MOJOK.CO – Mendaki malam hari di Gunung Arjuno benar-benar menguras energi dan nyali. Bayangan daun yang bergerak bisa menimbulkan halusinasi.
Satu bulan sebelumnya
Menjelang sore, udara di Malang terasa sangat sejuk. Rio bersama temannya sudah berada di Stasiun Malang. Mereka berdua mendapat tugas dari organisasinya untuk berbelanja kebutuhan ekspedisi Mapala. Fajar, yang memiliki kerabat di Jakarta, mengajukan diri untuk ikut. Biar tidak usah mengeluarkan biaya akomodasi saat di sana, ungkapnya.
Hampir setiap tahun, para pegiat outdoor di Indonesia mengadakan semacam expo. Lokasinya selalu berbeda. Kali ini akan diadakan di Jakarta. Selama kegiatan berlangsung, biasanya dijual banyak perlengkapan untuk kegiatan outdoor. Yang namanya expo, harga yang dipatok pasti lebih murah. Tidak heran jika setiap tahun acara itu selalu ramai.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya, Rio sudah menelepon salah satu konter langganannya yang ikut dalam expo tersebut. Tujuannya supaya dia bisa memesan lebih awal, tidak kehabisan stok, dan pesanan bisa segera disiapkan. Setelah itu, dia menghubungi temannya di salah satu Mapala sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Rio minta supaya bisa dijemput di stasiun dan bisa singgah sejenak di sekretariat Mapala untuk istirahat.
Sesampainya di Jakarta, Rio dan Fajar dijemput oleh seorang teman dari Mapala. Sekitar satu jam dijamu di sekretariat, mereka melanjutkan perjalanannya ke expo. Karena banyak titipan yang harus dibeli, Rio dan Fajar langsung menuju konter yang jadi tujuan mereka.
“Selamat siang, Mas. Saya mau ambil pesanan atas nama Rio. Malang,” kata Rio kepada salah seorang pegawai di konter itu.
Pegawai konter itu nampak kebingungan setelah membaca daftar pesanan dari Rio karena ada salah satu item yang tidak dia temukan. Sebuah carrier keluaran terbaru dari salah satu pabrikan ternama. Carrier itu titipan Dina, pacar Rio. Kalau pulang ke Malang tanpa membawa pesanannya, wah, bisa terjadi “Perang Bharatayudha”.
“Maaf, Mas, sepertinya carrier-nya sudah terjual. Sudah saya cari tidak ketemu,” kata si penjaga konter agak panik.
“Lho kok dijual, Mas? Kan saya sudah pesan dari seminggu yang lalu!”
Kali ini Rio yang panik. Nada bicaranya mulai tinggi. Bayangan Dina yang bakal ngamuk berkelebat di dalam benaknya.
“Maaf, Mas. Baru saja terjual ke mbak itu,” kata pegawai itu lagi sambil menunjuk dua perempuan yang sedang membayar di kasir.
Pegawai itu kemudian menghampiri kedua perempuan yang ditunjuknya tadi. Dia sepertinya sedang bernegosiasi supaya mereka mau membeli carrier jenis lain, mengingat yang mereka beli sudah dipesan oleh Rio.
Rio mengikuti di belakangnya. Dia juga berusaha membujuk perempuan itu. Rio bahkan mau menggantinya dengan harga lebih tinggi asal mereka bersedia menukar dengan carrier lain. Namun, keduanya bersikukuh karena sudah merasa cocok dengan carrier yang baru saja dibayarnya.
Carrier hi-tech itu memang istimewa. Didesain khusus sesuai anatomi tubuh seorang perempuan. Kalau bukan di expo, harganya bisa 20 persen lebih mahal. Dina sudah lama mengincarnya untuk mengganti carrier lama.
Keributan antara Rio dan penjaga toko hampir saja terjadi ketika tidak lama kemudian datanglah si pemilik konter. Rio protes karena barang yang sudah dipesannya dijual ke orang lain, sambil menunjuk kepada dua perempuan di sebelahnya.
“Tunggu sebentar,” kata si pemilik konter sambil berjalan menuju mobilnya.
Beberapa saat kemudian dia kembali ke dalam konter sambil membawa carrier. Pesanan Rio itu rupanya sudah disimpannya supaya tidak terjual karena jumlahnya yang terbatas.
Ada perasaan lega yang tersirat di wajah Rio begitu melihat pemilik konter itu kembali dengan membawa carrier pesanannya. Hal yang sama dirasakan oleh si pegawai dan kedua pembeli yang tadi sempat bersitegang. Karena kesalahpahaman yang terjadi, Rio meminta maaf kepada mereka. Suasana menjadi cair kembali.
Bahkan Rio sempat berkenalan dengan kedua perempuan itu. Namanya Friska dan Anna. Keduanya mahasiswi pecinta alam dari sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Fajar dan Rio juga mengenalkan diri sebagai mahasiswa sebuah kampus di Malang.
“Lho, aku punya kenalan di kampus itu. Namanya Dina. Kami pernah mendaki bareng ke Lawu tahun lalu,” kata Anna.
“Dina yang galak itu bukan?” Tanya Fajar.
“Iya, iya bener, galak!” Friska menjawab sambil tertawa.
“Ya dia itu yang pesen carrier. Dia pacar Rio. Makanya tadi Rio panik,” kata Fajar lagi.
“Ooo… aku dan Friska kenal baik sama Dina,” kata Anna lagi.
Rio ikut tertawa sambil mendengar obrolan Fajar dan Anna. Setelah membayar semua pesanannya, Rio dan Fajar mengajak mereka makan siang bersama sebagai penebusan rasa bersalahnya.
Sambil menunggu pesanan datang, Rio menceritakan rencananya untuk mendaki ke Gunung Arjuno bersama Beni dan teman yang lain. Friska dan Anna nampak antusias karena belum pernah ke Gunung Arjuno sebelumnya.
“Kayaknya seru. Nanti aku kabari deh, soalnya kita juga ada rencana mau ke Gede. Kalau masih memungkinkan, kita pasti ikut ke Gunung Arjuno,” kata Friska.
Mereka kemudian berpisah setelah sebelumnya saling bertukar nomor telepon. Rio dan Fajar lanjut membeli kebutuhan yang lain sementara Friska dan Anna memutuskan untuk pulang.
Pendakian ke Gunung Arjuno
Sekira pukul 8.30, Kereta Ekspres Matarmaja yang membawa Beni, Teguh, dan Ari akhirnya sampai di stasiun Kota Baru, Malang. Rombongan Beni dijemput oleh Rio dengan meminjam mobil tantenya. Tidak butuh waktu lama mereka sampai di kediaman Rio di daerah Dinoyo. Setelah berbasa-basi dengan tuan rumah, keempatnya menuju lantai atas, tempat yang biasa dipakai untuk menerima tamu teman-teman Rio.
Usai sarapan pagi, mereka beristirahat sambil membahas rencana pendakian esok harinya. Rio memberitahukan kalau bakal dua orang dari Jakarta yang akan ikut dalam rombongan mereka.
Rio lalu menceritakan perkenalannya dengan Friska dan Anna di expo sebulan yang lalu. Juga tentang ajakannya untuk mendaki ke Gunung Arjuno bersama. Oleh karena itu, dia mengajak Dina untuk menemani mereka, karena kebetulan keduanya adalah kenalan Dina.
Teguh terkesiap mendengar penjelasan Rio. Dia teringat cerita Beni dan kejadian di kereta yang dialaminya tadi malam. Ada satu firasat tidak enak yang dia rasakan, tapi sengaja tidak dia sampaikan kepada yang lain supaya tidak mengganggu rencana yang sudah tersusun.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Beni. Hanya, dia tidak berpikir lebih jauh. Peristiwa di kereta semalam sudah berusaha dilupakannya, toh tidak sekali dua kali dia mengalami keganjilan seperti itu.
“Awal liburan yang lalu mereka menelepon untuk memastikan rencana kita. Katanya sih mereka jadi ikut, cuma sebelumnya mereka akan ke Gede dulu. Ada nazar katanya,” lanjut Rio.
“Lalu kita ketemuan sama mereka di mana?” tanya Ari.
“Mereka langsung ke basecamp Tretes, kita besok ketemu di sana,” jawab Rio.
Mendengar itu, mau tak mau, Teguh dan Beni kembali mencoba mengaitkannya dengan peristiwa di dalam kereta. Teguh bahkan masih ingat sekali dengan tulisan di kaca sliding door itu “Sampai bertemu di Gunung Arjuna”. Beni pun tidak lupa dengan kalimat yang diucapkan oleh salah satu dari mereka, “Nanti ketemu di basecamp ya….”
Masalahnya adalah, sejak terakhir Beni ngobrol di Jogja sampai akhirnya tiba di Malang, kedua pendaki perempuan itu tidak terlihat lagi. Ah, mungkin hanya sebuah kebetulan saja. Beni mencoba menepis semua kejanggalan yang terjadi di kereta dengan apa yang dikatakan Rio.
Hari itu, tanggal 20 September, Ari masih ingat persis karena bertepatan dengan ulang tahun ibunya, teman-temanku berangkat menuju basecamp Gunung Arjuno di Tretes. Dina juga ikut dalam rombongan. Mereka berlima menempuh perjalanan selama hampir dua jam sebelum akhirnya sampai ke basecamp Tretes.
Setelah beberapa saat menunggu, mereka tidak kunjung bertemu Friska dan Anna. Ketika bertanya ke petugas dan melihat buku registrasi, mereka tak menemukan nama keduanya. Setelah ditunggu sekitar satu jam dan ternyata belum juga muncul, akhirnya diputuskan untuk mulai bergerak menuju Pos 1, Pet Bocor.
Walaupun menawarkan pemandangan yang eksotis, Gunung Arjuno juga dilingkupi suasana mistis. Di beberapa pos pemberhentian terdapat area yang menyerupai makam. Entah makam siapa. Suasana mistis akan lebih terasa jika melalui jalur Purwosari karena di sana banyak situs peninggalan kerajaan yang masih disakralkan.
Beberapa kali mereka berpapasan dengan para pendaki yang turun. Namun belum juga ada jawaban tentang posisi Friska dan Anna. Tak ada yang tahu keberadaan mereka sampai akhirnya mereka tiba di Pos 3.
Saat Maghrib tiba, mereka beristirahat sejenak. Suasana pergantian waktu dari siang ke malam di gunung selalu menawarkan aura tersendiri. Jalur pendakian mulai sepi karena penduduk lokal yang menambang belerang sudah tidak beraktivitas lagi. Yang terdengar hanya suara gesekan ranting dan daun yang tertiup angin ditingkahi nyanyian binatang malam. Irama yang ditimbulkannya kadang terdengar seperti tangisan menyayat.
Cuaca yang mulai gelap memaksa mereka menggunakan headlamp. Jalur yang menyempit di beberapa bagian memaksa mereka untuk berjalan beriringan. Mendaki malam hari di Gunung Arjuno benar-benar menguras energi dan nyali. Bayangan daun yang bergerak bisa menimbulkan halusinasi. Pokoknya jangan pernah mendaki sendiri ke gunung satu ini.
Setelah dihajar beberapa tanjakan, akhirnya sampailah teman-temanku ini di Lembah Kidang. Di dekat mata air, mereka mendirikan camp untuk beristirahat. Tak ada orang di sana kecuali mereka berlima.
“Astaga! Kita kok berlima ya?” Kata Beni sesaat setelah dia mendirikan tenda.
Dia menyadarinya ketika di depan matanya terbentang luas Alas Lali Jiwo. Hutan paling disegani oleh kalangan pendaki karena cerita-cerita misterius yang mengiringi tumbuhnya pepohonan di dalamnya. Beberapa gunung memang memiliki mitos yang “mengharamkan” mendaki dalam jumlah ganjil. Celakanya, salah satu gunung itu adalah Gunung Arjuno!
“Kamu masih percaya juga sama mitos itu, Ben,” Rio menjawab sambil tertawa.
“Itu sebagai penghormatanku pada kearifan lokal saja, Yo. Tidak ada urusannya dengan logika yang selalu kamu tuhankan itu,” jawab Beni ketus.
“Kenapa tidak Ben? Semua hal di dunia ini bisa dijelaskan secara logika kok,” sanggah Rio tak mau kalah.
“Sudah-sudah, debat nggak mutu! Kalian kayak orang nggak pernah ngopi,” kata Teguh sambil menuangkan kopi ke dalam beberapa cangkir. Dia berusaha menengahi suasana yang mulai memanas.
Dua tenda sudah disiapkan oleh Rio dan Beni, sementara Teguh membuat minuman, Ari dibantu Dina menyiapkan makan malam. Usai mengisi perut, Ari dan Teguh menggelar matras. Sambil rebahan, pandangannya menatap langit. Lalu-lalang pesawat terbang yang kerap terlihat di atas langit Gunung Arjuno tak mampu mengusir kelelahan yang mereka rasakan.
Jalur Tretes ini memang dikenal kejam bagi para pendaki karena sejak dari Pos 1 mereka selalu dihajar oleh trek berbatu dan tanjakan curam. Tidak heran, karena basecamp Tretes hanya berada di ketinggian 900an mdpl. Itu sebabnya para pendaki harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menaklukan elevasi setinggi 2400 meter sebelum sampai ke Puncak Ogal-Agil di ketinggian 3300an mdpl.
Perut kenyang dan tubuh yang lelah sudah tak mampu lagi menangkal rasa kantuk meskipun sudah digelontor kopi. Hanya butuh beberapa menit saja setelah masuk ke dalam tenda akhirnya semua tertidur. Hanya Dina saja yang malam itu tidak bisa memejamkan matanya. Mungkin karena terlalu gelisah musabab terus memikirkan keberadaan Friska dan Anna.
Dia tidak menyadari, ada dua pasang mata yang mengawasi dari Alas Lali Jiwo sejak kedatangannya di sabana Lembah Kidang.
Belakangan diketahui ternyata mereka adalah Friska dan Anna. Lalu dengan siapa mereka di Alas Lali Jiwo? Bagaimana caranya mereka bisa sampai ke sana tanpa tercatat? Mengapa pula tidak bergabung dengan Rio dan teman-temannya?
Bersambung
BACA JUGA Sampai Bertemu di Gunung Arjuno dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno