MOJOK.CO – Kata kiai, Tina diikuti jin berupa anak kecil yang nggak rela melihat kedekatannya dengan cowok manapun. Menyedihkan, ya?
“Aku pusing. Sudah dulu, ya, mau istirahat. Capek banget kalau diikuti jin begini.”
Tina melambaikan tangannya padaku sebelum masuk ke kamarnya. Aku hanya balas melambai dan berkata pada temanku yang akan menginap malam itu, Renata.
“Tina itu,” kataku, “kalau bercanda mengerikan juga, ya? Maksudku, dia selalu menyebut-nyebut jin.”
Rena memandangku heran, “Tapi bukannya itu beneran, ya? Memangnya kamu nggak tahu?”
Aku berhenti memotong kue coklat yang tadi kami beli bersama-sama. Alisku terangkat, “Maksudmu, Tina beneran ketempelan?”
Renata menarik napas dan menjawab pelan-pelan, memastikan Tina tak mendengar kami,
“Jadi gini…”
Kisahnya dimulai sejak Tina duduk di bangku SMA. Konon, SMA-nya adalah SMA yang terkenal seram di kotanya, Banyuwangi, bahkan sempat masuk ke program TV On The Spot dalam kategori sekolah terangker di Indonesia.
Saat itu, Tina mengikuti kegiatan pramuka dan sedang menghadiri kemah 3 hari 2 malam. Badannya lelah setengah mati, tapi senior-senior terus mengerjainya dengan banyak tugas dan latihan, lengkap dengan sikap jutek dan menyebalkan.
Tapi, apa yang bisa Tina lakukan sebagai junior? Tentu saja tidak ada. Yang ia lakukan hanya mengikuti perintah senior dan mengumpat dalam hati.
Sore hari, waktu magrib tiba. Tina segera pergi ke musala sekolah dengan temannya, Anita. Selepas wudu, ia melihat seorang anak kecil duduk bersila di bawah pohon pisang dekat musala. Aneh sekali.
“Itu anak siapa, deh?” tanyanya pada Anita.
“Mana?”
“Itu, di bawah pohon pisang.”
Anita memandang Tina, ketakutan, “Jangan aneh-aneh, deh, di sana nggak ada siapa-siapa.”
Mereka berdua terdiam cukup lama, sampai akhirnya Tina berkata, “Oh, mungkin aku salah lihat. Aku pusing banget soalnya.”
Belum selesai Tina meyakinkan Anita, mendadak ia mendengar suara gamelan yang cukup keras dari aula. Tina mendadak ketakutan dan histeris, padahal Anita tak mendengar apa pun. Tapi, dengan sigap, Anita dan beberapa kawan segera membawa Tina kembali ke tenda karena ia tampak begitu gemetar.
Baru saja akan masuk ke dalam tenda, sosok anak kecil yang dilihat Tina tadi justru menjadi makhluk pertama yang ia lihat di sana. Tina berteriak keras sekali. Ia jatuh pingsan.
Malam harinya, Tina baru sadarkan diri. Seluruh temannya merasa lega, tapi tidak begitu dengan Tina. Pasalnya, sejak kejadian itu, ia jadi kerap melihat apa yang tadinya tak bisa ia lihat. Makhluk-makhluk halus mendadak berlalu lalang di sudut matanya, baik saat ia di rumah, di sekolah, di pasar, atau bahkan di terminal bus.
Untuk meminimalkan keadaan ini, Tina mengikuti ruqyah. Ia jadi sering kesurupan, tapi dengan segera dibawa ibunya untuk diruqyah. Kegiatan ini berulang kali terjadi dan dilakukan Tina hingga menjelang dirinya masuk ke universitas.
Mulanya, Tina mengira, masalah dirinya yang diikuti jin akan segera teratasi kalau ia keluar dari kota tempat tinggalnya. Sayangnya, hal ini tidak terbukti. Setiap kali pulang ke kampung halaman, Tina akan selalu menemui kiai kepercayaan ibunya untuk kembali diruqyah.
Kini, di tahun akhirnya di kampus, Tina masih diyakini diikuti jin oleh sang kiai. “Ia berupa anak kecil, nempel di pundakmu,” demikian terang si kiai.
Mendengar kabar ini, Tina akhirnya mengerti mengapa ia sering kali merasakan pundaknya kelewat berat. Belum selesai ia mengeluh, sang kiai bertanya,
“Kamu pacaran?”
“Sekarang nggak, Kiai. Baru saja putus.”
“Sering putus, Nduk?”
Tina mengangguk. Dalam hati, ia agak kesal kenapa tiba-tiba kiainya bertanya soal asmara. “Ada hubungannya sama jin, Kiai?”
Kali ini, kiai Tina yang mengangguk.
“Jinmu ini bentuknya anak kecil, sepertinya ia menjelma dari anak-anak yang digugurkan orang tuanya semasa hidup.
“Dia nggak rela melihat kamu sama orang lain, apa pun bentuknya. Makanya, kamu sering merasa nggak nyaman sama orang lain. Dalam urusan pacaran, ia bakal mendorongmu untuk putus dan nggak tertarik dengan laki-laki manapun.”
Tina terdiam mendengar hal ini. Lagi-lagi, dalam hati, ia kesal bukan kepalang. Sialan, batinnya, kalau kayak gini, kapan aku bakal punya pacar serius, Malih???
“Kuncinya cuma satu,” tambah kiai, sembari memandang Tina tajam-tajam.
“Apa itu?”
“Kamu ibadah yang rajin. Salat jangan bolong-bolong. Kamu harus bisa mengontrol diri sendiri, jangan sampai dia yang mengontrolmu. Kalau kalah, kamu bakal jadi orang yang begini terus, pemarah pula.”
Tina tersenyum pahit. Sedikit geli, ia membatin: apakah seseorang memang harus diikuti jin dulu agar bisa berubah menjadi orang yang rajin ibadah? Jadi sebenarnya jin-jin ini sifatnya buruk atau justru baik? Hmm? (A/K)