MOJOK.CO – Menulis tentang rumah Sekip UGM rasanya seperti mengorek rasa haru dan seram sekaligus. Banyak kenangan yang terkubur di rumah itu semasa saya SMA hingga kuliah semester awal.
Saya pindah ke Jogja pertengahan 1997. Bosan tinggal di Kota Palu, dan merasa pengetahuan saya tidak berkembang, saya mengikuti jejak dua kakak saya untuk pindah ke Pulau Jawa. Awalnya saya memilih Bandung, tapi setelah dipikir-pikir, Jogja sepertinya jadi kota yang menyenangkan untuk sekolah. Walau kenyataannya tidak seperti itu.
Pertama kali di Jogja, saya lebih dulu tinggal di daerah Jalan Solo, Demangan. Menumpang sementara di rumah saudara saya, Mas Arief. Setelah urusan pendaftaran calon siswa baru selesai, saya diminta Mas Arief untuk tinggal di rumah orang tuanya di perumahan Sekip UGM.
Tahun-tahun pertama saya habiskan hanya untuk berangkat ke sekolah setiap pagi, pulang sekolah biasanya saya keliling naik bus kota ke beberapa tempat di Jogja, dan berakhir di jalur favorit saya: Jalan Solo-Gardena-Galeria, hanya untuk main video game atau nama kerennya saat itu: ding-dong.
Kalau sudah begitu, saya bisa sampai rumah sekitar pukul 10 malam, bahkan lebih. Dulu, kalau sudah lebih dari pukul tujuh malam, sudah tidak ada angkutan umum masuk wilayah UGM. Hanya ada ojek atau becak. Namun, pilihan pulang naik ojek atau becak setiap hari bisa menguras uang jajan. Pilihan lain hanya berjalan kaki.
Rute utama saya berjalan kaki kalau sedang bernyali dan tidak takut setan dan semacamnya biasanya melewati Galeria-Sagan-Panti Rapih-Mirota Kampus-perumahan flat UGM-belakang perpus yang dulu di lantai paling atas ada radio Swaragama, lalu masuk ke perumahan Sekip.
Pukul delapan malam, area perumahan Sekip sudah sepi. Ramainya di pagi atau siang saat bus kota dan rombongan “tilik” ke RSUP Dr. Sardjito lalu-lalang di depan rumah. Selain di jam-jam sibuk, malam hari misalnya, mobil lewat bisa dihitung jari, malah lebih banyak ambulans yang lewat tanpa suara, hanya lampu hazard yang menyala. Gosipnya, kalau ambulans lewat tanpa suara seperti itu biasanya membawa jenazah.
Rumah tempat saya tinggal di perumahan Sekip UGM persis di depan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), yang sekarang dikenal sebagai RSGM Prof. Soedomo. Dulu, bangunan FKG tidak seperti sekarang, masih gedung tua dan mirip seperti bangsal rumah sakit zaman kolonial.
Pertama kali menjadi warga Sekip UGM, soal urusan gaib, tidak ada yang mengkhawatirkan. Nyaris semua wilayah di sekitar UGM jadi makanan saya sehari-hari, mulai dari Makam UGM (yang sekarang jadi Masjid Kampus UGM), lembah UGM yang masih dipakai orang untuk pacaran, sampai bundaran Fakultas Teknik yang legendaris itu.
Yah, saya lama tinggal di Kota Palu, Sulawesi Tengah, di mana soal santet atau di sana disebut doti-doti setiap hari saya dengar. Mulai dari santet kepala lembek, perut buncit dengan nanah, badan kurus mendadak, dan lain sebagainya. Belum lagi soal jembatan legendaris di area Kebun Kopi yang dikenal sebagai Jembatan Wentira, yang konon menjadi kerjaan besar bagi bangsa jin.
