MOJOK.CO – Malam 1 suro kayaknya baru kemarin. Tapi, teror 10 detik di bawah langit Sleman yang penuh bintang, rasanya lama banget. Sialan.
Dalam waktu 10 detik tanpa googling, coba sebutkan apa yang kali pertama terlintas di kepala ketika mengingat kembali tanggal 19 Juli 2023? Saya berani bertaruh. Ketika otak sedang dalam proses pengambilan informasi dalam waktu 10 detik itu, hanya sedikit dari kalian yang langsung mengingat bahwa malam 1 suro jatuh di tanggal itu.
Kecuali daya tampung memori otak kamu itu seperti Rebecca Sharrock. Dia punya kemampuan mengingat hampir seluruh detail dalam hidupnya yang pernah dia alami. Seperti saat dia mampu mengingat seluruh isi buku novel Harry Potter hingga kata per kata. Sampai dia digadang sebagai satu di antara 80 orang di dunia yang disebut mempunyai Ingatan Otobiografi Super (HSAM) alias hyperthymesia.
Dengan kemampuan super ini, dia mampu mengingat setiap detail kejadian seolah-olah hal itu baru saja terjadi. Sharrock juga mengakui karena kemampuannya itu terkadang ketika sedang mengingat kejadian-kejadian lampau dia bisa kembali merasakan emosi akan peristiwa itu.
Okelah, kamu bukan Rebecca Sharrock, tapi bagaimana malam 1 suro kali ini. Apakah terjadi sesuatu yang masih terbayang di kepala hingga sekarang? Sampai-sampai kamu mengingat setiap detail kejadiannya hingga kembali merasakan emosi di malam itu? Ya, walaupun belum genap sebulan malam 1 suro berlalu, tapi bagi orang-orang yang melewatinya dengan lempeng-lempeng saja ibarat semudah nge-swipe Instagram Story.
Kalau kamu adalah satu di antara orang-orang yang dimaksud, mending temani saya membagikan ingatan tentang kejadian horor yang cuma berdurasi 10 detik di bawah langit Sleman.
Posko baru di pinggiran Sleman
Saat itu, sebagian wilayah di Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Begitu pula di tempat kami, sedikit ke pinggiran Kabupaten Sleman. Kami baru saja meresmikan sebuah bangunan sebagai ruang untuk kami berkegiatan secara kolektif. Bangunan lantai 2 itu memang kecil, tetapi berdiri di area seluas 1 hektare.
Tempat yang setelah ini disebut “posko” berposisi di pinggir jalan kecil pinggiran Kabupaten Sleman sepanjang sekitar 2 kilometer. Meskipun ada beberapa kedai kopi, tempat makan, dan warung, jarang ada aktivitas selain lalu-lalang kendaraan, sayup-sayup suara dari arah masjid, dan serangga.
Posko tersebut berseberangan langsung dengan rumah yang sedang dibangun. Sisanya, lahan kosong yang mendominasi sebelah utara dan timur. Di sebelah selatan, terdapat barusan pohon tebu. Nah, di tempat luas yang kayak terisolasi oleh tanaman liar itu, ada 1 orang yang ditunjuk untuk menjadi penunggu tetap. Si pemberani itu bernama Rudi.
Jika nggak ada teman yang berkunjung atau berniat untuk menginap, Mas Rudi sungguh menghabiskan malam seorang diri di tempat sepi di pinggiran Kabupaten Sleman itu. Dan, kayaknya dia nggak keberatan sama sekali.
Tirakatan malam 1 suro di bawah langit Sleman
“Rabu malam ke posko, ya.”
Mas Rudi mengundang saya dan teman-teman lainnya untuk mengikuti tirakatan di sana. Ini juga sebagai bentuk rasa syukur berdirinya bangunan kecil itu. Jadi, komunitas saya ini sebetulnya jarang sekali mengadakan agenda keagamaan. Apalagi saya sendiri bukan orang yang rajin beribadah. Tapi, untuk acara ini, selagi jadwalnya cocok, saya ucapkan, “Gas!”
Seperti musim kemarau pada umumnya, siang hari di Sleman penuh dengan sinar matahari. Kalau malam, ada banyak sekali bintang di langit, ditemani semilir angin.
Malam itu, ada sekitar 20 orang berkumpul di halaman depan yang ditanami rumput jepang. Suhu malam itu turun hingga 20 derajat. Sleman sedang dingin-dinginnya dan kami duduk cuma beralaskan tikar lipat. Tumpeng rebusan, teh panas, dan duduk melingkar yang membantu kami supaya tetap hangat.
Tugas sebagai pembawa acara malam tirakatan 1 suro itu diampu oleh Nurul. Secara ringkas dia membuka acara, lalu menyerahkan jalannya acara kepada Mas Rudi. Dia akan memimpin doa, sebelum membacakan ayat-ayat berbahasa Arab dalam sebuah file PDF yang dibagikan ke grup WhatsApp.
Terus terang saja, banyak bagian dari ayat-ayat tersebut yang nggak bisa saya baca. Ya gimana, kemampuan saya membaca tulisan Arab sudah anjlok sejak terakhir kali membuka Al-Qur’an waktu SMA.
Membaca ijazah demi keselamatan bersama
“Ayat yang akan kita bacakan ini keutamaannya untuk menjaga diri. Harapannya, kita dijauhkan dari hal-hal buruk,” kata Mas Rudi membuka acara malam itu.
“Ini adalah ijazah yang saya dapatkan dari guru saya. Sebetulnya ini untuk saya pribadi. Tapi saya sudah mendapatkan izin untuk dibacakan orang banyak,” kata Mas Rudi kemudian tanpa saya paham ijazah apa dan siapa guru yang dimaksud.
Malam itu, saya sibuk memandangi langit Sleman yang penuh bintang. Saya sama sekali nggak menyimak panduan dari Mas Rudi ketika membaca ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu ada sekitar 15 lembar dan semuanya berbahasa Arab, tanpa terjemahan.
Mas Rudi memang jebolan pesantren dan sejauh yang saya kenal, beliau santri yang taat. Bagaimana dia merapal doa dan memimpin kami membaca ayat sudah cukup menyimpulkan setinggi apa ilmu agamanya.
Hanya ada satu dua orang yang tidak ikut membaca karena memang bukan orang Islam. Selain itu, semua orang khidmat membaca ayat, atau hanya berusaha untuk bisa membacanya. Lantaran saya nggak bisa membaca ayat tersebut, semakin malam, saya semakin aware dengan cuaca Sleman dan kondisi sekitar.
Saya merasa nggak ada yang aneh. Namun, ada satu momen ketika ayat-ayat tersebut dibaca, angin yang selalu semilir sejak sore, tiba-tiba berhenti. Entah ini kebetulan atau tidak.
Memutuskan untuk menginap di pinggiran Sleman
Agenda malam 1 suro itu ditutup dengan ngobrol-ngobrol santai sembari mengisap rokok dan menyantap hidangan. Setelah itu, satu per satu teman pamit pulang. Yang lain masih ngobrol dan sama sekali nggak menyinggung soal tirakat atau malam 1 suro. Semua terlihat baik-baik saja. Cuma Mas Rudi yang tidak bisa menutupi ekspresi cemas di wajahnya sembari tetap ngobrol.
Saya memutuskan untuk menginap di sana bersama Mas Rudi dan ditemani Mas Adi. Kami masih ngobrol di luar sampai teman-teman lain bubar pukul 3 dini hari. Setelah itu, kami bertiga masuk ke kamar untuk istirahat.
Sebagai gambaran, lantai 1 bangunan itu seperti ruang terbuka. Hanya ada dapur, toilet, kamar, dan ruang tamu yang terbuka. Kamarnya seluas 3×5 meter, berisikan kasur tipis, springbed, dan kasur lipat. Pas untuk 3 orang. Pintunya menghadap ke dapur dan punya 2 jendela tanpa gorden.
Satu jendela menghadap ke jalan kecil beraspal (selatan) dan satunya lagi ke arah utara, yang berarti menghadap langsung ke arah rimbunan pohon pisang dan tanah kosong.
