MOJOK.CO – Peristiwa di kontrakan Arini bukan kejadian tunggal. Semua berawal dari sebuah pendakian sembrono di Gunung Argopuro.
Awal kontrakan dan bergabungnya Rio
Sekembalinya ke kontrakan dari sekolahnya di Malang, Rio memang mulai menampakkan perubahan yang membuat kami semua sering bertanya-tanya. Bukan seperti Rio yang sebelumnya kami kenal. Kami berkesimpulan, mungkin, karena memang dia tengah mengalami kehidupan yang berat setelah berbagai peristiwa yang menimpanya. Dulu, kami mengenal Rio sebagai seorang yang talkative, apa saja bisa jadi bahan perbincangan. Dia yang sering menjadi “badut” di kontrakan yang kami sebut basecamp. Tapi, setelah rentetan peristiwa yang menimpanya itu, dia memang benar-benar berubah.
Rio mau diajak bergabung kembali seminggu sebelum kontrakan Arini itu resmi kami tempati atas inisiatif Beni. Dia merasa tidak sampai hati kalau harus meninggalkan Rio justru di saat harus ditemani. Padahal, sebenarnya, malah Rio yang lebih sering menghindari kami. Menurut tantenya, dia berubah setelah pulang mendaki Gunung Argopuro.
Dulu, setelah menamatkan SMA, aku dan teman-teman lain mulai jarang bertemu. Masing-masing dari kami tinggal di kota yang berbeda untuk melanjutkan sekolah. Aku di Bandung, Rio di Malang, dan Ari di Jogja. Menyisakan Beni dan Teguh saja yang tinggal di Purwokerto. Semasa di Malang itulah Rio semakin keranjingan naik gunung. Dia sangataktif di kegiatan Mapala kampus. Oleh sebab itu, kami cukup bersemangat ketika Rio mau ikut terlibat aktif di kontrakan.
Mendaki gunung-gunung di Jawa Timur memang sudah menjadi obsesi Rio sejak SMA. Jawa Timur memang menarik karena eksotisme alam dan jalur pendakiannya yang ekstrem. Di Malang, Rio tinggal di rumah tantenya yang berprofesi sebagai dosen di kampus tempat dia kuliah.
Memasuki tahun kedua, praktis komunikasi dengan Rio terputus karena dia semakin asyik dengan dunianya. Apalagi setelah kemudian dia berpacaran dengan teman sekampusnya, Dina. Bahkan saat libur semester dan Lebaran dia juga tidak pernah lagi pulang ke Purwokerto.
Menurut penuturan tantenya, ada kejadian yang tidak masuk nalar manusia ketika Rio melakukan pendakian Gunung Argopuro. Menyitir cerita dari teman sependakiannya, Rio dan teman-temannya ketika itu diikuti oleh dua orang pendaki sejak dari basecamp di Baderan.
Sejak awal pendakian, mereka selalu berada di belakang rombongan Rio. Anehnya, saat malam hari yang seharusnya mendirikan camp, keduanya tidak terlihat. Pagi harinya, ketika melanjutkan perjalanan, kedua orang pendaki itu terlihat lagi beberapa puluh meter di belakang. Hal ini berlangsung sampai akhirnya mereka menyelesaikan pendakian Gunung Argopuro.
Rio, sosok yang paling tidak percaya hal mistis di kontrakan kami, sempat mencari tahu siapa sebenarnya kedua orang itu. Dan ketika sore hari akan mendirikan camp, dia dengan seorang temannya kembali lagi mencari keberadaan kedua pendaki yang membuntuti mereka.
Hasilnya, ketika kembali ke camp, Rio dan temannya justru banyak diam. Mereka berdua seperti merahasiakan sesuatu dan dibawa hingga pulang ke Malang.
Kondisi psikisnya semakin tidak keruan saat ayahnya meninggal karena terkena serangan jantung beberapa hari saja setelah Rio pulang dari Gunung Argopuro. Peristiwa ini membuat kuliah Rio makin berantakan dan akhirnya dia dijemput ibunya pulang ke Purwokerto. Ibunya merasa tinggal di rumah sendiri akan membantu keadaan Rio. Sebelumnya, Beni dimintai tolong untuk mengajak Rio kembali ngumpul bersama teman-temannya.
Tidak mudah membujuk Rio untuk kembali beraktivitas lagi. Sampai akhirnya dia mau bergabung ke kontrakan setelah kami memutuskan untuk membuat sebuah EO yang fokusnya di wisata outdoor. Sebuah cita-cita yang sudah lama ada dalam angan-angan. Tentu saja hal ini membuat ibunya menjadi senang dan berharap Rio bisa kembali lagi seperti dulu.
