MOJOK.CO – Malam itu, Sunardi tiba-tiba menghilang. Satu kampung panik karena kabar Sunardi diculik genderuwo penghuni pohon trembesi. Sungguh biadab.
“Sunardi ilang!”
Ya, itu kalimat terakhir yang saya dengar dari Dhe Pingah ketika berlalu di depan rumah saya. Nenek tetangga samping rumah saya itu berlari kecil sembari melewati lubang jalan yang sedikit berkubang di depannya. Memang, sejak sebelum petang, hujan sudah turun dengan sangat deras. Dan biasanya, akan muncul banyak genangan di jalanan kampung saya.
Jadi, cerita ini berlatar di sebuah daerah di Blora, Jawa Tengah, akhir 90an. Petang itu udara sudah cukup dingin berkat hujan cukup deras selama beberapa jam sebelumnya.
O iya, soal Sunardi. Katanya, teman saya itu diculik genderuwo.
Nah, mendengar kalimat Dhe Pingah, saja jadi tergerak untuk menggaruk kepala yang tidak gatal. Saya berpikir, “Sunardi kabur ke mana? Apa karena dia ngambek karena tidak dibelikan sepeda baru oleh bapaknya?”
Dalam hati saya menduga Sunardi tidak mungkin kabur selarut ini hanya karena bapaknya tidak membelikan sepeda baru. Iya, ini memang sudah larut.
Tandanya adalah Lek Shodiq barusan lewat depan rumah saya sambil mengayuh becak tuanya. Kalau Lek Shodiq melintas, berarti waktu sudah menunjukkan kira-kira pukul 10 malam.
Di zaman itu, becak masih menjadi salah satu transportasi favorit warga Blora untuk bepergian jarak dekat. Selain becak, ibu-ibu di pasar suka naik delman.
Dugaan liar kawan-kawan saya dan bukan diculik genderuwo
Penasaran dengan Sunardi, saya mengajak bapak saya untuk segera menyusul Dhe Pingah, yang sudah tidak begitu terlihat di kegelapan malam itu. Tapi bayang laju lari kecilnya masih terlihat karena beliau memakai daster warna putih tulang yang menyala di kegelapan. Untung Dhe Pingah tidak mengurai rambut panjangnya. Kalau sampai terurai, pasti kelihatan horor di kegelapan seperti ini. Horornya melebihi kisah diculik genderuwo.
Dhe Pingah, saya dan bapak, sama-sama berlari kecil menuju rumah Sunardi yang tidak jauh dari rumah kami. Sesampainya di sana, saya melihat kerumunan teman-teman sebaya berkalung sarung.
Teman-temen saya juga menduga kalau Sunardi kabur karena tidak mendapat sepeda baru, bukan karena diculik genderuwo. Maklum, saat itu, sedang ada tren sepeda di kampung saya.
Hampir semua anak dibelikan orang tua masing-masing. Tapi, tidak untuk Sunardi. Makanya kami menduga dia kabur karena kecewa. Diculik genderuwo? Ah, pikiran kami tidak sejauh itu.
Aziz jadi tersangka
Nah, karena sudah sepakat soal sepeda baru, kami malah mulai saling menyalahkan. Jadi begini ceritanya. Kambing hitam malam itu bernama Aziz. Siang tadi, Aziz mengolok Sunardi yang tidak punya sepeda baru.
Saat itu, Sunardi ikut kami main pakai sepeda tua milik bapaknya. Saking tingginya sepeda itu, kaki Sunardi kepayahan hanya untuk sampai ke pedal.
“Iki ki salahem Zizi. Goro-goro kowe, Sunardi purik terus minggat seko omah.” Celetuk teman saya yang masih jengkel kepada Aziz, yang siang tadi pamer sepeda baru. Di kampung saya, bapaknya Aziz memang berduit.
Bapaknya salah satu perangkat desa yang punya bengkok cukup luas. Sehingga, dengan sekali panen, beras di rumahnya bisa berkarung-karung seperti gudang Bulog saja. Sementara itu, Sunardi anak buruh serabutan. Makanya, untuk membeli sepeda baru pasti terasa sangat berat.
Belum usai teman-teman saling menyalahkan, salah seorang kerabat Sunardi menangis diiringi gumaman yang kurang masuk akal. Nenek yang satu rumah dengan Sunardi itu berkata ke bapaknya Sunardi kalau Sunardi tidak kabur. Katanya, Sunardi diculik genderuwo.
Genderuwo ini merupakan sesosok makhluk halus yang menyerupai manusia namun berbadan besar dan tubuhnya diselimuti bulu tebal. Sekilas mirip monyet besar berwarna hitam pekat dan mempunyai mata berwarna merah menyala.
Di kepercayaan masyarakat Jawa, terutama di kampung saya di Blora, genderuwo ini merupakan salah satu sosok makhluk halus yang suka usil. Terkadang mereka suka menggoda dan mengerjai orang-orang yang masih berseliweran di malam hari.
Diculik genderuwo penghuni pohon trembesi
Menggunakan mitos yang beredar di masyarakat inilah, si nenek berasumsi kalau genderuwo penghuni pohon besar yang menculik Sunardi. Dugaan itu berasal itu Sunardi sendiri yang terlihat keluar rumah untuk jajan di warung selepas waktu Isya tadi.
Untuk mencapai warung itu, kamu harus melewati satu pohon trembesi berukuran besar. Pohon itu tepat berada di sisi sungai. Ya, rumah Sunardi memang tidak jauh dari sungai yang arusnya jadi makin deras selepas hujan deras. Mendapat lingkungan yang bagus untuk tumbuh, pohon trembesi kokoh itu terlihat semakin hijau dan rimbun.
Desas desus mengatakan kalau pohon trembesi itu ada penghuninya. Selain genderuwo, ada juga siluman kera putih.
Jadi, ada beberapa tetangga saya yang pernah melihat seekor kera berwarna putih bergelantungan di waktu Magrib. Sangat mustahil ada seekor monyet di tengah permukiman, apalagi kampung saya jauh dari hutan. Orang-orang kampung meyakini itu adalah siluman kera yang menghuni pohon trembesi itu.
Nah, ada juga cerita lain ketika seorang tukang pijat di kampung saya pernah dikencingi genderuwo. Saat itu, entah untuk tujuan apa, dia hendak menuju sungai di kala Magrib. Ketika melintas di dekat pohon trembesi, genderuwo itu berkemih dan kena badannya. Mungkin nggak sengaja kena.
Meski terdengar janggal, pada zaman itu, cerita genderuwo penghuni pohon trembesi cukup populer di kalangan teman-teman sebaya. Makanya, meski masih jengkel sama Aziz, teman-teman saya tidak sepenuhnya menampik kalau Sunardi hilang diculik genderuwo.
Proses pencarian Sunardi
Malam itu juga, warga kampung setuju untuk segera melakukan pencarian. Titik utama tentu di sekitar pohon trembesi.
Salah satu tetua kampung meminta semua orang dewasa untuk membawa alat dapur dalam pencarian ini. Kami boleh membawa panci, wajan, atau apa saja yang bisa menimbulkan bunyi.
Jadi, ketika berjalan sembari memanggil nama Sunardi, warga kampung memukul-mukul alat-alat dapur itu. Orang dewasa lainnya membantu menyinari gelapnya malam itu dengan senter dan obor.
Beberapa orang dewasa ada yang terjun ke sungai. Mereka berhati-hati ketika menelusuri tepi sungai. Maklum, malam itu, arus sungai cukup deras. Sayangnya, selepas tengah malam, belum ada titik terang. Dugaan Sunardi diculik genderuwo semakin kuat berembus.
Kami, yang dianggap masih belum cukup umur untuk berada di dekat sungai ketika malam, berjaga di dekat rumah Sunardi. Beberapa orang tua menemani kami.
Tidur di tempat yang janggal
Mendekati putus asa, beberapa orang dewasa mulai kembali ke rumah Sunardi. Apalagi malam itu gerimis turun lagi dan membuat baju orang tua Sunardi basah kuyup.
Karena bajunya cukup basah, bapaknya Sunardi masuk kamar untuk ganti baju. Ketika membuka lemari, orang tua Sunardi berteriak histeris.
Orang-orang di sekeliling rumah Sunardi dibuat kaget oleh teriakan itu. Ternyata, Sunardi tidur di dalam lemari kayu di dalam kamar orang tuanya. Seketika, Sunardi dikeluarkan dari lemari itu.
Masih ingat, waktu itu saya ikut melihat Sunardi digendong bapaknya keluar dari kamar dan ditidurkan di ruang tengah. Sunardi terbangun dan masih linglung.
Entah linglung karena baru bangun tidur, atau linglung karena memang Sunardi diculik genderuwo. Orang tua Sunardi belum berani menanyakan macam-macam ke Sunardi yang masih linglung. Dan akhirnya Sunardi disuruh melanjutkan tidurnya di kamarnya.
Beneran diculik Genderuwo?
Singkatnya, kasus hilangnya Sunardi malam itu terpecahkan. Orang-orang mulai pulang ke rumah masing-masing karena hujan mulai turun cukup deras. Saya dan orang tua saya waktu itu akhirnya ikut pulang.
Esok paginya, rumah Sunardi ramai oleh orang yang penasaran dengan kabar Sunardi diculik Genderuwo. Sunardi sendiri mengaku hanya tertidur di kamarnya, namun tidak ingat kalau dia tidur di dalam lemari.
Neneknya Sunardi masih bergumam kalau Sunardi diculik genderuwo. Alhasil, orang tua Sunardi dan kerabat Sunardi mencoba mereka ulang posisi tidur Sunardi di dalam lemari.
Jadi, Sunardi diminta masuk ke lemari, tapi ternyata tidak muat. Aneh, bagaimana bisa tadi malam Sunardi bisa masuk lemari dan bahkan tertidur disana. Sedangkan paginya dicoba masuk ke lemari tapi tidak muat. Neneknya Sunardi pun mengulang perkataannya sekali lagi.
“Kandaki, kok. Sunardi kui dicolong genderuwo terus dilebokke neng njero lemari.”
Penulis: Hafidhun Annas
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Dikuntit Tangan dan Kaki Genderuwo dari Salah Satu Gunung Keramat dan kisah disturbing lainnya di rubrik MALAM JUMAT.