Pukul 3 dini hari. Suasana pinggiran Sleman kala itu sunyi sekali. Angin semilir sudah kembali mengalir. Mas Rudi tidur di kasur lipat, di dekat pintu. Setelah menutup pintu hingga bunyi “jeglek”, tanda gerendel sudah mengaitkan daun pintu ke kusen, dia berbaring
Horor 10 detik di pinggiran Sleman
Setelah berbaring, kami tidak langsung tidur. Biasa, main hape dulu. Sekali lagi, langit Sleman penuh bintang, dingin, dan sangat sunyi.
Tiba-tiba, Mas Rudi yang tidur dekat pintu bangun secara mendadak dan duduk di pinggir kasur lipat. Pandangannya langsung jatuh ke arah jendela sebelah utara, yang menghadap ke rumpun pohon pisang dan lahan kosong. Sementara itu, saya dan Mas Adi yang dibuat kaget karena gerakan tiba-tiba dari Mas Rudi, menunggu dalam diam.
Saya masih ingat secara presisi kejadian dini hari itu. Bahwa 3 detik setelah Mas Rudi duduk, pintu kamar terbuka sendiri. Pelan sekali. Butuh waktu 2 detik bagi pintu untuk terbuka selebar jengkal orang dewasa dan mengeluarkan bunyi dari engselnya.
Kami bertiga menahan nafas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Awalnya saya pikir ada maling yang ingin mengintip ke kamar. Namun, dugaan saya sangat meleset. Tidak ada “manusia” yang mencoba masuk, tetapi sebuah suara memecah keheningan malam di pinggiran Sleman.
Fokus kami ke pintu pecah setelah suara ringkikan kuda terdengar dari arah luar. IYA, SUARA KUDA! Jika mengingat lagi volume suara kuda itu, kami yakin si hewan berkaki empat itu tidak jauh dari pintu. Padahal, di depan pintu adalah dapur kecil dengan wastafel. Tidak mungkin ada kuda yang muat di sana. Selain itu, kalau memang ada “kuda”, kami akan mendengar suara langkahnya terlebih dahulu.
Kejadian horor yang membekas di ingatan saya
Kalau kamu lupa atau nggak terbayang bagaimana suara kuda, Google menyediakan berbagai suara hewan. Termasuk kuda, dan coba kamu dengarkan sekarang.
Suara yang kami dengar malam itu sama seperti suara kuda pada umumnya. Ia meringkik dalam nada tinggi, namun lambat. Seperti kuda delman di Malioboro yang lemas karena kurang nutrisi itulah.
Ringkikan selama 5 detik itu cukup membuat gemetar badan saya yang seumur hidup belum pernah mengalami langsung hal-hal mistis. Rasanya sungguh janggal, bahkan ketika saya mengingat lagi kejadian horor di pinggiran Sleman kala itu.
Dini hari ini, Mas Rudi bergerak paling cepat. Dia langsung keluar untuk memastikan apakah ada delman atau joki kuda pacu lagi gabut pukul 3 dini hari dan memutuskan jalan-jalan naik kuda lewat di depan posko. Dia mengecek ke segala arah. Saya dan Mas Adi hanya duduk diam di kamar, menunggu info dari Mas Rudi. Atau cuma takut saja, sih.
Kembalinya Mas Rudi ke kamar langsung disambar kalimat dari Mas Adi, “Apa tadi, Rud?”
“Nggak ada apa-apa di luar. Tapi pada dengar, kan?”
Itu adalah kali kedua saya menginap di posko di pinggiran Sleman. First impression-nya sih oke-oke saja. Tapi, pada kesempatan kedua, dalam 10 detik di akhir sepertiga malam 1 suro itu, rasanya beda banget.
Seolah jendela yang nggak bergorden itu menatap saya. Dinginnya musim kemarau Sleman terasa lebih menusuk. Apalagi ketika kami mencoba untuk tidur. Ketika memejamkan mata, rasanya ada puluhan pasang mata menatap saya dari segala arah. Ah, saya nggak tahu, itu perasaan takut berlebihan atau yang lain. Atau cuma merasa nggak nyaman setelah dikonfirmasi bahwa semua orang mendengar ringkikan itu. Dalam hati saya cuma membatin, “Anjing, lah.”
Penjelasan dari Mas Rudi
Beberapa hari sejak malam itu, ketika kami berkumpul kembali, barulah Mas Rudi menjelaskan semua yang dia rasakan di malam 1 suro itu. Ini juga bikin saya agak gelisah.
Jadi, ketika teman-teman ngobrol selepas acara tirakatan, Mas Rudi terlihat gelisah. Ternyata, dia merasa, lalu melihat ada 3 bayangan bergerak cepat sekelebat di sebelah utara dapur. Pertama, dia menyadari pergerakan 3 bayangan itu lewat ujung mata kanannya. Kedua, lewat dari sebelah kiri. Yang terakhir, ketika Mas Rudi sedang mencuci gelas di dapur lalu menoleh ke arah toilet. Bayangan itu jelas menampakkan wujudnya, sosok hitam besar itu beradu pandang dengan Mas Rudi si Pemberani.
“Kemarin udah aku bilang, kan kalau ayat Ratib al Haddad yang kita baca itu ijazahku yang aku dapat dari guruku. Sebetulnya, itu untuk bacanku sendiri, supaya dijauhkan dari hal-hal buruk. Untuk “memagari” diri kasarnya,” terang Mas Rudi.
Saya dan teman-teman menyimak dalam diam.
“Waktu aku tanya ke guruku, boleh nggak kalau misal ayat ini dibacakan oleh orang banyak, beliau mengizinkan dengan sebuah peringatan. Kalau terjadi sesuatu, dan pasti terjadi sesuatu, kamu mesti baca surat A, B, C. Nah, ini yang nggak aku sampaikan ke yang lain. Supaya nggak geger,” kata Mas Rudi sambil cengengesan kayak nggak terjadi apa-apa.
Di dalam kepala saya, julukan Rudi si Pemberani berubah jadi Rudi si Anjing.
Rupanya, kejadian horor malam itu sudah diprediksi Mas Rudi. Namun, wujud dan bentuk gangguan yang tampak tidak bisa diprediksi. Jadi, doa yang kami panjatkan untuk “memagari” bangunan baru itu seketika memberikan dampak langsung ke “penunggu” asli tanah di pinggiran Sleman itu.
Kejutan di ujung petang
Akhirnya saya menyimpulkan bahwa yang kami lakukan malam 1 suro seperti usaha untuk mengakuisisi tempat itu dari “si penunggu”. Sampai Mas Rudi memberi sebuah penuturan yang lembut dan menenangkan. Paling tidak itu yang saya rasakan.
“Keberkahan dari doa itu ibaratkan semangka. Supaya dapat dagingnya, kamu butuh alat untuk membelah kulitnya. Jadi, anggap saja ayat ini adalah pisau. Tapi, mungkin saja ada yang tersinggung ketika kamu menenteng pisau karena nggak tahu niatmu sebenarnya cuma mau motong semangka, bukan ngajak dia berkelahi. Nah surat A, B, C yang dijelaskan guruku itu cara untuk menyampaikan niat baiknya.” Kata Mas Rudi si Paling Bijak.
Malam-malam selanjutnya, Mas Rudi menjalankan petunjuk dari gurunya. Hasilnya, tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh di posko.
Tidak butuh waktu lama bagi kami semua untuk memahami inti penjelasan Mas Rudi. Bahwa, semua ayat itu baik. Ia adalah “alat” yang bisa digunakan untuk mengharapkan keberkahan kepada siapa saja tujuannya, selagi dibawa dengan niat baik pula. Bahwa kejadian berdurasi 10 detik di malam 1 suro itu adalah sebuah “respons kecil” dari doa yang kami panjatkan.
Petang itu, kami memutuskan untuk beranjak pulang. Namun, sebelum pulang, Mas Adi menyampaikan sesuatu yang bikin kami merinding.
“Rud, yang di sini ada “anak-anak kecil” juga?”
“Iya, Mas. Kok sampeyan tahu.”
“Itu, pada larian-larian di jalan nggak bisa masuk.”
Serentak, kami semua menatap ke arah jalan beraspal di depan posko. Sepi, tidak ada kendaraan lewat, tidak ada anak-anak yang lagi lari-larian di kala petang.
“Oh, hehehe… iya,” jawab Rudi si Paling Horor!
Malam 1 suro yang kayaknya baru kemarin. Tapi, 10 detik di bawah langit Sleman, rasanya lama banget.
Penulis: Razi Andika
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Teror 10 Hari di Jawa Timur dan pengalaman mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.