MOJOK.CO – Dulunya, sekitar tahun 2015, di seberang rumah saya berdiri bangunan kos 13 kamar. Lahan tempat bangunan berdiri cukup besar.
Bangunan tersebut membentuk letter U yang menghadap ke jalanan. Di bagian sudut depan kiri dan kanan terdapat dua kamar paling besar. Bangunan tersebut memiliki pintu kaca di bagian tengah yang membatasi area lahan parkir bagi penghuni kos dan halaman depan. Sementara itu, yang di depan menggunakan gerbang besi.
Meski berbentuk letter U, bangunan tersebut memiliki atap beton yang menutupi seluruh bagian atas. Oleh sebab itu, lahan parkir tidak akan kehujanan dan redup di siang hari.
Bangunan tersebut sudah lama berdiri. Saya sendiri tidak tahu kapan pastinya. Yang pasti, sewaktu ibu masih kecil di tahun 1985, bangunan kos itu sudah ada di sana dengan kisah-kisah horornya.
Well, saya penggemar cerita horor. Jadi, cerita-cerita tentang hantu yang disampaikan oleh nenek tidak pernah saya lewatkan. Salah satunya adalah cerita pertama tentang kos tersebut.
Jadi, dulu, saat bangunan itu masih beroperasi di tahun 1985, ibu yang masih berumur tiga tahun dibawa oleh nenek ke sana. Ibu dibiarkan jalan-jalan di sekitar lahan parkir saat nenek sedang asik mengobrol dengan para penghuni kos.
Ketika sedang asik berbincang, semua orang mendadak terkejut dan menatap kebingungan waktu menemukan ibu berbicara sendiri di dekat sudut tembok parkir. Namun, saat benar-benar didengarkan, kalimat-kalimat yang ibu ucapkan nampak seolah ada seseorang yang sedang mengajaknya berbicara.
Untuk sesaat, nenek hanya mengira kalau ibu mungkin saja memang sedang berbicara seorang diri. Namanya juga anak kecil. Namun, tak lama kemudian, penghuni kos yang bernama Mbak Yatik bertanya pada ibu.
“Kamu ngobrol sama siapa?”
Ibu yang masih bocah dengan lugas menjawab ada sosok nenek-nenek duduk di depannya dan sedang mengajaknya mengobrol. Suasana langsung hening. Mbak Yatik menatap nenek dengan sedikit merinding bercampur ngeri, lalu berbisik, “Saya kemarin juga lihat. Jam dua malam. Waktu mau ke kamar mandi. Dia duduk di bawah situ. Tua sekali, tubuhnya kurus.”
Padahal, kenyataannya, saat itu tidak ada nenek-nenek yang tinggal di kos tersebut.
Namun setelahnya, Bu Ratna yang berdiri di dekat nenek berkata keheranan.
“Loh, saya kira sudah pada tahu kalau di situ ada nenek-nenek. Saya kalau mau berangkat piket malam sering lihat ada dia duduk-duduk di situ.”
Sejak saat itu, nyaris seluruh penghuni kos meyakini ada sosok wanita tua yang berdiam di pojokan. Penghuni kos tak mau coba-coba berkomunikasi. Lagian, nenek itu tidak mengganggu penghuni.
Sialnya, satu tahun setelah mendengar cerita tersebut dari nenek, entah bisa disebut keberuntungan atau tidak, saya justru melihat dengan mata kepala sendiri tentang wujud makhluk yang menghuni pojokan tersebut.
Saya kira cerita lama itu sudah terkubur. Namun, ternyata, perkiraan saya salah.
Waktu itu pukul setengah sepuluh malam. Saya ingat ada tetangga yang satu minggu lalu meninggal dan hari itu keluarganya sedang melakukan malam tahlilan tujuh hari.
Seperti biasa, beberapa penghuni kos ada yang tidak datang. Saya, yang saat itu membantu acara tahlilan diminta oleh pihak keluarga untuk mengantarkan nasi kotak kepada para penghuni kos yang tidak ikut.
Salah satu hal yang membuatku merinding saat memasuki kos adalah bangunan tersebut memang terlihat menyeramkan bahkan saat dilihat dari luar. Seolah ada aura gelap yang menyelubungi tempat itu.
Lahan parkir yang terlihat dari gerbang depan juga tak memiliki pencahayaan yang baik. Seliweran cerita tentang penghuni kos yang melihat makhluk menyeramkan di dalam sana juga sering terdengar. Saya, dengan satu hela napas berat melangkah masuk sembari menenteng dua plastik berisi nasi kotak.
Kamar kos yang saya tuju berada di pojok belakang. Artinya, saya harus melangkah lurus melewati halaman, lahan parkir, dan lahan jemuran untuk mencapainya. Celakanya, ketiga tempat tadi tak memiliki lampu yang cukup terang. Jadi, nggak berani melirik, saya hanya menatap ke depan dengan langkah cepat.
Setelah sukses melaksanakan misi dan nasi kotak mendarat dengan aman, perjalanan keluar rupanya cukup tidak menyenangkan.
Akhirnya saya melihat sosok tersebut. Awalnya saya tak mau melihat ke arah sana, namun mata ini rasanya seperti “dipaksa” melirik ke sebuah sudut.
Di dalam kegelapan yang tak tersorot cahaya lampu, sosok itu sepertinya sudah menunggu. Dia duduk di lantai di pojok tembok, gaya duduknya menyerupai sinden, memakai pakaian kebaya zaman dulu sekali berwarna cokelat gelap dan kumal.
Seperti yang dikatakan, tubuhnya sangat kurus. Saya tak benar-benar melihat ke arah matanya. Namun, saya tahu kedua matanya sepenuhnya hitam dan rambutnya berantakan berwarna abu-abu sebahu. Senyumnya mengerikan dengan gigi yang menghitam.
Untuk beberapa detik, saya hanya mematung di sana. Tubuh ini seperti tak bisa bergerak dan jantung saya berdentum menghantam rongga dada.
Perasaan ngeri itu mencuat hebat dan membuat kaki ini tak mampu bergerak. Yang kuingat, setelah beberapa waktu terpaku, keberanian akhirnya muncul dan saya berlari sambil menangis.
Malam itu jadi trauma pertama terhadap bangunan kos tersebut. Saya tak berani lagi masuk kalau tidak siang hari saat matahari masih bersinar terik dan orang-orang berlalu-lalang.
Namun, beberapa bulan kemudian, pada pukul satu malam, setelah membeli nasi goreng di ujung gang bersama kakak laki-laki saya. Kami berjalan kaki melewati kos itu.
Oh, perlu diketahui, kalau gerbang depan kos tidak pernah ditutup. Gerbangnya juga sepertinya sudah tidak berfungsi karena seumur hidup saya tak pernah melihatnya digunakan.
Pintu kaca lahan parkir juga tak ditutup. Saya sendiri heran kenapa kos tersebut tak pernah dimaling. Namun, mungkin ini bisa menjadi jawabannya.
Jadi, saat berjalan melintasi kos sembari menenteng dua bungkus nasi goreng, kami berdua agaknya tak mengharapkan seuatu kejadian ketika sama-sama memalingkan wajah menatap bangunan kos, menyorot lurus tepat ke arah lahan parkir yang gelap.
Namun, untuk sekian detik yang terasa lama sekali, sial oh sial, saya dan kakak justru menemukan satu sosok yang berdiri tinggi menjulang di tengah-tengah lahan parkir. Di tengah kegelapan yang mengepung, kain kafan putihnya masih bisa terlihat dengan jelas. Matanya melotot dan wajahnya hancur.
Kami berdua diganyang rasa takut dan saya bisa merasakan tubuhku melemas. Kalau tidak ada kakak, mungkin saya hanya akan terjatuh di sana dan menangis.
Namun, dengan cepat, kakak mendorong bahu saya dan kami berlari dengan langkah nyaris tersandung kaki sendiri guna menyongsong memasuki halaman rumah. Perasaan ngeri itu bahkan masih merambati benak untuk beberapa hari ke depan saat melihat kos tersebut. Ingatan mengenai sosoknya masih terbayang sempurna di dalam kepala dan membuat saya kesulitan tidur.
Sebelum kos-kosan tersebut akhirnya dirobohkan pada 2016, beberapa orang terkadang mengatakan ada pocong yang berdiri di atap bangunan. Kakek saya sendiri pernah mendengar ada sosok wanita menangis di dekat gerbang dan ayah saya pernah melihat ada kuntilanak di halaman kos saat tengah malam.
Dan sekarang, bangunan tersebut sudah dihancurkan dan juga ditelantarkan. Setahu saya, lahan tersebut merupakan tanah sengketa. Akibatnya, mereka sukses menciptakan sepetak hutan di seberang rumah dengan dedaunan dan semak belukar yang rimbun sekali.
Bahkan suatu waktu, saat orang-orang di kampung bekerja bakti menebang pohon kersen yang tumbuh di sana, pakde saya yang bertugas menebang pohon bagian atas, sore harinya mengalami ketempelan. Setelah dibantu temannya yang bisa melihat makhluk tak kasat mata, rupanya pakde saya memang benar ditempeli oleh anak laki-laki kecil di punggungya.
Bahkan di tahun 2022 ini, hutan mini dan segala isinya itu masih berada di sana. Belum berubah dan tak ada lagi yang berani membersihkannya.
BACA JUGA Horor Apartemen Tertua di Jogja yang Menghilang dari Ingatan dan kisah seram lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Revanda Amelia Agatha
Editor: Yamadipati Seno