Teror di Semeru Gara-Gara Buang Pembalut Sembarangan

MOJOK.COSemeru nggak bisa diremehin. Kamu harusnya berhati-hati, soalnya di sana ada kerajaan jin!

Selamat malam Jumat, jamaah Mojokiah yang berbahagia. Malam ini, saya mau bercerita mengenai pengalaman horor teman saya, Mirza, saat ia mendaki Gunung Semeru pada pertengahan Agustus 2015 lalu.

Ini cerita tentang sosok bermata merah yang menyambut kedatangan Mirza dkk di hamparan rumput Oro-Oro Ombo saat tengah malam, di tengah lolongan serigala yang mendebarkan dan kegelapan yang mencekam.

Supaya lebih runtut, cerita ini akan saya mulai dari sosok Mirza sebagai seseorang yang hampir saban libur semester kuliah punya agenda naik gunung.

Jika dilihat secara fisik dan tampang, orang jelas nggak akan percaya kalau Mirza—atau yang akrab disapa Ki Melir—sudah sering naik-turun gunung. Bayangkan: dengan badan setipis papan triplek, ekspresi wajah yang senantiasa menyiratkan rasa lelah, dan auto-batuk kalau dekat kipas angin, tentu nggak ada karakter seorang “pendaki gunung sejati” yang melekat pada diri Ki Melir sama sekali.

Tapi kenyataannya, ia berhasil meruntuhkan mitos bahwa orang kurus yang sekali kena angin batuk nggak akan bisa manjat gunung. Buktinya, Prau, Ungaran, Muria, Merbabu, hingga Lawu, sudah berhasil dilampaui Ki Melir dengan badan super slim-nya itu. Inilah yang kemudian membuatnya tertantang untuk mencoba kebuasan alam Semeru.

Bersama dengan Haidir, Asep, Atikah, Ucup, dan Bombom, Ki Melir pun memulai perjalanannya mendaki Semeru. Haidir dan Bombom adalah teman sejurusan Ki Melir, sedangkan Asep teman satu asramanya dulu. Sisanya, Atikah dan Ucup, merupakan kenalan Ki Melir dari kampus lain.

Selanjutnya, adegannya mirip dengan yang pembaca saksikan di film 5 CM. Mereka berangkat  malam, sampai di Tumpang, lantas dijemput mobil jeep yang sudah dipesan jauh-jauh hari.

Mobil jeep itu mengantar Melir dkk ke basecamp pendakian yang berada di Ranu Pane untuk melakukan registrasi. Nah, di sini, salah seorang petugas relawan Semeru memeriksa surat kesehatan dan mengecek kelengkapan barang mereka. Maklum, di Semeru banyak kasus pendaki meninggal akibat hipotermia atau nyasar ke jurang. Jadi, barang-barang yang menunjang keamanan pendaki, semacam senter, sleeping bag, dan tenda, jadi prioritas. Petugas basecamp tidak segan-segan menyuruh pendaki pulang bila peralatan atau perbekalannya dirasa nggak lengkap.

Selain keamanan, petugas juga memberitahu mengenai larangan-larangan yang harus ditaati setiap pendaki, seperti larangan membuang sampah sembarangan dan imbauan supaya nggak naik ke puncak. Sebab, relawan hanya bertanggung jawab dengan pendaki sampai Kali Mati saja.

“Tapi, ada satu imbauan yang bikin aku ngeri, Sul,” kata Melir. “Jangan melewati Oro-Oro Ombo saat tengah malam sebab banyak yang kesurupan di sana.”

Petugas tersebut memberi penekanan yang membuat Melir terus terbayang-bayang keseraman Oro-Oro Ombo. Apalagi, reputasi Oro-Oro Ombo sebagai tempat wingit di Semeru sudah cukup banyak diperbincangkan.

Oro-Oro Ombo sebetulnya tempat yang bisa membuat hatimu berdesir, kata Melir. Padang rumput yang tampak hijau kekuningan dan jalan setapak yang membelahnya itu indah dipandang. Namun, sekali lagi, tempat ini penuh misteri. Sialnya, Melir menjadi bagian dari orang yang mencicipi keangkeran padang rumput tersebut.

Sebelum mencicipi kengerian Oro-Oro Ombo, Melir telah lebih dulu mendapat “salam” dari penunggu Semeru. Jadi begini: singkat cerita, Melir dkk berhasil mencapai puncak Semeru. Perjuangan yang nggak mudah itu mereka rayakan dengan berfoto-foto dan menangis haru.

Pada saat itu, Melir melihat teman-temannya sudah tidak kuat berjalan turun. Rasa lelah dan haus membuat mereka tertahan di puncak Semeru. Maka, Melir pun memutuskan untuk turun dan mengambil persediaan air di bawah.  Namun, kejadian mengerikan terjadi saat ia hendak naik lagi ke puncak gunung tersebut.

Kala itu, Melir melewati sebuah persimpangan. Di tengah persimpangan tersebut, ada papan arah menuju puncak yang menunjuk jalan sebelah kanan. Karena lupa dengan jalur awal, Melir pun mengikuti arah petunjuk tersebut.

Namun, setelah berjalan lama, bukan puncak yang ia temui, melainkan jalan buntu. Jalan di depannya tertutup pepohonan yang rindang, gelap, dan sunyi. Melir ingat jelas, ia tak pernah melewati hutan itu sebelumnya. Rasa takut segera menjalar ke seluruh tubuhnya sebab tempat itu mengingatkan Melir dengan forbidden forest­ dalam film Harry Potter. Bingung, Melir pun kembali ke persimpangan dan betapa terkejutnya lelaki super slim itu ketika mendapati papan penunjuk arah tadi sudah hilang entah ke mana.

“Aku langsung ngikutin jalur yang sebaliknya, untung bisa ketemu teman-teman. Aku udah mau nangis rasanya, Sul,” kata Melir.

Karena Melir dkk turun dari puncak Semeru saat sore, mereka pun baru memasuki Oro-Oro Ombo tengah malam. Melir awalnya takut untuk lanjut, tapi teman-temannya memaksanya agar tetap berjalan. Mereka ingin cepat sampai ke bawah. Mau nggak mau, Melir pun menuruti teman-temannya.

Nah, di sinilah teror yang sebenarnya dimulai. Waktu itu hampir jam 12 malam, kata Melir. Ia berjalan di depan, sementara di belakangnya berurutan: Bombom, Haidir, Ucup, Atikah, Asep.

Berbeda dengan siang, padang rumput Oro-Oro Ombo pada tengah malam memancarkan aura keseraman yang hakiki. Selain gelap, lolongan serigala saling bersahutan menciutkan nyali siapapun yang mendengarnya. Syukur kalau serigala-serigala itu cuma say hello, lah kalau ngajak ribut, kacaulah semua.

Lalu tiba-tiba, di antara lolongan serigala itu, sayup-sayup Melir mendengar suara seorang perempuan.  

“Hihihi..”

“Suara apaan itu Ki?” Rupanya Bombom juga mendengarnya.

“Ssst,” Ki Melir memberi isyarat supaya Bombom tenang. Namun, ia sendiri tak bisa menahan rasa takutnya karena suara itu terus terdengar, bahkan makin dekat.

Tiba-tiba, dari bawah padang rumput Oro-Oro Ombo, muncul sosok mengerikan yang nggak pernah Melir bayangkan sebelumnya. Ia menyaksikan sosok berwajah kelabu, mengenakan pakaian serba hitam. Tapi, yang paling menakutkan ialah matanya: berwarna merah menyala.

Sosok bermata merah itu muncul di hadapan Melir secara mendadak, seperti hantu di film horor yang banyak dibumbui jump scare. Mengagetkan. Tapi, Ki Melir berusaha tenang walau langkahnya terhenti dan limbung.

“Ki, kenapa berhenti?” Bombom yang berada tepat di belakangnya tak bisa menahan diri untuk tak penasaran.

Ki Melir hanya diam mematung, antara takut dan panik. Si Mata Merah juga diam di hadapannya. Lantas, ia melesat ke arah barisan belakang, seperti ingin menyasar Atikah. Melir bersiap untuk lari ke arah Atikah, tapi malah terjatuh. Bombom, Haidir, dan Ucup segera membantu Melir berdiri.

Dalam keadaan jatuh, Ki Melir menyaksikan Si Mata Merah bertengger di atas carrier Atikah selama beberapa saat. Lalu, bruuukk! Atikah menjatuhkan tas besar itu. “Aduh, berat!” Ia mengeluh. Asep membantu Atikah memasang kembali carrier itu pada punggungnya. Untung, Si Mata Merah sudah menghilang. Ki Melir hanya diam. Ia mengira teman-temannya nggak menyadari penampakan mengerikan itu.

Keesokan harinya, saat sudah berada di homestay, barulah Melir berani membuka pembicaraan. Rupanya selain Melir, hanya Asep yang menyadari sosok itu. Kata Asep, Si Mata Merah sudah bertengger di atas carrier Atikah sejak mereka tiba di puncak Semeru. Di antara mereka berenam, memang hanya Melir dan Asep yang paling peka. Barangkali karena mereka seorang santri yang sudah lama mondok dan ilmu batinnya terasah dengan baik.

Karena penasaran, Ki Melir curiga Atikah sudah melakukan perbuatan yang menganggu salah satu penunggu Semeru. “Barulah saat itu, Atikah mengakui kesalahannya. Ternyata dia buang pembalut sembarangan. Lha jin itu suka sama darah menstruasi,” kata Melir.

Namun, teror si mata merah nggak berhenti di situ saja. Beberapa hari setelah pulang dari Semeru, sosok tersebut mendatangi rumah Melir dari arah jendela pada tengah malam. Saat itu, Melir berada di posisi ketindihan. Namun, ia melihat jelas Si Mata Merah mendekati wajahnya. Kedua tangannya yang kering dan berkuku tajam hendak mencekik leher Melir.

“Untung Bapakku datang. Terus, beliau mbentak aku gitu, aku langsung bangun dan setan itu menghilang.”

Setelah peristiwa tersebut, Bapaknya Melir yang memang terkenal sakti dan mengoleksi puluhan keris itu berkata, “Semeru nggak bisa diremehin. Kamu harusnya berhati-hati, soalnya di sana ada kerajaan jin!”

~ seperti diceritakan oleh @akhyat_sulkhan

Exit mobile version