MOJOK.CO – Banten, Pandeglang, Gunung Pulosari. Gunung yang dikeramatkan oleh warga itu menjadi medan penguji mental saya yang mudah kuncup ini.
Halo pembaca Mojok. Kembali lagi dengan saya, Agnes, seorang wanita biasa yang kebetulan suka berpetualang ke berbagai tempat selama ada duit hahaha.
Kali ini, saya akan menceritakan kembali sebuah cerita ketika mendaki Gunung Pulosari. Belum lama ini saya mendaki ke sana dan, lagi-lagi, trauma masa kecil dan kisah aneh mengiringi saya selama menapaki gunung keramat di daerah Pandeglang, Banten.
Kali ini, harus saya akui. Mohon maaf sebelumnya, saya mendaki ke Banten dengan niat yang agak nyeleneh.
Obrolan iseng
Ide mendaki Gunung Pulosari di Banten muncul dari tengah obrolan bersama teman. Ide itu tercetus ketika sedang asyik ngopi bareng dari starling daerah Jakarta. Kali ini, saya tidak boleh menyebutkan nama asli teman saya. Ada rasa aneh yang masih dia rasakan setelah pendakian. Maka dari itu, kita sepakati nama teman saya ini Bambang saja. Kala itu, Bambang bercerita pengalaman mistisnya di Gunung Lawu.
Kami saling berbagi cerita tentang pengalaman mistis ketika mendaki gunung. Kalau Bambang bercerita soal Gunung Lawu, saya membalasnya dengan cerita di Gunung Gede Pangrango. Semoga pembaca Mojok sudah sempat membacanya, ya. Saking serunya berbalas cerita, abang tukang starling ikut nimbrung.
Si abang bercerita bahwa di Pandeglang juga ada gunung yang tidak begitu tinggi dan tidak aktif. Nama gunung itu adalah Gunung Pulosari. Si abang memang asli orang Pandeglang, Banten. Dia bercerita dengan antusias bahwa ada banyak misteri yang masih tersimpan di dalam rapatnya hutan Gunung Pulosari. Mungkin, sebagian pembaca sudah tahu ceritanya mengenai bola api yang melayang-layang di Gunung Pulosari.
Rasa penasaran yang tak tertahankan
Mendengar cerita si abang, saya langsung tertarik mendaki dan mengenal misteri di sana. Ditambah lagi, Gunung Pulosari juga merupakan saksi bisu sejarah Banten. Saya, sebagai orang Banten, jadi penasaran.
Sekali lagi saya perlu menegaskan di sini kalau saya itu sebetulnya penakut. Namun, lagi dan lagi, rasa penasaran di dalam dada saya sulit sekali ditekan. Maka, batin saya, tidak ada salahnya melatih mental dan nyali di sana. Yah, siapa tahu, saya bisa buka channel YouTube horor seperti Mbak Sara Wijayanto.
Kembali ke obrolan tadi. Setelah mendengar cerita si abang, Bambang juga tertarik. Apalagi setelah mendengar cerita soal jalur pendakian dari si abang. Tak banyak pikir, Bambang menegaskan akan berangkat besok paginya. Saya langsung memasang raut wajah tidak percaya dan ragu. Ya gimana nggak kaget, perjalanan mendaki kali ini super dadakan, ditambah personilnya cuma saya sama si Bambang.
“Heh, Bambang! Yang bener aja lo? Yakin berdua doang?” Tanya saya dengan nada tinggi sembari menatap tajam ke arah laki-laki berumur 28 tahun itu.
“Lah, yakin atuh. Besok langsung. Nih gelas kopi habis, gue antar ke rumah lo, biar lo bisa prepare ngedaki besok,” ucap Bambang yang langsung menyeruput habis kopinya.
“Wah emang rada-rada sakit sih emang lu,” balas Saya yang masih tidak habis pikir.
“Udah, lu jangan begitu. Gua tau lu juga kepo kan!”
“Ya iya sih, tapi nggak besok juga Bambang!”
“Yang mendadak emang selalu jadi sih, Nes.”
Persiapan menuju Banten
Akhirnya, malam itu, saya dianter Bambang pulang. Sesampainya di rumah, saya sudah langsung sibuk menyiapkan perlengkapan untuk mendaki. Ketika sudah selesai, ponsel saya tiba-tiba saja berbunyi. Bambang menelpon untuk memberitahu bahwa besok pagi akan menjemput saya dengan motor. Saya langsung mengiyakan dan cepat-cepat ingin tidur.
Sekitar subuh saya sudah terbangun. Jujur, saya agak merasa aneh dengan mimpi semalam. Semenjak kejadian Alas Purwo tujuh tahun silam, saya suka memimpikan hal-hal aneh. Akhir cerita dari Alas Purwo itu masih “menemani” saya. Silakan baca ceritanya, ya.