Hal aneh yang sering saya temui di tahun pertama paling hanya bapak-bapak yang sering berdiri di halte lama FKG UGM (Gerbang selatan FKG). Tidak setiap hari, tapi kalau saya pulang malam, bapak itu sering berdiri seperti menunggu bus kota. Suasana gelap di halte semakin membuat rasa penasaran bagi orang yang lewat dan melihat sosok bapak-bapak tadi.
Saya pernah suatu ketika, saking penasaran, mengintip dari depan rumah sepulang dari Galeria. Posisi halte ada di sebelah kanan rumah saya. Anehnya, beliau malah berjalan masuk ke arah gerbang FKG/parkiran mobil. Dalam pikiran saya saat itu, si bapak hanya penjaga parkiran yang gabut dan sesekali nongkrong di halte. Waktu itu nyaris tidak ada cerita menyeramkan di sekitar komplek perumahan, jadi saya tidak terlalu peduli.
Lalu di rumah Sekip UGM, sepupu saya yang baru berusia lima tahun saat itu sering memanggil “Mbah” ke arah gudang di rumah. Kadang dia sedikit ketakutan dan hanya mengucapkan kata “jahat” berulang kali.
Saya cukup rasional soal hal gaib. Bagi saya, makhluk halus yang sering menampakkan diri kepada sepupu saya memang penunggu lama dan tidak terlalu mengganggu. Insensitasnya tidak sering dan wajar saja kalau anak kecil lebih sensitif melihat “sesuatu”. Sudah jadi standar mistis di Indonesia.
Selama tinggal di sana kurang lebih enam tahun, nyaris tidak ada gangguan berarti. Paling-paling hanya sekelebat kain berwarna abu-abu gelap kalau saya lagi begadang maraton nonton HBO di ruang TV, suara-suara seperti benda jatuh atau lantai yang diinjak keras dan saya anggap itu karena kelakuan tikus atau kucing. Mencoba berani dan menguatkan mental.
Lalu, antara 2002 sampai 2005, saya sempat pindah ke rumah kakak saya di daerah Mlati, Sleman. Tapi, biasanya dua atau tiga kali seminggu saya mampir ke perumahan Sekip UGM, kadang menginap kalau ada jadwal kuliah pagi. Saya kuliah di Fisipol. Jadi jaraknya dekat dari rumah Sekip. Kebetulannya lagi, di tahun itu, saya punya pacar yang berstatus anak kos sekaligus tetangga saya di komplek Sekip. Kebetulan yang menyenangkan.
Setelah pindah beberapa bulan di Mlati, tiap kali datang ke perumahan Sekip UGM, saya mulai sedikit merasa kurang nyaman dengan rumah tersebut. Hal itu diperjelas ketika salah seorang teman sekolah saya saat SMA, Reza yang suatu hari datang ke rumah Sekip. Menurutnya, di rumah itu penuh dengan “penunggu”. Lebih dari tiga, di tiap bagian rumah. Ada yang dominan, ada penunggu kebanyakan yang tidak punya kekuatan berarti, ada juga yang sedikit berkuasa di area sekitar rumah.
Menurutnya, kategori yang biasa ini hanya bisa eksis dengan sesekali menimbulkan suara atau kelebat bayangan. Saya lalu ingat, beberapa tahun di sini, saya beberapa kali melihat “sekelebat” yang dimaksud teman saya tadi. Entah sekilas seperti hewan yang lebih besar dari kucing, tirai pembatas ruangan yang tiba-tiba bergoyang seperti baru saja ada orang yang lewat, atau bayangan yang tiba-tiba hilang di balik pintu salah satu kamar tidur.
Masih menurut Reza, “si biasa saja” ini ada beberapa yang iseng, ada juga yang kalem. Tapi, bagi penunggu yang dominan, mereka tidak sembarangan eksis kepada manusia. Ada yang bersedia diceritakan latar belakangnya, ada yang tidak suka, bahkan marah kalau dibicarakan.
Salah satunya yang ada di garasi motor. Sesosok wanita yang mungkin berusia 25 tahun, mengenakan pakaian biru dongker kusam, dengan rambut hitam kaku, seperti tidak keramas berhari-hari. Wajahnya marah, kesal, dan seperti tidak suka dengan orang yang beraktivitas di sekitar garasi motor.
Mungkin karena si wanita tahu Reza akan bercerita tentang kisahnya, saat kami di teras rumah malam itu, sosok wanita tadi mendekati Reza tapi tidak berbicara apa-apa. Hanya tiap kali kami mau membahas tentangnya, raut wajah marah dengan matanya yang melotot diperlihatkan kepada Reza. Ini diceritakan olehnya di kesempatan lain dan kami tidak sedang berada di perumahan Sekip UGM.
Saya jelaskan sedikit posisi garasi motor rumah Sekip ini….
Sebenarnya, garasi itu masih jadi bagian teras besar perumahan Sekip UGM. Namun, karena garasi asli sudah dialihfungsikan menjadi kamar, otomatis kami tidak punya garasi khusus. Motor hanya dimasukkan ke ruang tamu kalau sudah malam, tapi hanya muat dua motor saja.
Akhirnya, sebagian teras rumah disulap menjadi garasi khusus motor yang berdempetan dengan ruang tamu. Sejak ada garasi, ruang tamu rumah tidak kena sinar matahari karena terhalang tembok garasi. Konyolnya, kami, para penghuni rumah, tidak pernah membawa kunci pintu depan/ruang tamu.
Pintu hanya digerendel dari dalam. Untuk membukanya, kami harus masuk dulu ke dalam garasi motor yang kadang gelap, lalu membuka gerendel bagian dalam pintu ruang tamu melalui jendela yang ada di antara garasi dan ruang tamu. Kebayang? Kira-kira gitu, deh. Jadi, kalau pulang ke rumah selewat pukul 12 malam, saya kadang berharap masih ada orang rumah yang bangun, jadi kalau melihat sesuatu yang menyeramkan, bisa teriak.
Pacar saya pernah datang ke rumah selepas Maghrib. Kami janjian mau nonton. Dia mengetuk pintu rumah dan mengucapkan salam. Pintu tidak dibuka, tapi ada suara ibu-ibu dari dalam rumah yang menjawab, “Nggeh, tunggu sebentar ya.”
Lama pacar saya menunggu di teras tapi tidak dibukakan pintu. Saat itu saya yang sedang mandi tidak mendengar panggilan telepon. Sekitar setengah jam, saya akhirnya keluar setelah selesai mandi.
Begitu keluar, saya ditanya, “Ibu kok nggak bukain pintu tadi, ya? Apa nanggung lagi mau salat?”
Saya malah balik bertanya, “Ibu? Di rumah cuma ada saya dan Pak Man. Ibu tadi pergi sebelum Maghrib dan pamit ke saya.”
Pak Man, tukang langganan kami, hari itu sedang memperbaiki dapur kami. Sementara, ibu sedang ke rumah tetangga. Pacar mendadak ketakutan dan meminta kita segera pergi. Sepanjang jalan, dia menceritakan betapa jelasnya suara wanita tadi terdengar dari balik pintu. Suaranya seperti perempuan berusia 40-50 tahun, berat dan logat Jawa terdengar begitu kental. Dia juga mendengar suara langkah kaki yang mendekat lalu menjauh dari pintu ruang tamu ketika suara itu muncul.
Suatu siang, saya pernah pulang kuliah dan kelaparan. Maksud hati setelah sampai di rumah Sekip UGM saya akan ganti baju, bersih-bersih, dan langsung makan. Selama ganti baju, saya mendengar ada suara orang beraktivitas di dalam rumah.
Beres bersih-bersih, saya langsung menuju meja makan. Selesai mengambil nasi dan lauk, saya memanggil satu per satu nama orang yang tinggal di rumah saat itu. Niatnya untuk mengajak makan, tapi tidak ada satu pun yang menjawab.
Sambil membawa piring, saya mengetuk satu per satu kamar sambil memanggil nama mereka. Kosong semua. Saya lalu duduk di ruang TV dengan rasa penasaran, tidak percaya, bercampur takut dan lapar.
Setelah empat atau lima suap nasi, ada suara pintu dibuka lalu ditutup dari kamar tidur belakang, kamar yang awalnya dulu adalah kamar tidur saya semasa SMA. Jadi saya hafal betul suara pintu itu berasal darimana. Dengan mulut berisi makanan, saya spontan berkata: bajingan!
Piring saya taruh di meja makan, berjalan menuju kamar belakang dan memberanikan diri membuka pintu kamar. Tidak ada siapa-siapa. Saya terdiam beberapa saat melihat kamar yang kosong. Baru saja saya mau menenangkan pikiran, ada suara kucing persis di belakang saya. Bukan. Itu bukan lelembut. Saya tahu di rumah itu ada kucing, tapi karena kaget campur panik, saya spontan lari ke teras. Baru setelah berada di teras saya merasa sangat bodoh, konyol, dan malu dengan diri sendiri.
Sekitar satu jam setelahnya, saya yang sudah kembali duduk di depan TV setelah makan mendengar suara pintu depan dibuka. Ternyata Ibu angkat saya baru pulang arisan.
Saya tanya, apakah semua orang sedang pergi, ibu menjawab iya. Tadi pintu depan hanya digerendel karena tahu saya masih di kampus. Saya merinding. Setelah sekian lama, gangguan cukup berarti bagi saya akhirnya terjadi hari itu di rumah Sekip UGM.
Komplek perumahan UGM itu isinya bangunan tua, yang temboknya bahkan susah ditembus pakai paku baja. Dari awal tinggal di sana, saya sudah sadar betul kalau penunggu perumahan adalah mereka-mereka yang punya kekuatan lebih, senior atau selevel SJW; vokal dan tidak suka dengan orang yang cari gara-gara sama circle mereka.
Jadi, saya cenderung memilih menjadi warga manusia yang cinta damai dan tidak suka berurusan dengan “akamsi perumahan”. Saya tidak mau berbuat mesum di area situ karena takut gancet atau ditonton lelembut saat berhubungan badan. Walaupun sesekali saya nyimeng atau mabuk.
Tahun demi tahun berlalu, saya kembali tinggal di perumahan Sekip UGM antara 2012 hingga 2014 karena sempat membuka angkringan di daerah Gejayan. Daripada harus bolak-balik dari Gejayan ke Mlati, saya memilih kembali menumpang tinggal di Sekip.
Perumahan Sekip UGM sudah beda saat itu. Sangat beda. Aura seramnya makin kuat. Apalagi makin banyak tetangga yang sudah pindah. Dari sekitar 20-30 rumah yang ada di blok tempat saya tinggal, paling hanya sisa sekitar 10-15 rumah yang dihuni. Beberapa sudah dialihfungsikan oleh UGM menjadi Guest House atau UKM Fakultas, beberapa ditinggalkan begitu saja. Otomatis penduduk lelembutnya semakin ramai.
Minggu pertama tinggal di situ, saya sudah disambut dengan hangat oleh preman-preman lelembut sekitar. Beberapa kali saya mengalami mimpi yang sangat buruk menurut saya.
Saya punya kebiasaan menyebalkan. Kalau sedang tidur di tempat baru, di mana saja, dan secara kebetulan lelembut sekitar situ sifatnya usil, sudah pasti saya akan bertemu mereka di alam mimpi lapis pertama. Kalau menurut orang-orang, fase tidur yang baru saja memasuki alam mimpi, jadi ada di antara sadar dan tidak.
Karena kebiasaan itu hanya saya alami di tempat baru, saya beranggapan bahwa perumahan Sekip UGM bukan tempat baru. Ternyata saya salah. Bagi lelembut Sekip, saya tetap dikategorikan anak baru. Hari ketiga di sana, saya bermimpi sedang berada di rumah Sekip, di kamar tidur yang biasanya digunakan oleh tamu.
Di dunia nyata, kamar itu hanya berukuran 4×5 meter dengan plafon berwarna putih yang sedikit retak. Tapi di alam mimpi, kamar itu seperti berukuran 10×10 meter dengan plafon kusam yang sudah bolong sebagian dan di langit-langit sudah terlihat berbagai macam jenis makhluk halus. Tapi saya lebih fokus kepada belasan kuntilanak berbagai rupa dan pocong yang mengelilingi tempat tidur saya.
Di antara mereka, ada sosok wanita yang saya ceritakan di awal. Menggunakan pakaian seperti kemeja, bawahan rok, atasan dan bawahannya itu berwarna biru dongker kusam. Wajahnya kesal, marah, dengan rambut panjang yang kaku sampai punggung. Yang lainnya ada kuntilanak dengan bola mata yang melotot mau lepas, ada yang badannya kurus seperti orang bergizi buruk, ada juga yang perutnya buncit menyamping tapi sobek dan berdarah, atau pocong dengan muka melepuh seperti terbakar dan mengeluarkan cairan.
Karena tahu itu hanya mimpi dan mulai agak terbiasa, saya berani saja bertanya alasan saya didatangi saat sedang tidur. Saya juga pernah tinggal lama di sini sejak 1997. Jadi, seharusnya tidak perlu disamperin ramai-ramai. Bukannya mereka pergi, malah semakin dekat dan banyak di antara mereka mulai marah lalu ngomel nggak jelas. Saya semakin terjepit, duduk di atas tempat tidur.
Masih berusaha berkomunikasi, saya tanya ke salah satu kunti di situ, maksudnya apa? Mau ngajak berantem? Eh, malah mukanya diubah jadi sangat menyeramkan; kulit keriput, mata merah seperti dipenuhi darah, mulutnya lalu menganga dengan gigi tajam tidak beraturan dan lidah lancip panjang yang menggantung.
Namanya mimpi, antara kesal dan takut, saya akhirnya menampar beberapa dari mereka. Termasuk yang mukanya jelek itu. Rasanya melelahkan, perasaan saya sudah berjam-jam saya menampar mereka, berteriak, dan memaki-maki. Tapi begitu terbangun, masih pukul dua pagi. Saya berharapnya sih sudah pagi dan bisa tenang.
Itu tidak terjadi hanya di satu hari saja. Di hari lain, mereka kembali datang, fasenya sama, mereka muncul dengan skenario yang mirip dan selalu saat antara saya akan tertidur, fase “mak-ler” kalau kata orang Jawa.
Masih kejadian di perumahan Sekip UGM. Saya pernah di dalam mimpi diajak seorang laki-laki duduk di depan gudang kedua di perumahan ini, menyaksikan ramainya aktivitas di sekitar rumah; kunti dan pocica lalu-lalang sambil melihat saya dengan raut muka marah. Tapi kali ini tidak ada adegan tampar-menampar.
Di kemudian hari, di dunia nyata, sosok laki-laki dengan ciri-ciri yang sama di dalam mimpi saya itu sering diceritakan oleh beberapa saudara atau kerabat yang bertamu ke rumah. Sosok itu sering terlihat berdiri di depan gudang kedua rumah kami.
Sekitar 2013, saya mendapat jawaban tentang kejadian-kejadian di perumahan Sekip UGM dari salah satu teman yang kebetulan mendalami ilmu kejawen, sebut saja namanya Paijo.
Menurutnya, perumahan Sekip itu sudah seperti perumahan bagi kaum lelembut. Wilayahnya tenang, tidak ramai dan sejuk, banyak pepohonan di sekitarnya. Itu lokasi ideal bagi penduduk lama atau pendatang. Dan lelembut yang muncul di dalam mimpi saya adalah mereka-mereka yang lewat dan melihat perumahan Sekip UGM sebagai tempat nyaman.
Mereka mampir dan menetap setelah saya pindah ke Mlati. Saat kembali ke sana, banyak dari mereka yang belum kenal. Jadi wajar kalau mereka pikir saya anak baru dan akhirnya diminta memperkenalkan diri. Seandainya saya mau, saya bisa dibimbing oleh teman saya untuk menguasai mereka, karena sebenarnya saya masuk kategori penduduk lama.
Hih. Amit-amit.
Punya Noni, Kunti, dan Kakek Tua saja sebenarnya saya ogah. Tapi karena telanjur dan mereka bertiga baik-baik saja, saya biarkan terus ada di sekeliling saya. Kalau pernah membaca tulisan saya soal Cepu, kalian akan paham siapa itu Noni, Kunti dan sang Kakek.
Menurut Paijo, tiga sobat gaib saya itu juga menjadi salah satu alasan kenapa lelembut perumahan Sekip UGM terkesan marah kepada saya. Belum tentu mereka itu cocok dengan apa yang saya bawa ke dalam rumah dan itu bisa terjadi di mana pun, tidak hanya di Sekip.
Mungkin itu juga alasan saya sering bertemu makhluk gaib saat tidur di banyak tempat. Bahkan hotel bintang 5, kalau memang penduduknya rusuh, bisa dipastikan saya akan bertemu mereka saat tidur.
Perumahan Sekip UGM, bagi sebagian orang, adalah menjadi tempat yang menyeramkan. Tidak perlu sampai masuk ke dalam rumah, dari luar saja bisa dipastikan aura gaibnya sangat kental, meskipun rumahnya sudah direnovasi atau dialihfungsikan. Tapi bagi saya, Sekip tetap perumahan biasa, yang di dalamnya juga ada penduduk gaib. Apalagi bertahun-tahun saya tinggal di sana.
Selain tempat-tempat yang saya sebut di awal tadi, rasanya hal gaib di sekitar Sekip sudah tidak asing buat saya. Mulai yang dulunya menjadi kampus Fisipol unit dua zaman saya kuliah, SD Negeri Percobaan di daerah Sendowo, Food Court Sardjito yang sempat kosong cukup lama dan dulu terkenal dengan orang jualan “Lapen’, Jembatan Pertanian, Danau Lembah UGM, Lapangan Pancasila di malam hari sampai Komplek Bulaksumur sudah saya jelajahi dan relatif aman. Ya, nggak aman-aman banget, tapi lebih mending dibandingkan Lawang Sewu di Semarang sebelum direvitalisasi.
Bahkan terakhir kali saya ke sana bersama salah satu kru Mojok, saya masuk dengan tenang ke rumah yang sudah dikosongkan selama dua tahun sejak Ibu meninggal. Bahkan merasa sedih melihat rumah itu yang sudah berantakan, ditumbuhi pohon liar dengan beberapa bagian tembok rumah yang sudah rusak parah. Kami ke sana malam hari dan masuk hanya menggunakan senter hape sebagai penerangan. Kru Mojok agak ketakutan, saya malah merasa nostalgia, apalagi ketika masuk ke kamar saya dan kamar tamu tempat saya didatangi puluhan lelembut lokal.
Sepulangnya survey, saya malah sering mimpi disamperin pocong mini dengan kain pembungkus berwarna biru muda kusam yang ketika saya tendang mendadak melompat ke muka saya sambil melotot, dan saat tidur kadang ditunggui ibu-ibu memakai pakaian Jawa lengkap dengan jarik di sudut tempat tidur saya.
Karena merasa terganggu, saya lalu iseng mengirim pesan WhatsApp lengkap dengan foto kamar saya kepada kru Mojok yang menemani saya survei. Jawabannya cuma: “Hiiii… seremmm.” Nggak ada solusi atau kata-kata penyemangat sama sekali. Bangke.
BACA JUGA Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.