Usai makan bersama, kami biasanya lanjut ngobrol ngalor-ngidul. Pada saat-saat seperti itulah, Oma Ani sering mengulang-ulang cerita tentang masa remajanya. Terutama pengalamannya bersinggungan dengan kuntilanak dan tentara Belanda yang menyeramkan.
Dari ceritanya yang berulang-ulang, saya merasakan adanya trauma masa kecil di kuntilanak yang tak kunjung hilang. Rasa ini dijelaskan oleh habib muda kawan saya. Katanya, pengalaman supranatural sedikit banyak akan menyisakan trauma.
Apalagi jika persinggungan itu sering terjadi dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Sebab, walau bagaimanapun, kontak sengaja maupun tidak, energi dan frekuensi itu akan menimbulkan gesekan-gesekan. Kondisi yang akan menyedot energi fisik dan batin manusia yang merasakannya.
Trauma yang terpendam akibat persinggungan dengan makhluk astral, sedikit demi sedikit akan berkurang. Khususnya bila diceritakan kembali kepada orang-orang yang mau mendengarkan.
Seperti itulah, agaknya, yang dirasakan oleh Oma Ani. Beliau tampak lega bila sudah selesai menceritakan pengalamannya menghadapi kuntilanak dan tentara Jakarta. Sebagian cerita beliau yang akan saya tuturkan ini, berlangsung pada pertengahan 1960-an. Tepatnya di suatu kawasan perkampungan Jakarta yang disebut Gang Kubur.
Suasana Gang Kubur tempo dulu
Kawasan perkampungan penduduk di kota metropolitan Jakarta yang dinamakan Gang Kubur, jumlahnya lebih dari satu. Gang Kubur dapat ditemukan di hampir semua wilayah Jakarta. Ada yang namanya sudah berganti dengan nama pahlawan setempat. Ada juga yang namanya tetap Gang Kubur. Yang saya ceritakan di sini, adalah salah satunya.
Sesuai namanya, Gang Kubur adalah sebuah gang atau jalanan umum yang melintasi kawasan pemakaman umum yang cukup luas. Di Gang Kubur yang saya ceritakan ini, dulu terdapat sejumlah kompleks pemakaman. Di sana, ada kompleks pemakaman orang Belanda yang pernah tinggal di Batavia, kompleks pemakaman untuk masyarakat Tionghoa, untuk masyarakat Kristen, dan pemakaman muslim.
Kuburan-kuburan tersebut berderet di sebelah kanan jalan (gang), kalau kita memasukinya dari arah pintu gerbang sebelah kiri jalan raya. Di seberang kuburan yang hanya dipisahkan Gang Kubur, berderet rumah penduduk. Jalan umum yang dinamakan Gang Kubur, meskipun disebut “gang” yang diidentikkan dengan jalan sempit, sebenarnya cukup lebar. Dapat dilintasi dua mobil sekaligus, secara bersisian.
Posisi rumah keluarga Oma Ani
Rumah keluarga Oma Ani tidak langsung berseberangan dengan kompleks pemakaman. Melainkan masuk lagi ke sebuah gang yang lebarnya sama dengan gang utama. Nama gang juga sama, yakni Gang Kubur.
Letak rumah keluarga Oma Ani hanya beberapa meter dari mulut gang yang satu ini. Sehingga, kalau anggota keluarga duduk-duduk di beranda depan rumah, kompleks pemakaman akan terlihat jelas di sebelah kanan. Jarak antara rumah dengan kompleks pemakaman hanya sekitar 50 meter.
Jangan bayangkan kompleks pemakaman pada masa itu dengan masa kini yang sudah ditata rapi bagaikan taman dengan pencahayaan terang-benderang di waktu malam. Kompleks pemakaman di kawasan Gang Kubur Jakarta saat itu masih gelap gulita di malam hari.
Penerangan listrik yang apa adanya hanya ada di pinggir jalan dan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Pohon kecapi, cempedak, sawo, melinjo, dan lain sebagainya, yang tumbuh subur dan sangat rimbun di depan rumah-rumah penduduk, membuat suasana malam semakin muram. Latar yang cocok menjadi tempat kemunculan rombongan kuntilanak.
Suasana rumah keluarga Oma Ani
Keluarga Oma Ani tinggal di sebuah rumah bergaya Betawi berukuran sekitar 200 meter persegi. Halaman depannya cukup luas. Halaman ini biasa digunakan Pak Sayuti untuk memarkir mobil kantornya. Pak Sayuti adalah ayah Oma Ani, yang biasa dipanggilnya dengan julukan Abah. Sedangkan isteri Pak Sayuti, Nyak Hadijah, biasa dipanggil anak-anaknya dengan sebutan Emak.
Di teras atau beranda rumah, ada bale-bale atau dipan kayu berukuran lumayan besar. Biasa digunakan penghuni rumah untuk bercengkrama dan tempat bermain Ani kecil di waktu malam. Tepat di depan teras rumah, tumbuh pohon kecapi yang sudah berusia cukup tua.
Rumah keluarga Oma Ani memanjang ke belakang. Di dalamnya ada ruang tamu yang berdampingan dengan kamar Abah dan Emak. Lalu ada satu kamar lagi yang lebih besar dengan dua tempat tidur terpisah. Kamar ini digunakan oleh Ani kecil dan seorang adik laki-lakinya.
Semua tempat tidur di rumah keluarga Oma Ani masih berupa ranjang besi yang ditutupi kelambu. Tujuannya untuk menangkal nyamuk. Ini tempat tidur yang lumrah pada zaman itu.
Kompleks keluarga
Semakin masuk ke rumah, ada ruang makan yang langsung bersambung dengan dapur yang cukup luas. Dapurnya ada tungku yang biasa dinyalakan dengan kayu bakar. Oleh sebab itu, di salah satu pojok dapur, selalu tersedia tumpukan kayu bakar.
Di bagian paling belakang rumah, ada jamban dengan sumur timba yang cukup dalam. Ini tempat mandi dan mencuci pakaian. Agar mudah membayangkan rumah keluarga Oma Ani di Gang Kubur Jakarta, silakan tonton sinetron serial “Si Doel Anak Sekolahan” yang masih ditayangkan oleh salah satu stasiun TV hingga sekarang. Kira-kira seperti rumah si Doel itulah, gambaran rumah keluarga Oma Ani atau keluarga Pak Sayuti.
Di samping kiri, kanan, dan belakang rumah Pak Sayuti, dengan ukuran dan kondisi yang kurang lebih sama, adalah rumah-rumah keluarga dekat. Rumah adik-adiknya Pak Sayuti, yang oleh Oma Ani disebut sebagai Cang Pipin, Cang Kipli, Cing Eci, dan Cing Leha.
Cang atau Encang adalah sebutan masyarakat Betawi untuk paman atau om. Sementara itu, Cing atau Encing adalah sebutan untuk bibi atau tante. Pendek kata, di situlah keluarga besar Pak Sayuti berkumpul, dengan rumah-rumah terpisah di Jakarta.
Rombongan kuntilanak yang bergentayangan
Hampir setiap malam, saat masih SMP dan bermain di bale-bale di teras rumah, Ani kecil sering menyaksikan rombongan kuntilanak (sekitar empat sampai lima sosok) berjalan beriringan dari arah kuburan ke bagian belakang rumah. Menurut Oma Ani, cara mereka berjalan nyaris seperti terbang rendah atau melayang dengan kaki yang tidak menyentuh tanah.
Setiap kali kesaksiannya itu disampaikan kepada Emak dan Abah, kedua orang tuanya selalu membantah.
“Itu bukan kuntilanak, tapi rombongan orang gila,” kata Emak.
“Kok orang gila bajunya sama?” Sahut Ani kecil.
“Emang nggak boleh orang gila pakai seragam?” Tukas Abah sambil tersenyum.
“Kok jalannya kayak terbang?” Tanya Ani kecil lagi.
“Ah mata lu aja siwer,” ujar Emak sambal melirik ke Abah.
Barulah setelah para encang dan encingnya bercerita hal yang sama, Emak dan Abah mengakui bahwa yang dilihat Ani kecil memang kuntilanak. Bahkan, Cing Eci mengaku pernah dihadang oleh makhluk tersebut ketika berjalan di gang sebelah kuburan di malam hari. Dia lari terbirit-birit menuju rumah.
Cerita dari Cing Leha lebih dahsyat lagi. Dia mengaku pernah dikejutkan oleh kehadiran kuntilanak, yang tiba-tiba menampakkan diri di halaman rumah ketika sedang leyehan di atas dipan. Reaksi spontan yang dilakukannya bukan lari tunggang langgang seperti yang dilakukan oleh Cing Eci. Sebaliknya, dia meraih sapu lidi dan mengusir makhluk tersebut seperti mengusir ayam.
Kuntilanak itu lari ke arah kuburan, dikejar oleh Cing Leha, yang tetap memegang sapu lidi, sampai akhirnya makhluk tersebut menghilang di kegelapan malam. Seram juga ya Jakarta tempo dulu.
Cerita tentang penampakan rombongan kuntilanak juga diungkapkan oleh penduduk sekitarnya. Akibatnya, para warga jarang ada yang berani ke luar rumah di malam hari. Apalagi jika harus melintasi kawasan kuburan menuju jalan raya.
Kencing di halaman rumah
Pernah suatu malam, menurut pengakuan Oma Ani, pohon kecapi di halaman rumahnya bergoyang-goyang cukup keras padahal tidak ada angin. Lalu, tiba-tiba ada air mengucur deras dari atas pohon seperti ada orang yang sengaja kencing di situ. Ani kecil pun melaporkan hal itu kepada Emak dan Abah.
Kedua orang tua itu serentak mendatangi pohon kecapi dan menengadah ke atas pohon. Apa yang mereka saksikan sungguh mengejutkan. Di salah satu dahan pohon yang cukup besar, tampak dua sosok kuntilanak, berambut panjang, berpakaian putih, duduk sambil menggerakkan kaki-kakinya seakan sedang bermain ayunan.
Dalam keterkejutannya yang amat sangat, si Emak spontan memaki-maki kedua sosok kuntilanak tersebut.
“Hei Kunti! Kurang ajar lu pade. Berani-beraninya lu ngencingin rumah gue. Sono pergi! Kalau gak, gue siram lu pake air panas,” seru si Emak.
Kedua sosok makhluk astral itu terbang menjauh sambil tertawa cekikikan. Tawa yang membuat bulu kuduk para pendengarnya merinding. Tetapi, peristiwa yang terjadi di Jakarta tersebut, belum seberapa jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada malam berikutnya.
Teror di Jakarta: Rombongan kuntilanak itu tiba-tiba menyerang
Malam itu, selepas Isya, Emak menanak nasi di dapur dan memasak makanan kesukaan Abah, yang baru saja pulang dari tempat kerjanya. Sementara Abah, Ani kecil, dan adiknya berkumpul di meja makan.
Dari meja makan, kegiatan Emak di dapur terlihat jelas. Pintu dapur ke arah belakang rumah dibiarkan terbuka. Tujuannya supaya asap pembakaran dari tungku bisa langsung terbuang ke luar.
Ketika kayu bakar di dalam tungku hampir habis, Emak mengambil beberapa potong yang masih utuh di pojok dapur. Sepotong kayu bakar dibelahnya menggunakan golok. Belum tuntas Emak membelah kayu bakar tersebut, tiba-tiba muncul sesosok makhluk mengerikan dengan wajah marah di pintu dapur belakang. Makhluk yang tak lain kuntilanak itu berteriak-teriak dengan seringai wajah yang menyeramkan.
Pada saat hampir bersamaan, teriakan-teriakan serupa terdengar dari rumah-rumah sebelah. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Emak, Abah, Ani kecil dan adiknya, selain merapalkan doa semampunya sambil gemetar ketakutan. Tidak lama kemudian, makhluk astral tersebut terbang menghilang.
Para encang dan encing dari rumah-rumah sebelah berdatangan. Semuanya melaporkan kejadian serupa, yakni didatangi sosok kuntilanak yang marah-marah.
Pantangan yang dulu dipercayai di Jakarta dan sekitarnya
Lantaran peristiwa itu terjadi secara bersamaan, maka dapat dibayangkan bahwa kuntilanak yang meneror keluarga mereka lebih dari satu.
Emak lalu menjelaskan bahwa teror kuntilanak itu terjadi pada saat dia membelah kayu bakar. Mendengar keterangan Emak, Cing Leha sekonyong-konyong marah.
“Lu gimane sih Dijah,” kata Cing Leha kepada Emak. “Kan udah sering dibilangin, jangan suka motong kayu bakar malem-malem. Itu si kunti kagak demen kalo kite belah kayu bakar malem-malem. Pantesan aja mereka marah.”
“Iye. Aye lupa,” sahut Emak dengan nada lemas.
Rupanya sudah menjadi kepercayaan di penduduk sekitar Jakarta bahwa kuntilanak merasa terganggu bila ada orang yang membelah kayu bakar di malam hari. Tapi tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa demikian. Hal-hal supranatural memang sukar dijelaskan.
Serangan kuntilanak hanya terjadi pada malam itu. Namun, penampakan rombongan kuntilanak yang sering berjalan (melayang) beriringan atau bergentayangan di dahan-dahan pepohonan, masih sering disaksikan oleh warga setempat.
Hantu serdadu Belanda alias hantu dandang
Bukan hanya kuntilanak yang pernah dilihat Oma Ani di Gang Kubur Jakarta pada masa remajanya. Ada juga hantu serdadu Belanda yang disebutnya hantu dandang.
Hantu itu tiba-tiba datang membangunkan Oma Ani yang sedang tidur pada suatu malam dan berusaha membuka kelambu. Dia lalu berbicara dengan suara parau dan dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti. Oma Ani tidak bisa berbuat apa-apa selain diam terpaku, kemudian melanjutkan tidurnya setelah hantu tersebut pergi.
Semula Oma Ani mengira bahwa kejadian itu berlangsung dalam mimpi. Tetapi besoknya, Emak dan Abah juga bercerita bahwa mereka didatangi hantu berpakaian tentara Belanda yang mencoba berkomunikasi dengan bahasa yang tidak mereka mengerti.
Kejadian yang sama juga dialami para encang dan encing. Hantu yang sama menyambangi rumah mereka pada malam berlainan. Sehingga, hampir setiap malam, hantu tentara Belanda itu datang menyambangi rumah adik-adik Abah Sayuti secara bergantian.
Berdasarkan penuturan Oma Ani, hantu tersebut mempunyai tubuh yang sangat tinggi, berhidung mancung, dan berkulit putih. Selain menggunakan uniform tentara Belanda pada masa penjajahan, hantu tersebut menggunakan topi menyerupai dandang yang biasa digunakan untuk menanak nasi dengan posisi terbalik. Itu sebabnya Oma Ani menyebutnya sebagai hantu dandang.
Hantu KNIL yang bertugas di Jakarta
Penasaran dengan cerita Oma Ani, saya melakukan pencarian melalui Google. Kata kunci yang saya gunakan untuk melakukan pencarian tersebut adalah, Netherlands-Indisch army uniforms, lalu keluarlah foto-foto serdadu Kerajaan Belanda pada masa penjajahan.
Tentara Belanda yang menggunakan seragam dengan topi menyerupai dandang terbalik adalah The Royal Netherlands East Indies Army (Koninklijk Nederlands Indisch Leger; KNIL) pada abad 19. Jadi mungkin saja, hantu tersebut adalah hantu tentara KNIL yang terkenal kejam pada masanya dan bertugas di Jakarta.
Kembali pada keluarga Abah Sayuti. Para encang dan encing berkumpul di rumah Abah Sayuti untuk mencari tahu penyebab marahnya hantu tersebut. Usut punya usut, Abah Sayuti menceritakan bahwa dia pernah menebang pohon cemara berukuran sekitar dua meter di kompleks pemakaman warga Belanda.
Pohon cemara itu diangkutnya ke rumah bosnya yang tinggal di wilayah Lapangan Banteng, Jakarta. Saat itu, bosnya memang sedang membutuhkan pohon cemara untuk dijadikan hiasan Natal.
Semua yang hadir pun menduga bahwa kelakuan Abah Sayuti itu yang menyebabkan bencana tersebut. Para encang dan encing lalu menyarankan agar Abah Sayuti meminta maaf kepada penghuni kompleks pemakaman warga Belanda. Setelah itu menanam kembali pohon cemara di tempat tersebut.
Oma Ani tidak ingat persis apakah orang tuanya mengikuti saran tersebut. Yang dia ingat, lama-kelamaan gangguan hantu serdadu Belanda itu menghilang.
Gang Kubur masa kini
Jika berkunjung ke wilayah Gang Kubur Jakarta, Anda tidak akan lagi menemukan suasana seperti yang digambarkan Oma Ani pada masa remajanya. Tidak ada lagi deretan kuburan berbagai bangsa dan agama di sana. Semua kuburan sudah dipindahkan ke tempat lain pada sekitar tahun 1970-an.
Lahan kompleks pemakaman sudah berubah menjadi pasar. Tidak terlihat lagi deretan pohon kecapi, melinjo, cempedak, dan sawo, sehingga suasananya terasa gersang. Tidak ada lagi kisah menyeramkan seperti teror kuntilanak.
Kawasan perumahan pun semakin padat. Banyak rumah yang memajukan pagarnya hingga mendekati jalan. Akibatnya, jalanan pun menyempit, ditambah lagi kendaraan roda empat milik warga yang diparkir di pinggir jalan.
Hal yang menggembirakan adalah, kawasan Gang Kubur sekarang terang benderang di malam hari. Roda kehidupan yang selalu berdenyut sepanjang malam. Tapi saya tidak tahu, apakah makhluk-makhluk astral yang pernah menampakkan diri di masa remaja Oma Ani masih ada di sana?
Oma Ani yang semakin peka
Oma Ani sudah tidak tinggal lagi di Gang Kubur sejak awal tahun 1970. Setelah menikah pada tahun tersebut, dia pindah bersama suaminya ke daerah Petamburan, Jakarta. Tahun 2005, mereka pindah lagi ke daerah Tangerang, Banten, dan menjadi tetangga saya.
Oma Ani sendiri tampak selalu sehat di usianya yang sudah mencapai 71 tahun. Namun, pengalamannya bersinggungan dengan makhluk gaib selama belasan tahun membuat beliau semakin peka.
Kepada anak-anaknya, beliau sering bercerita bahwa rumahnya suka didatangi rombongan demi rombongan orang yang datang untuk beristirahat. Adakalanya datang anak-anak kecil yang bermain dan berlarian di rumah. Kejadian itu konon biasanya berlangsung pada saat Oma Ani sendirian di rumah.
Anak-anaknya tidak ada yang percaya dengan cerita tersebut. Ya karena memang tidak pernah terlihat ada bekas-bekas kedatangan orang dalam jumlah banyak ke rumah. Mereka menduga hal itu hanya sekadar halusinasi Oma Ani.
Tetapi, saya percaya bahwa Oma Ani masih sering dikunjungi makhluk-makhluk gaib yang entah dari mana datangnya. Pintu energi di tubuhnya sudah terlanjur terbuka sejak masih tinggal di Jakarta, akibat persinggungan dengan kuntilanak dan makhluk-makhluk supranatural di masa lalu yang cukup panjang.
Penulis: Billy Soemawisastra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Teror di Sebuah Gedung Stasiun TV Indonesia dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.