Selama tujuh tahun itu, yang bisa saya lakukan hanya mendiamkannya. Saya takut, tapi tidak terlalu memusingkannya. Meski mimpi-mimpi aneh itu masih rutin datang, meski intensitasnya tidak seperti dulu. Yah, bisikan yang tertinggal dari Alas Purwo itu masih setia menemani.
Perjalanan menuju Gunung Pulosari
Selesai salat subuh, tidak sampai 10 menit, suara motor Bambang terdengar dari depan rumah. Bambang ingin saya segera membonceng. Dia ingin cepat sampai Banten.
Selama perjalanan menuju Banten, kami banyak mengobrol soal jalur yang akan diambil. Bambang bilang kami akan lewat Mandalawangi di Cilentung. Tapi sayangnya, salah kami juga tidak mencari tahu bahwa ternyata jalur Cilentung itu masih ditutup. Maka, kami berhenti sejenak sembari nanya juga ke beberapa warga sekitar. Akhirnya, kami memutuskan untuk lewat jalur baru via Saketi.
Bambang langsung mengambil keputusan kami akan lewat Saketi. Kalau saya pribadi, jalur Cilentung yang “rasanya” lebih aman. Abang starling tadi malam juga meminta kami lewat Cilentung saja karena itu jalur resmi. Tapi yah, karena ditutup, kami harus putar balik dan perjalanan jadi makin panjang. Kurang lebih satu jam.
Perjalanan menuju basecamp memang akan susah karena sempit. Ada bagusnya juga kami membawa motor ketimbang mobil. Ya, lagian cuma berdua juga, sih. Simaksi Gunung Pulosari di Pandeglang Banten ini sekitar Rp25.000 dan biaya parkirnya Rp5.000 rupiah. Basecamp via Saketi dikelola oleh RW sekitar.
Kalau dari informasi yang saya dapat, jalur Saketi ini memang masih jalur baru yang diresmikan tahun lalu. Dibandingkan gunung-gunung lain, Gunung Pulosari ini memang masih tergolong sepi.
“Iya, memang kebanyakan yang suka mendaki ke Gunung Pulosari ya biasanya memang warga sekitar atau anak-anak sekolah sekitaran Pandeglang. Jadi memang sepi sekali sih dari pendaki luar daerah,” ujar pengelola basecamp, yaitu Pak RW bernama Udin saat menyeduhkan kopi hangat untuk kami berdua.
Saat itu saya cuma bawa daypack saja dan Bambang sendiri membawa carrier 50 liter. Setelah mempersiapkan segala hal, kami memulai perjalanan menuju puncak Gunung Pulosari.
Baca halaman selanjutnya….
Gunung keramat di Banten
Walau ini bukan pertama kalinya mendaki berdua, tapi tetap saja ada sensasi takut. Ditambah lagi, katanya, Gunung Pulosari itu dikeramatkan warga sekitar. Pokoknya waktu itu pemahaman saya, apapun sesuatu yang dikeramatkan pasti nggak jauh-jauh dari hal mistis. Sempat awalnya saya pesimis. Tapi setelah memantapkan hati, saya berjalan dengan semangat.
Di awal perjalanan, jalur Saketi ini cukup banyak persimpangannya. Jadi, saya dan Bambang mengikat seutas tali rafia sebagai penunjuk jalannya. Mengikuti arahan tadi, saya dan Bambang sibuk melihat-lihat sekeliling kami. Jalurnya juga tertutup banget jadi agak sulit, ditambah kita berdua cukup nekat karena nggak pakai guide lokal. Mohon untuk tidak ditiru ya, teman-teman.
Setelah berjalan cukup lama, kami akhirnya sampai di shelter parigi atau shelter satu. Kami memang sengaja berjalan pelan karena menikmati alam sekeliling. Ditambah lagi medan tanahnya itu tanah merah sehingga licin. Jadinya kami harus ekstra hati-hati.
Kami harus terus ngobrol supaya rasa lelah ini tidak membuat mental saya ambruk. Entah, saya cepat jadi lelah. Betul-betul lelah karena sedari tadi terus menanjak. Estimasi sampai di shelter itu memakan waktu kurang lebih satu jam.
Di shelter, kami juga bertemu beberapa pendaki lainnya yang sepertinya hendak turun dari Gunung Pulosari. Karena kami benar-benar baru menjelajah ke gunung ini, jadilah saya ngobrol dan bertanya-tanya sebentar mengenai jalur ke arah puncaknya.
“Neng, sama akangnya, kalau mau naik nanti hati-hati kesasar ya. Kalau bisa lihat tanda yang ditinggalin sama pendaki-pendaki sebelumnya saja. Nanti kalau udah ketemu gubuk gitu, belok kiri ya Neng, jangan kanan,” ucap salah satu pendaki laki-laki yang keliatan berumur 30 tahunan.
Kami beristirahat cukup lama di sana dikarenakan tadi pagi kami belum sempat makan. Maka dari itu, saya dan Bambang berniat untuk mengisi perut terlebih dahulu. Saat itu hari juga semakin siang. Akhirnya kami melanjutkan lagi perjalanan.
Persimpangan yang rumit
Beberapa lama berjalan, benar saja kami mendapati sebuah gubuk. Saya ingat betul petunjuk pendaki tadi untuk belok ke kiri.
“Eh, eh tunggu,” kata Bambang sembari menarik daypack saya. Dia menahan saya dan dahinya sedikit mengkerut.
“Ini beneran jalan ini? Kok gue nggak liat jalan setapak dah,” Bambang ragu melihat jalur di sebelah kiri yang masih dipenuhi oleh dedaunan dan semak belukar.
“Lah tadi kata pendaki yang kita temuin itu bener anjir lewat kiri, udah ah jangan banyak mikir sulit-sulit. Liat noh langit udah mendung,” seru saya mengarahkan jari telunjuk saya ke arah langit.
Cuaca mulai tidak bersahabat. Maka, buru-buru, saya dan Bambang tetap melanjutkan perjalanan. Saya sih sudah mengira ini pasti di tengah jalan bakalan turun hujan.
Hujan deras
Benar saja, ketika sampai di area hutan bambu, hujan turun tiba-tiba dan cukup deras hingga menghalangi pandangan kami. Ditambah di sekitar sana juga tidak ada tempat beristirahat atau berteduh. Saya langsung buru-buru mengeluarkan jas ujan. Sialnya, resleting daypack saya macet di saat genting. Jadi ya selama perjalanan nanti saya harus mengenakan pakaian basah.
Saat di area hutan bambu ini, kami sebenarnya agak cukup bingung dengan jalannya. Kenapa bingung, karena jujur ini persimpangan dan jalurnya itu cukup banyak membuat kami berdua harus lebih fokus, lebih ekstra mencari-cari tanda di tengah lebatnya hujan. Air hujan yang mengeroyok membuat pandangan mata menjadi terbatas. Suara hujan cukup deras membuat saya harus berteriak ke Bambang.
“Woy, ini gimana nih, gue belum nemu-nemu itu tanda jalannya,” ucap Saya berbicara cukup kencang. Bambang pun masih celingak-celinguk mencari tanda arah jalan hingga kami cukup lama mengelilingi hutan bambu itu. Singkatnya kita ini tersesat, karena sedari tadi kita selalu balik di tempat yang sama.
“Wah anjir gimana ya, coba deh bentar gue cari dulu. Lo tunggu sini,” kata Bambang yang sepertinya dia niat mencari tanda arah jalan sendirian meninggalkan saya di tengah bambu-bambu yang menjulang tinggi ini. Sontak saja saya menarik tangannya, hingga badannya sedikit tertahan. Bambang pun langsung menatap saya dan bertanya.
Nyali saya menciut
“Kenapa? Takut lo?” Tanya Bambang menebak saat melihat gelagat dan raut wajah saya yang agak sedikit takut.
“Lo tau kan, udah gue ikut aja. Gamau gue sendirian.” Pungkas Saya yang akhirnya berjalan mengikuti dia sembari memegang tali yang terikat di carrier miliknya. Kami berdua berusaha untuk mencari jalan dan juga tanda arah.
Ketika melihat sekeliling, saya jadi teringat kejadian di Alas Purwo waktu itu, di mana paman dan Dinda yang tiba-tiba menghilang secara misterius di hutan bambu. Semoga saja kali ini saya tidak perlu mengalami kejadian yang sama.
Saya dan Bambang merasa sudah terlalu lama di area itu. Melihat jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, berarti kami udah dua jam berputar-putar di hutan bambu. Lama-lama saya jadi semakin emosi karena pertama lelah, ditambah mengenakan pakaian basah itu sama sekali tidak nyaman.
Lemparan batu dari belakang
“Hadeh, ini kenapa sih gue kadang suka begini. Salah gue apa sih? Perasaan tersesat mulu, eneg lama-lama,” ucap saya yang jujur menyesali keadaan ini. Tidak seharusnya saya ngomong sembarangan seperti itu. Bambang pun hanya diam dan masih fokus mencari tanda arah hingga hujan agak sedikit reda.
Setelah agak reda, kami baru bisa menemukan tanda jalan (panah berwarna biru) yang berada di batang pohon yang tumbang. Ketika kami hendak melewati jalan itu, saya merasa ada sesuatu yang melempar ke arah kami dari belakang. Sontak saja saya nengok ke belakang, tapi tidak mendapati apa-apa. Tanpa disadari, ternyata hal itu yang menjadi awal petaka bagi kami berdua.
BERSAMBUNG….
BACA JUGA Ekspedisi Alas Purwo: Lembut Suara Gamelan Menjadi Tabir Rahasia Gelap Alas Purwo dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno