MOJOK.CO – Angin berhembus, meniup hantu pocong-pocongan yang sudah kuikat sampai bergoyang-goyang. Sunyi. Entah kenapa, jurit malam ini rasanya mengerikan.
Perkemahan Sabtu-Minggu, atau Persami, atau pelantikan anggota ekstrakurikuler dan organisasi manapun, kadang-kadang membuatku merinding tak karuan. Bukan apa-apa, tapi acara bermalam begitu biasanya dilakukan dengan tenda di lapangan yang luas; biasanya bumi perkemahan atau daerah-daerah hutan yang gelap dan seolah tak terjangkau penduduk.
Sialnya, kedudukanku sebagai senior di sebuah UKM menjadikanku ‘wajib ikut’ ketika acara pelantikan anggota baru digelar. Kenapa aku menyebutnya ‘sial’? Pasalnya, acara pelantikan ini diadakan di bumi perkemahan yang lebih mirip hutan dan, kata beberapa orang, tempat ini punya cerita-cerita angker di baliknya.
“Nanti akan ada acara semacam jurit malam. Anak-anak baru akan diberi rute keliling daerah sini,” kata Gusti, seorang kawan yang kini menjabat sebagai Ketua Organisasi, saat kami akhirnya tiba di lokasi perkemahan.
Aku terhenyak, karena langsung tahu apa yang selanjutnya akan Gusti katakan.
“Jadi nanti tolong kalian-kalian sediain gimmick hantu-hantuan gitu, ya, biar seru.”
“Kenapa, sih,” potongku, “harus dikasih gimmick? Biar aja gitu mereka jalan-jalan sendiri malem-malem, kan udah serem?”
Andre dan Roni yang daritadi sibuk memasang patok hanya terkikik, tapi jelas aku punya pendukung. Beberapa kawan yang lebih memilih diam saja tampaknya memandang penuh harap pada Gusti untuk meniadakan keharusan gimmick hantu jadi-jadian. Namun harapan tinggal harapan: Gusti tetap kekeuh pada keputusannya.
Maka dibagilah kami dalam kelompok-kelompok kecil—minimal satu kelompok berisi dua orang dan harus menyiapkan hantu-hantuan untuk dipasang sepanjang rute jurit malam nanti. Aku berpasangan dengan Roni dan memutuskan membuat pocong-pocongan. Alasannya?
“Gampang, cuma pakai guling, dibungkus kain putih. Bisa pinjam kerudung anak-anak cewek, kan?” tukas Roni sambil mengikat kain di sekujur guling tidurnya.
Berangkatlah kami pada sebuah pohon besar di tengah hutan yang bakal menjadi pos kami berdua. Dari hasil diskusi kilat, Roni memutuskan bahwa salah seorang dari kami harus naik ke pohon bersama si hantu pocong jadi-jadian, mengikatnya dengan tali tipis, dan bertugas untuk menarik talinya perlahan-lahan hingga si pocong-pocongan ini akan tampak bergerak-gerak dan kian mengerikan. Sementara itu, satu orang lainnya menunggu di bawah pohon untuk berjaga-jaga, sekaligus sebagai teman mengobrol, tentu saja.
“Aku di bawah saja,” putusku, sambil mencari posisi berjaga di bawah pohon. Roni tampak cemberut, lalu berkata, “Mana bisa? Kamu yang naik ke atas. Aku tidak bisa memanjat.”
“Tidak bisa?” tanyaku kaget.
Roni berdeham, “Aku tidak bisa—aku tidak bisa tahan pada ketinggian. Pohon ini sedikit terlalu tinggi.”
Sial (lagi), aku pun terpaksa naik. Tali-tali kupasang seperlunya, menyisakan untaian panjang yang hanya perlu kutarik untuk membuat hantu pocong-pocongan ini bergerak, menyempurnakan pengalaman jurit malam anak-anak baru nanti. Sedikit mengerikan sebenarnya melihatnya: apalagi Roni membuat sisi guling yang terbuka benar-benar tampak seperti wajah mengerikan berwarna hitam.
Sepuluh menit, dua puluh menit berlalu. Belum ada satu pun peserta jurit malam yang tampak lewat ke area kami. Mungkin memang wajar, mengingat area tempat kami berjaga adalah area terjauh dari lokasi tenda. Tapi lama-lama, mengerikan juga.
“Jangan ketawa, Nin!” tiba-tiba Roni meneriakiku dari bawah. Wajahnya kesal. Aku menoleh dan protes, “Siapa yang ketawa?” Kupikir, Roni hanya asal bicara, ketika dia tiba-tiba mengubah raut wajahnya, “Lah barusan yang hihihi kamu, kan?”
“Bukan, Ron. Please nggak usah nakut-nakutin.”
“Nggak, sumpah, tadi suaranya dari atas, makanya kukira kamu.”
Angin berhembus, meniup hantu pocong-pocongan yang sudah kuikat sampai bergoyang-goyang. Sunyi. Entah kenapa, rasanya mengerikan.
“Balik aja, yuk, Ron.”
“Ini kan belum mulai, Nin.”
“Aku takut. Tukeran posisi, mau?” tawarku sambil memasang muka memelas. Roni tidak menjawab, ia tampak bingung. Namun, 15 detik kemudian, ia menyerah, “Ya udah, aku coba. Kalau nanti nggak kuat, jangan diketawain, ya.”
Aku mengangguk dan bermaksud turun. Saat itulah, angin lagi-lagi bertiup cukup kencang. Pocong jadi-jadian kami bergoyang lagi—kali ini cukup signifikan. Mendadak, sesuatu terjadi yang seakan-akan mencopot jantungku dalam sekejap.
Sebuah wajah menoleh ke arahku dari rupa pocong buatan itu. Bahkan kalau boleh kusebut, ia bukan lagi sekadar guling tidur yang dilapisi pasmina putih—ia adalah pocong yang asli, muncul entah dari mana!
Wajahnya penuh pasir, sedikit terlihat seperti luka. Semua detailnya tak bisa aku sebutkan, karena seingatku, semuanya mendadak gelap. Badanku sakit luar biasa.
Besok paginya, Roni memberitahuku: aku langsung jatuh pingsan dari atas pohon dan menampar tanah keras-keras. (A/K)