Kami menyambut kembalinya Rio dengan tangan terbuka. Mau gimana, dia adalah teman kami sejak kecil. Melihat perubahan yang terjadi pada Rio, sebagai teman, tentu saja kami ikut merasa senang. Dia sudah tidak murung lagi dan kembali menjadi Rio yang kami kenal sebelumnya.
Tamu dari Malang
Sampai suatu ketika kontrakan kedatangan tamu. Dia teman sependakian Rio di Gunung Argopuro. Mereka kerap mendaki berdua ke berbagai gunung ketika sedang liburan. Dan sudah menjadi kebiasaan, ketika ada tamu dari luar kota, kami selalu menjamu dan menyediakan tempat menginap di kontrakan.
Namanya Dani, teman sekampus Rio yang berasal dari Malang. Tidak ada kecurigaan atas kedatangannya ke Purwokerto. Apalagi pembawaannya yang semedulur membuat suasana basecamp semakin hangat. Tidak jarang dia juga membantu kami dalam hal kebersihan.
Selama seminggu di Purwokerto, setiap hari dia tidur di kontrakan ditemani Rio. Suasana kontrakan memang jauh lebih kondusif, tidak ada lagi gangguan-gangguan dari penghuni tak kasat mata, beda dengan saat pertama kami masuk. Mungkin karena setiap Maghrib, Arini dan ibunya selalu kami kirimi doa sehingga tidak pernah menampakkan diri lagi.
“Ben, aku ngantar Dani dulu.”
Pagi itu Rio berpamitan kepada kami, beberapa saat setelah Dani menyalami kami. Dia hari ini mau pulang ke Malang. Kami semua mengantarkan keduanya sampai ke depan gerbang kontrakan.
“Hati-hati Yo, jalanan sudah ramai.”
Kami kembali masuk setelah sepeda motor yang membawa mereka pergi ke terminal menghilang dari pandangan. Hari itu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Menjelang akhir pekan, biasanya order mulai banyak, terutama dari mereka yang menyewa kelengkapan mendaki. Benar juga, karena saat sedang membenahi semua peralatan, telepon dari beberapa klien mulai masuk.
Kabar misterius
Telepon berdering lagi. Kali ini dari ibunya Rio yang menanyakan keberadaan Rio di kontrakan. Dia menyampaikan kabar dari salah seorang temannya di Malang.
“Rio sedang mengantar temannya ke terminal, Tante.”
“Siapa yang mau pergi, Wawan?”
“Bukan Tante, teman kampus Rio yang dulu mendaki Gunung Argopuro. Dia sudah seminggu di Purwokerto. Hari ini dia pulang.”
“Kok Rio nggak cerita ya? Temannya namanya siapa?”
“Dani, Tante.”
“Daniii?!”
Tante Indri, ibunya Rio, seperti kaget ketika mendengar nama Dani disebut oleh Teguh.
“Iya Tante, Dani. Ada apa, Tante?”
Tante Indri lalu menceritakan bahwa dia baru saja menerima telepon dari teman Mapala Rio di Malang yang mengabarkan kematian temannya. Namanya Dani! Selama seminggu dia mengalami koma di rumah sakit tanpa diketahui sebabnya dan pagi tadi dia meninggal.
Kami semua tertegun mendengar cerita itu sambil berharap yang meninggal bukanlah Dani yang selama seminggu kemarin menginap di kontrakan. Semoga yang datang ke kontrakan adalah Dani yang lain, kataku dalam hati. Beni lalu berinisiatif menelepon temannya di Malang untuk memastikan kabar itu. Senioritasnya dalam urusan mendaki gunung membuat Beni banyak dikenal, bahkan oleh mereka yang dari luar kota.
Setelah Beni menelepon temannya, akhirnya kabar meninggalnya Dani terkonfirmasi. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan oleh Beni saat menelepon tadi, dia adalah Dani yang baru saja kami lepas kepergiannya bersama Rio. Kami sampai tidak habis pikir kenapa Rio terus-terusan didera pengalaman seperti ini. Apakah ada kaitannya dengan pendakian terakhir dia ke Gunung Argopuro?
Aku berniat menanyakan hal ini kepada Om Unggul, semua berangkat dari keprihatinan atas apa yang menimpa Rio. Namun, sebelumnya aku diskusikan dulu dengan semua teman.
Beni langsung setuju, begitu juga dengan Teguh, mereka sudah tahu kapasitas Om Unggul. Ari ngikut saja, yang penting demi kebaikan semua, terutama Rio. Lalu, siapakah Om Unggul itu? Kalian bisa membaca ceritanya ini di sini.
Beberapa kali kami mencoba menghubungi Om Unggul tapi tidak pernah bertemu. Kata salah seorang yang tinggal di rumahnya, beliau sedang ke luar kota. Ndilalah perginya juga bersama Bu Nella, orang yang pernah diutus Om Unggul untuk membantu kami saat terjadi huru-hara di rumah kos Mila beberapa tahun yang lalu.
Sampai saat akhirnya kami semua terpaksa menyingkir dari kontrakan karena bermasalah dengan penduduk setempat, barulah kami berkesempatan bertemu dengan Om Unggul. Kebetulan waktu itu, sepulang dari luar kota, beliau sempat bersilaturahmi ke ibuku di rumah. Sudah menjadi kebiasaan beliau selalu membawa oleh-oleh untuk dibagikan kepada semua kerabatnya sepulangnya dari luar kota.
Kesempatan itu tentu tidak aku sia-siakan. Setelah mengatur waktu untuk bisa sowan ke rumahnya, aku menghubungi Beni dan teman yang lainnya yang berada di kontrakan. Tentu saja kami juga meminta izin kepada Tante Indri dan Rio sebagai “objek terkait”. Ini masalah yang sensitif dan bisa menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dikomunikasikan sejak awal.
Om Unggul
Sore hari setelah salat Maghrib, kami berlima akhirnya sowan ke rumah Om Unggul di Purbalingga. Lebih kurang satu jam kemudian kami sampai di kediamannya di bilangan Mrebet.
Halaman yang luas dipenuhi tanaman dan pepohonan besar menimbulkan kesan agak menyeramkan. Apalagi di beberapa tempat banyak ditempatkan prasati kuno lengkap dengan sesajennya. Beberapa di antara prasasti itu ditutup dengan kain kafan. Di tengah halaman berdiri megah sebuah pendapa. Pada hari-hari tertentu, penduduk sekitar berlatih karawitan.
Setelah berbasa-basi sejenak dengan beliau, aku akhirnya mengutarakan maksud kedatangan kami. Beliau menyimak dengan seksama, juga ketika Rio bercerita tentang pengalamannya selama naik Gunung Argopuro dan apa yang dia rasakan setelahnya. Juga tentang kedatangan Dani ke kontrakan beberapa waktu yang lalu.
“Begini, kalian itu hanya meyakini apa yang tampak oleh mata saja. Sementara, ada eksistensi lain yang tidak kasat mata. Saya bisa memahami mengapa bisa seperti itu, karena banyak juga yang seperti kalian.”
“Beragama itu baik, tapi jika di saat yang sama kalian menganggap aneh kepada entitas yang berbeda lalu melukai keyakinan mereka, itu yang jadi masalah.”
“Ada sesajen lalu dibuang karena tidak sesuai tuntunan. Ya itu kan tuntunan dalam agama kalian, yang mungkin tidak ada dalam tuntunan keyakinan orang lain.”
Panjang lebar Om Unggul memberikan penjelasan tentang bagaimana seharusnya menghormati keyakinan orang lain. Mengimani kebenaran agama sendiri bukan berarti harus menyalahkan apalagi sampai menyakiti perasaan mereka yang tidak seagama dengan kita. Itu inti nasihat dari beliau.
Om Unggul menyimpulkan apa yang terjadi dengan Rio akibat dia pernah sembrono ketika mendaki Gunung Argopuro. Mungkin tidak secara langsung dan dia hanya kena dampaknya saja.
Rio bercerita kalau temannya pernah melakukan tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan saat mendaki Gunung Argopuro. Saat itu dia memilih jalur Purwosari, rute Arjuno yang banyak sekali terdapat petilasan era kerajaan Singasari dan masih sering dikunjungi peziarah.
Tengah malam, Om Unggul memerintah beberapa cantriknya supaya menyiapkan ubo rampe untuk ritual “membersihkan” Rio. Mungkin semacam exorcism atau rukiah dalam agama Islam. Sebelumnya, dia meminta salah seorang dari mereka untuk melakukannya tapi tidak ada yang sanggup sehingga Om Unggul yang melakukan sendiri. Sepertinya memang agak parah, begitu kesimpulan kami saat itu setelah melihat salah satu cantriknya berbisik kepada Om Unggul.
Om Unggul masuk ke dalam sebuah ruangan, entah apa yang dilakukannya. Yang kami lihat setelah keluar dari ruangan itu beliau mengenakan beskap lengkap dengan blangkon dan keris di balik punggungnya. Rio direbahkan di sebuah dipan terbuat dari kayu yang dialasi daun pisang. Kami semua tegang menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Tidak usah takut. Ini hanya ritual biasa saja.”
Begitu kata Om Unggul setelah melihat suasana di dalam ruangan yang diliputi keheningan. Rio bersikap tenang saat tubuhnya dibaringkan di atas dipan. Lalu, Om Unggul mendekati Rio dan duduk bersimpuh di sebelah dipan itu. Beberapa cantriknya tampak duduk di belakang beliau sambil mengenakan pakaian yang sama.
Dari posisi yang agak jauh kami mendengar Om Unggul seperti sedang berkomunikasi, tapi kami tidak mendengar dengan jelas. Bahasa yang digunakan pun terdengar asing di telinga kami semua. Dan suara yang keluar dari mulut beliau pun bukan suara Om Unggul, lebih menyerupai suara orang yang sudah tua.
Yang membuat kami semua merinding, tak lama setelahnya, Rio bangun dari posisi tidurnya dan duduk di tengah dipan. Dia lalu mengeluarkan suara, tapi yang keluar dari mulutnya adalah suara nenek-nenek.
Bagaimana mungkin Rio bisa mengeluarkan suara seperti itu? Saat itu, beberapa cantrik Om Unggul memegangi tubuh dan kepala Rio. Dari kejauhan nampaknya memang ada perlawanan yang diberikan oleh Rio. Om Unggul dan Rio terdengar saling membentak, sekali lagi dengan bahasa yang tidak kami ketahui.
Sampai pada akhirnya Rio muntah dan mengeluarkan darah hitam dari mulutnya. Para cantrik dengan sigap menadahkan ember yang sudah disediakan. Tidak hanya sekali, kali yang kedua muntahannya berupa kotoran yang tidak layak ditulis di sini, yang jelas berbentuk organisme hidup.
Kami semua menutup hidung, bau busuk menyebar ke seantero ruangan. Bulu kuduk sudah tidak terhitung berapa kali berdiri menyaksikan apa yang kami lihat di depan mata. Suasana benar-benar lengang ketika tidak lama kemudian terdengar lolongan dan gonggongan anjing milik Om Unggul yang bersahutan di dalam kandangnya.
Tidak lama setelah suara anjing menggongong, dari arah pendapa, kami mendengar suara gending mengalun. Padahal tidak ada seorang di sana! Perasaan kami semakin tidak keruan saja. Belakangan, dari Om Unggul, kami ketahui itu adalah Gending Kaler Megeng dan Gending Renyep yang biasa ditabuh sebagai pengiring jenazah!
Suara lolongan anjing dan gending tidak lagi terdengar. Rio sudah telentang lagi di atas dipan, wajahnya pucat, bibirnya biru dan keringat membanjiri tubuhnya. Saat kami ingin melihat apa yang dikeluarkan Rio dari mulutnya, Om Unggul melarang. Kami sendiri tidak berani membantah, apalagi menanyakan alasannya.
Setelah siuman, Rio diberi ramuan minuman oleh Om Unggul untuk memulihkan kondisinya. Om Unggul bercerita bahwa yang bersemayam dalam tubuh Rio adalah seorang perempuan pertapa dari Gunung Argopuro. Namun, sebelum menyempurnakan proses pertapaannya dia keburu meninggal.
Dia masuk saat kondisi Rio sedang rapuh dan dipicu oleh kelakuan teman sependakiannya. Dia mau keluar dari tubuh Rio dengan syarat minta disempurnakan dan diiringi tabuhan gamelan.
“Syukurlah kalian cepat mengantisipasi. Jika tidak kondisi seperti ini bisa mengakibatkan gila dan berujung kematian,” kata Om Unggul.
“Lalu bagaimana dengan Dani, Om?” Tanya Beni.
“Dani. Dialah yang bersama Rio ke Arjuno,” jawabnya.
Kami semua terdiam. Dani tak terselamatkan. Nama Gunung Argopuro penuh mengisi kepala kami. Sebuah rasa sesak terasa di dada ketika kami kembali ke kontrakan Arini.
Dan, setelah itu, pembaca yang budiman sudah tahu, bahwa Rio tak lagi sama. Sampai akhirnya kami angkat kaki dari kontrakan, kesialan masih terus membayangi Rio.
Kami hanya bisa berdoa….
BACA JUGA Rumah Kontrakan Arini dan kisah menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno