil antialergi. 

Tentu saja saya setuju karena sangat butuh istirahat. Tidak lama kemudian, istri saya yang kena giliran tugas menyetir, membelokkan kendaraan kami ke sebuah hotel, yang memiliki panorama Puncak Bogor yang begitu indah di sekitarnya.

Resepsionis hotel menjelaskan bahwa hotelnya hampir fully booked, dan hanya tersisa satu kamar. Kalau berkenan dengan kamar yang tersisa, ya silakan menginap. Kalau tidak, silakan mencari hotel lain. Ya sudahlah, itu memang risiko menyewa hotel secara dadakan di daerah wisata pada saat weekend. Kami sendiri tidak mau bersusah payah mencari hotel lain. 

Jadi, kami putuskan untuk menginap di situ. Lagian, ternyata, kamar yang ditawarkan cukup resik. Terletak di lantai dua, dengan balkon menghadap hamparan hutan pinus kawasan Puncak Bogor. Balkon itu memanjang dari kamar ke kamar. Di setiap perbatasan antara balkon kamar yang satu dengan balkon kamar lainnya terdapat pohon bougenville berbunga merah jambu. Suasananya membuat saya merasa sangat nyaman.

Setelah masuk dan membersihkan diri, saya duduk di kursi yang tersedia di balkon sambil memandangi hutan pinus dan menikmati semilir angin pegunungan. Saat itu sekitar pukul empat sore. 

Sejenak kemudian, saya mulai merasakan ada beberapa keanehan. Pertama, seharusnya saya mengantuk setelah mengkonsumsi pil antialergi, tapi malahan merasa segar dan rasa gatal pun mulai menghilang. 

Istri saya justru sebaliknya. Begitu tiba di kamar, dia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur dan serta merta tertidur pulas. Kedua, bunga bougenville di balkon kamar saya terus berguguran hingga mengotori lantai. Sementara itu, pepohonan bougenville di balkon lainnya tenang-tenang saja. Tidak ada bunga yang berguguran.

Ketiga, sekonyong-konyong, entah dari mana datangnya, muncul seorang bocah lelaki yang menurut perkiraan saya berusia sekitar lima tahunan. Berambut keriting, berkulit sawo matang, dan berhidung mancung. Kemungkinan blasteran Eropa-Afrika atau Eropa-Asia. 

Bocah lucu itu ternyata sedang bermain tentara-tentaraan. Berbaju drill warna khaki dengan tanda pangkat bintang di kedua pundaknya dan bercelana pendek berwarna senada dengan bajunya. Di tali pinggangnya yang berwarna cokelat, tergantung sarung pistol-pistolan dari bahan plastik yang juga berwarna sama.

Sambil mondar-mandir di hadapan saya, tak henti-hentinya bocah lucu itu mengacung-acungkan pistol mainan. Mulutnya sibuk menirukan bunyi letusan pistol. Dia ceria sekali. Penuh keriaan. Cocok dengan suasana di Puncak Bogor. Suasana liburan dan bersenang-senang. 

Sesekali dia mengendap-endap menirukan adegan tentara yang sedang mengincar musuh. Lantas, tiba-tiba, dia masuk ke dalam kamar yang pintunya memang saya biarkan terbuka. Dia naik ke tempat tidur dan melompat-lompat di atasnya.

Saya sebenarnya ingin melarangnya karena khawatir mengganggu istri saya yang sudah tertidur lelap. Namun entah kenapa, mulut saya terkunci rapat. Anehnya, istri saya tidak terganggu. Belakangan kami sadari bahwa setiap kali ada kehadiran makhluk asing dari dimensi lain, istri saya bakal tertidur lelap sedangkan saya segar bugar. Sehingga, jika tiba-tiba istri saya tertidur lelap baik di dalam mobil maupun di kamar hotel dan susah dibangunkan, saya harus waspada.

Cukup lama bocah lucu itu melompat-lompat di atas kasur, sampai akhirnya dia berlari ke luar kamar. Awalnya saya tidak merasa aneh dengan kehadiran anak laki-laki tersebut. Saya pikir mungkin dia berasal dari kamar sebelah. Mungkin sedang liburan di Puncak Bogor bersama keluarga karena di balkon yang memanjang itu tidak ada pagar pembatas yang memisahkan wilayah kamar kami dengan kamar-kamar lainnya. Tidak berapa lama kemudian, istri saya terbangun.

“Nyenyak banget kamu tidur,” ujar saya.

“Iya,” sahut isteri saya, “mungkin karena capek banget.”

“Mestinya aku yang tidur,” timpal saya.

“Lho, bukannya kamu juga tidur tadi.”

“Nggak. Tumben nggak ngantuk abis minum pil.”

Saya mulai bercerita tentang bocah lucu yang main tentara-tentaraan dan sempat melompat-lompat di atas kasur.

“Aduh, kenapa aku nggak dibangunin,” kata isteri saya, “kan aku bisa main sama dia.”

Selepas makan malam di restoran hotel, kami kembali ke kamar. Saya masih belum mengantuk. Saya mencoba mengundang kantuk dengan membaca buku yang saya bawa sambil duduk selonjoran di atas tempat tidur. Sementara di sebelah saya, istri saya lagi-lagi tertidur lelap. 

Sekitar 30 menit kemudian, sayup-sayup saya mendengar ketukan halus di pintu dari arah balkon. Awalnya saya abaikan, karena saya pikir bunyi ketukan itu berasal dari kamar sebelah. Namun, bunyi ketukan itu tak kunjung berhenti dan terdengar semakin keras.

Penasaran, saya buka pintu. 

Oh, ternyata bocah lucu itu datang lagi. 

Dia langsung masuk ke dalam kamar, berlari-larian sambil mengacung-acungkan pistol mainannya ke berbagai arah. Anehnya, tidak sedetik saja dia menoleh ke arah saya. Lalu, adegan tadi petang berulang. 

Dia melompat-lompat lagi di atas kasur, di sebelah istri saya yang justru terlihat semakin nyenyak. Dan, tiba-tiba saja anak itu menghilang di hadapan saya. Serrr, seluruh bulu kuduk saya berdiri dan jantung saya terasa berdegup kencang. Serentak saya bangunkan istri saya, yang juga terkejut setelah saya ceritakan kejadian yang baru saja saya alami.   

Esoknya, saat check-out, saya bertanya kepada resepsionis, adakah tamu hotel di Puncak Bogor ini yang pernah melaporkan bertemu dengan seorang anak kecil dengan ciri-ciri seperti yang saya lihat?

“Tidak pernah ada laporan seperti itu, Pak,” jawab sang resepsionis sambil menunduk seakan enggan menatap saya. Dari gelagatnya, saya tahu dia tidak jujur. Baiklah. Yang jelas, saat itu saya sepakat dengan istri saya bahwa kami tidak akan menginap lagi di hotel dengan kamar yang hanya tersisa satu, meski pemandangan kawasan Puncak Bogor terlihat sangat indah dari sana. Sebab, bisa saja kamar yang disisakan itu sebenarnya sudah “berpenghuni”.

Keluarga yang marah

Kesepakatan saya dengan istri untuk tidak menginap di hotel yang hanya tersisa satu kamar kosong, pada kenyataannya, hanya tinggal kesepakatan. Untuk hal yang satu ini, kami tidak bisa konsisten. Selalu saja ada hal-hal mendesak yang membuat kami tidak punya pilihan. Seperti yang pernah kami alami di salah satu hotel di Kota Bogor.

Waktu itu kami diundang oleh seorang teman dekat untuk menghadiri upacara pernikahan putrinya di salah satu gedung pertemuan di kota tersebut. Saya diminta menjadi saksi dari pihak calon mempelai perempuan pada saat akad nikah yang akan digelar sekitar pukul delapan pagi, hari Sabtu. 

Untuk menuju kota Bogor, dari rumah kami di ujung Kabupaten Tangerang, diperlukan waktu sekitar tiga jam. Itu kalau tidak diadang kemacetan. Dan, biasanya, Sabtu adalah hari macet luar biasa di jalan tol Jagorawi menuju Bogor. Belum lagi kemacetan yang akan kami temui di dalam kota yang dikenal dengan julukan kota sejuta angkot.

Khawatir tidak akan tiba tepat waktu jika kami berangkat pagi hari, kami putuskan untuk menginap pada Jumat malam di salah satu hotel di kota yang juga dijuluki kota hujan itu. Yah, malam itu, kami mengulangi kesalahan yang sama. 

Kami tidak memesan kamar hotel sejak jauh-jauh hari. Padahal acaranya sudah terjadwal sejak lama. Kami terlalu optimis akan mendapatkan tempat menginap dengan mudah pada malam itu juga. Toh, kami pikir, jumlah hotel di Bogor cukup banyak, jadi rasanya tidak akan susah-susah amat mendapatkan kamar.

Nyatanya, beberapa hotel yang kami incar, hampir semuanya sudah penuh. Hanya ada satu hotel dengan satu-satunya kamar yang tersisa. Pengalaman di Puncak Bogor seperti “terpanggil” dari ingatan kami.

Awalnya kami enggan mengambil kamar tersebut, mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Namun, kami sudah cukup lelah mencari kamar kosong dari satu hotel ke hotel lainnya, apalagi waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kami putuskan untuk menginap di situ. Di hotel yang sudah berusia cukup tua, dengan bangunan yang kian menua. Ketika melangkahkan kaki menuju hotel, ingatan di Puncak Bogor terpanggil juga. Seketika saya merinding.

Kamar yang tersisa berada jauh di bagian belakang hotel. Terasa agak pengap meskipun ruangan kamarnya cukup luas. Kamar mandinya lumayan besar, dengan cermin besar di tiga penjuru dindingnya. Tersedia juga bathtub yang cukup bersih. 

Namun, anehnya, banyak sekali lalat buah di kamar mandi tersebut. Mereka menempel di cermin, bathtub dan wastafel. Berdasarkan pengalaman, jika banyak lalat buah di tempat-tempat yang tidak semestinya, biasanya ada spirit yang beraura kurang baik di tempat tersebut. Ah, saya tidak mau berpikir macam-macam. Saya harus tidur cukup supaya besok paginya bangun dalam keadaan bugar.

Malam itu tampaknya kami tidur cukup nyenyak. Saya terbangun sekitar pukul tiga pagi harus buang air kecil. Di kamar mandi, setelah selesai buang air kecil, saya mencuci tangan di kran wastafel. Namun, begitu saya melihat ke arah cermin, saya terkejut luar biasa. Di cermin itu tampak sesosok laki-laki setengah baya, berperawakan agak gemuk, dan kepalanya sedikit botak. Dia mengenakan kaos oblong berwarna putih dengan celana piyama berwarna abu-abu bergaris-garis putih.

Di sebelah kanannya tampak seorang perempuan yang juga setengah baya, mengenakan kebaya putih dan kain batik berwarna cokelat. Rambutnya yang sudah mulai memutih tampak bersanggul. Di sebelah kanan perempuan tersebut ada seorang pemuda berusia belasan tahun. Saya tidak ingat lagi baju yang dikenakannya. Ketiganya menatap saya dengan ekspresi yang sangat marah. Tentu saja saya gemetar ketakutan, tapi saya tak mampu menggerakkan kaki.

Perlahan saya menoleh ke belakang. Ternyata ketiga orang yang mungkin sebuah keluarga itu tampak pula di cermin belakang saya. Lalu saya menoleh ke arah cermin di sebelah kanan saya. Ya ampun, di cermin itu pun ketiga orang tersebut terlihat menatap saya tajam-tajam. Saya seakan dikelilingi keluarga yang sedang marah itu, sambil tak habis mengerti mengapa mereka marah. Saya cuma membatin kalau pengalaman di Puncak Bogor kayaknya bersambung. Bedanya, kali ini saya kena marah tanpa alasan.

Setelah mampu menguasai diri, saya gunakan jurus ampuh yang selama ini sering saya terapkan. Yakni berteriak sambil ngibrit ke luar kamar mandi.

Mendengar teriakan saya, istri saya terbangun.

“Ada apa Pa?” Tanya istri saya.

“Di kamar mandi, ada yang marah,” ujar saya.

“Siapa?”

“Udahlah. Kita pergi sekarang juga. Nanti aku ceritain.”

“Pergi ke mana?”

“Nanti kita pikirin,” tukas saya.

Di meja resepsionis, saya serahkan kunci kamar tanpa memberi penjelasan. Anehnya, petugas hotel yang menerima kunci juga tidak bertanya sedikit pun. Saya dan istri langsung berkendara ke arah rumah makan Padang yang buka 24 jam, di sebelah terminal bus Baranangsiang. 

Ini rumah makan langganan kami setiap berkunjung ke Bogor. Di situ, kami tidak hanya menumpang makan dan minum kopi, tapi juga menumpang mandi dan salat Subuh. Tak lupa saya ceritakan selengkap-lengkapnya penampakan keluarga yang marah di kamar mandi hotel kepada istri saya.

Gadis oriental kembar dengan senyum misterius

Setelah Puncak Bogor dan Kota Bogor, pengalaman berikut terjadi di sebuah hotel bintang lima di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tak jauh dari Pantai Losari. Kedatangan saya ke kota ini adalah dalam rangka tugas kantor. 

Saya datang bersama tujuh teman lainnya. Empat laki-laki dan tiga perempuan. Pihak kantor sudah memesankan lima kamar deluxe untuk kami berdelapan. Saya dan kolega saya yang bernama Farida, masing-masing dapat satu kamar. Yang lainnya sepasang-sepasang di setiap kamar. Rencananya kami menginap selama lima hari empat malam.

Kamar yang saya tempati agak berbeda dengan kamar teman-teman. Ada sebuah ruang kosong yang sangat sempit menjorok ke dinding. Tidak jelas untuk apa ruangan sempit itu. Untuk menaruh koper saja tidak cukup. Sempat saya tanyakan kepada petugas hotel mengenai fungsi ruangan tersebut. Kata petugas hotel, dari dulu sudah seperti itu, mungkin kelebihan sewaktu membangunnya. Jawaban yang tentu saja tidak memuaskan, dan saya mulai merasakan aura yang kurang enak.

Kembali, bayangan dikunjungi seperti kejadian di Puncak Bogor dan Bogor muncul seketika. Antara rasa lelah dan malas muncul bersamaan. 

Saya menawarkan teman-teman untuk bertukar kamar. Tapi alih-alih menerima tawaran saya, mereka malah tertawa. Rupanya mereka menangkap nada ketakutan dalam suara saya.

“Tenang aja Bang. Nggak bakal ada apa-apa kok. Ini kan hotel bagus,” ujar salah seorang teman.

“Yaiyalah hotel bagus. Bintang lima, loh. Tapi gua ngerasa nggak nyaman di kamar gua,” sahut saya.

“Kalau ada apa-apa tinggal teriak atau telpon kita aja Bang. Nanti kita datang rame-rame ke kamar Abang,” ucap teman lainnya sambil tertawa.

Kampret! Umpat saya di dalam hati. Akhirnya mereka tahu bahwa saya penakut. Coba mereka mengalami rentetan kejadian di Puncak Bogor dan Kota Bogor, lalu… kemungkinan Makassar. 

Malam hari, setelah makan malam bersama dan ngobrol ngalor-ngidul di sebuah coffee shop, kami menuju kamar masing-masing. Saat itu sudah sekitar pukul sebelas, menjelang tengah malam. 

Sambil berusaha menenangkan diri, saya berbaring telentang di tempat tidur dengan mata terpejam. Tapi kok saya merasakan ada kehadiran makhluk lain. Saya buka mata. Benar saja. 

Di ujung tempat tidur, tepatnya tak jauh dari ujung kaki saya berselonjor, tampak seorang gadis Tionghoa berparas cantik dengan rambut panjang diikat di belakang. Dia mengenakan baju cheongsam berwarna merah menyala dan seakan-akan mengajak saya tersenyum.  

Saya terpaku dibuatnya. 

Beberapa saat kemudian, gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah samping kanan saya sambil tetap tersenyum, seakan berkomunikasi dengan orang lain selain saya. Saya pun menoleh ke arah kanan. Ternyata memang ada orang lain di samping kanan saya. Gadis Tionghoa lainnya yang juga cantik, mengenakan baju cheongsam berwarna hijau. Dia berdiri sambil tersenyum ke arah saya. Senyum yang sangat misterius, nyaris seperti menyeringai.

Bisa Anda bayangkan seperti apa takutnya saya…. 

Dalam kondisi seperti itu, hanya ada satu cara yang dapat saya lakukan, berteriak sekeras-kerasnya, dan kedua gadis itu menghilang seketika. Teriakan saya yang cukup keras rupanya didengar oleh teman-teman saya di kamar-kamar sebelah. Mereka datang mengetuk pintu. 

Seperti janji tadi siang, mereka datang beramai-ramai menghampiri saya. Saya pun menceritakan kejadian yang baru saja saya alami. Salah seorang di antara mereka menelpon resepsionis. Beberapa petugas hotel pun mendatangi kami.

Setelah saya ceritakan pertemuan saya dengan sepasang gadis Tionghoa yang sudah menghilang itu, mereka tampak mafhum. Rupanya tak sedikit tamu hotel yang pernah mengalami kejadian serupa. Melihat penampakan sepasang gadis oriental berbaju cheongsam, tapi tidak selalu di kamar yang saya tempati. 

Para petugas hotel tempat kami menginap sangat akomodatif. Mereka berjanji akan mengganti kamar saya dengar kamar yang baru besok pagi, dan malam itu saya melanjutkan tidur saya ditemani Dudi, teman yang siang tadi menertawakan saya.

Besoknya, saya pindah kamar. Di kamar yang baru, saya tetap sendirian. Namun kedua gadis berbaju cheongsam itu tak pernah datang lagi menemui saya. Mungkin kedua gadis tersebut sebenarnya cuma pengin kenalan atau jangan-jangan ada yang ingin mereka komunikasikan. Tetapi setelah mereka tahu bahwa saya penakut, mereka enggan datang lagi.

Yang pasti, rentetan kejadian dari Puncak Bogor hingga Makassar tak mungkin terlupakan. Gimana bisa lupa kalau wajah-wajah spirit itu terus terpatri di dalam kepala saya.

BACA JUGA Teror Pulung Gantung: Air Mata dan Seutas Tali Pati di Pohon Jati dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Billy Soemawisastra

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version