MOJOK.CO – Pada akhirnya, misteri wanita yang mengintip dari celah pintu tak terjawab. Kisah ini akhirnya tertinggal di sebuah homestay di pusat Kota Jogja.
Musim liburan akhir tahun bisa menjadi ladang rezeki bagi sebagian orang yang menetap di kota-kota wisata, Salah satunya Jogja. Tidak hanya rezeki, cerita-cerita baru bagi para sopir juga akan bertambah ketika mereka sedang melayani wisatawan yang datang.
Tentu ada cerita yang menyenangkan dan ada yang menyebalkan. Saya sudah kebagian yang menyenangkan, ketika 22-24 December 2024 lalu mengantarkan 6 orang wisatawan dari Jakarta yang ingin mendatangi tempat-tempat wisata selama 4 hari di Jogja. Tapi tidak hanya menyenangkan, kisah horor juga akhirnya saya rasakan di hari kedua perjalanan bersama mereka.
Kita namai saja mereka berenam agar mudah ketika kalian membacanya; Atika, Alina, Alika, Lina, Lani, dan Armada yang terdiri dari 5 orang perempuan dan seorang laki-laki. Mereka berenam adalah karyawan swasta di 3 kantor berbeda di Jakarta, tapi akhirnya saling kenal cukup lama dengan kisah yang cukup panjang.
Mereka menyewa sebuah homestay di selatan Plengkung Wijilan, Kota Jogja, yang bangunannya identik dengan rumah 80-an. Saya memperhatikan ada sedikit renovasi di beberapa bagian. Namun, model rumah yang sekilas mirip rumah Dilan yang kalian lihat di film pertama masih terjaga.
Kami menghabiskan hari pertama liburan nyaris sempurna. Perjalanan ini membelah kemacetan Jogja dari selatan ke utara, mendatangi 4 lokasi tepat waktu, dan mereka berenam puas dengan apa yang didapat selama di 4 tempat tadi.
Kami pulang lebih awal ke homestay sekitar pukul 7 malam. Mereka menolak tawaran saya untuk jalan-jalan lagi di 2 lokasi tambahan. Katanya, mereka sudah kelelahan dan merasa cukup untuk hari pertama.
Hari kedua yang tidak terduga
Hari kedua sedikit berbeda. Pertama, kami menyelesaikan susur beberapa pantai di Gunungkidul dan Puncak Becici. Setelah itu, rombongan 6 orang berpisah. Ada 4 orang yang memilih kembali ke homestay, sisanya yang masih ingin jalan-jalan di Jogja.
Empat orang yang memilih tidak lanjut jalan-jalan adalah Atika, seorang perempuan dengan rambut sebahu. Lalu ada Alina dan Alika, yang sama-sama menggunakan hijab. Terakhir, Armada, seorang laki-laki dengan perawakan seperti aparat tapi di kehidupan nyata adalah seorang akuntan kalem yang baru saja putus dengan kekasihnya.
Sementara yang bersama saya adalah Lani dan Lina. Mereka adalah perempuan ceriwis yang suka gelato dan wingko.
Lani dan Lina malam itu ingin mencoba salah satu angkringan di sepanjang Mangkubumi dan merasakan jalan kaki hingga Malioboro Mall. Karena alasan itu, saya akhirnya menurunkan mereka di depan bank BCA Syariah dekat Stasiun Tugu Jogja.
Pesan saya hanya satu. Kalau sudah ingin dijemput, jalan saja ke arah Jalan Mataram melalui Jalan Perwakilan di sebelah Novotel/Malioboro Mall. Saya biarkan mereka memuaskan rasa penasarannya. Maklum, Lani belum pernah melihat Jogja banjir wisatawan.
Saya memilih kembali lagi ke homestay karena jaraknya tidak terlalu jauh. Selain itu, saya juga nggak perlu repot mencari area parkir.
Baca halaman selanjutnya: Siapa yang mengintip dari celah pintu?
Situasi homestay yang berada di pusat Kota Jogja
Setelah menghabiskan 20 menit membelah kemacetan Jogja, saya akhirnya sampai di homestay. Selesai melepas sepatu, sebelum masuk ke ruang tamu guna mengambil kopi dan cemilan, saya perhatikan sekeliling ruang tamu homestay itu. Luasnya kira-kira 8×8 meter.
Ada 2 kursi lawas berkaki tinggi di 2 sudut ruangan, setinggi kursi-kursi bar di coffee shop. Meja dan kursi tamu ukiran dan pintu tengah menjadi pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga yang tertutup rapat. Pintu-pintunya memiliki 2 daun pintu ala rumah-rumah klasik jaman Belanda setinggi 2 meter berwarna abu-abu.
Saya kemudian keluar, duduk di pinggiran pagar rumah menghadap ke ruang tamu. Dari tempat duduk itu saya bisa melihat dengan jelas pintu menuju ruang tengah yang tertutup rapat.
Selesai membakar rokok dan menyeruput kopi, saya mendapat pesan WhatsApp dari Lani. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa Lani diminta 4 orang yang ada di homestay agar memberitahu saya kalau pintu depan tidak dikunci. Saya dipersilahkan masuk mengambil kopi seperti yang saya lakukan ketika sampai di sana.
Lalu mereka juga meminta saya supaya mengunci pintu depan ketika menjemput Lani dan Lina. Nanti kuncinya saya serahkan ke Lani ketika bertemu. Mereka menyampaikan itu di grup WhatsApp khusus liburan, dan hanya Lani yang punya nomor hape saya saat itu.
Keempat orang yang berada di homestay itu sudah mengatakan kepada Lani kalau mereka memilih tidur cepat. Besoknya, kami memang akan berangkat lebih pagi.
Armada, yang kamarnya terpisah, meminta Atika dan 2 orang lainnya mengecek pintu samping. Apakah sudah terkunci atau belum. Kondisinya, karena kamar Atika, Alina, dan Alika berdekatan dengan pintu samping rumah yang juga berfungsi sebagai garasi. Saya mengiyakan permintaan itu dan meminta Lani menyampaikannya di grup WhatsApp mereka.
Lingkungan rumah yang menyenangkan khas Jogja
Tinggal di lingkungan homestay ini menenangkan. Terlebih setelah pukul 6 sore dan ada aroma jalanan terkena gerimis. Tidak ada suara kencang kendaraan yang lewat, banyak pohon menghiasi trotoar, tidak ramai orang di pinggir jalan.
Bahkan saat itu saya menghitung hanya ada 1 bentor lewat mengantarkan tamu yang menginap di homestay lain di sekitar situ. Sungguh serasa duduk di depan rumah Dilan atau Milea.
Sekitar pukul 9 malam, suasana sekitar rumah tenang sekali. Samar-samar terdengar suara jangkrik dan beberapa orang yang mengobrol tidak jauh dari lokasi homestay. Malam itu, Jogja sedang sejuk.
Lampu jalan yang cukup terang dan dengan rumah-rumah berdempetan memungkinkan saya melihat dan mendengar jika ada orang lewat atau berbicara. Separuh batang rokok saya sudah terbakar, sesekali mulut ini mengunyah bakpia hasil jajan pagi tadi di Pasar Ngasem.
Dia yang mengintip dari celah pintu
Sekitar 20 menit duduk di depan, saya mendengar pintu tengah terbuka. Dimulai dari suara ceklek khas pintu-pintu rumah lawas, dan engsel yang sangat pelan mengeluarkan suara. Kalau mendengar dari suaranya, pintu itu terbuka perlahan dan berusaha untuk tidak berisik.
Karena mendengar pintu tengah itu terbuka, saya yang duduk agak serong di sisi kanan pintu depan menggeser kepala ke kanan. Saya ingin ingin memperlihatkan kepada siapa saja yang membuka pintu tengah itu bahwa saya, Irul, bukan maling melainkan sopir mereka.
Sedetik kemudian, tatapan saya dan sosok di celah pintu itu saling bertemu. Saya melihatnya dengan jelas. Orang di celah pintu itu adalah sosok perempuan setinggi sekitar 160 sentimeter.
Perempuan itu berkulit kecoklatan, cenderung gelap. Lampu ruang tengah yang remang-remang dan hanya pantulan cahaya lampu ruang tamu yang menyinari celah pintu yang terbuka seukuran 2 jari orang dewasa.
Ukuran yang cukup untuk memperlihatkan sebuah bola mata, sisi kanan mulutnya, hidung dan bagian tubuh lain hingga ujung kaki. Dua jarinya seperti menahan sebelah daun pintu ketika mengintip dan melihat saya.
Setelah semua saya rekam, lalu saya kembali ke bagian wajahnya. Saya memperhatikan dengan jelas mata serta alisnya yang seperti berkata “Siapa ini?” ketika tatapan kami bertemu.
Saya balas tatapannya dengan senyuman tipis sambil menganggukkan kepala. Perempuan itu bergeming. Sekitar 2 sampai 3 detik kemudian, dia menutup pintu.
Lagi-lagi dia berusaha menutupnya secara perlahan, sangat pelan, agar tidak ada yang mendengarnya. Kali ini hanya terdengar suara “ceklek” dari pintu yang tertutup. Saya kembali menggeser kepala saya sehingga tidak berhadapan langsung dengan pintu tengah itu.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala
Sebatang rokok lagi saya bakar sambil menunggu kabar dari Lani. Beberapa saat lalu, dia sempat mengirimkan pesan bahwa sudah selesai makan di Jalan Mangkubumi dan kini sudah berada di Jalan Malioboro.
Pikiran saya bercabang, bersiap menembus macet Jogja untuk menjemput Lani dan Lina, sekaligus menebak-nebak di antara Alika dan Alina yang sama-sama menggunakan hijab.
Siapa yang paling mendekati ciri-ciri perempuan yang mengintip di pintu tengah malam itu. Saya ingat betul panjang rambut perempuan yang mengintip di pintu malam itu.
Pikiran di kepala saya makin bercabang. Kenapa si perempuan enggan menegur saya ketika mengintip? Walaupun pintu hanya terbuka sedikit, bisa saja dia mempersilahkan atau menanyakan saya sudah mengambil kopi atau belum.
Atau mungkin dia melihat meja ruang tamu yang sudah kosong dan membiarkan saya duduk di luar. Mungkin karena saya merokok dan dia enggan menegur ketika tidak menggunakan hijab? Bisa jadi.
Bisa juga itu bukan Alina dan Alika. Tapi, lalu siapa? Apakah ada kerabat mereka dari Jogja yang kebetulan datang malam itu lalu mendadak menginap di homestay? Atau ternyata Atika selama ini menggunakan rambut palsu? Saya mencoret kemungkinan terakhir. Saya yakin rambut sebahu milik Atika itu adalah rambut asli.
Sekitar 5 menit termenung, iseng saya mengirimkan foto posisi duduk malam itu ke sebuah grup WhatsApp. Grup ini isinya orang-orang brengsek, namun bisa dipercaya apabila membahas musik, dunia kreatif, dan horor.
Seorang teman bernama Hermawan menyahut. Dengan santainya dia menulis, “Mas Irul, ada apa itu di jendela rumah sisi kirimu?”
Saya kaget! Deg! Detak jantung terasa berat lalu badan seperti kesemutan beberapa detik setelah membaca pesan itu.
Saya berusaha tegar. Berusaha untuk terlihat berani setelah menceritakan rasa ragu saya ke grup WhatsApp itu. Saya menegaskan bahwa yang mengintip bukan salah satu dari kelima perempuan tersebut, apalagi dari satu-satunya tamu lelaki hari itu.
Rasa penasaran yang makin besar
Sesaat kemudian muncul sebuah pesan WhatsApp dari Lani. Mereka berdua sudah berjalan melewati Kalan Perwakilan dan meminta saya menjemput di depan parkiran toko Krisna di Jalan Mataram.
Sesaat terbesit, apakah saya tanyakan saja kepada mereka bagaimana ciri-ciri dari Alina dan Alika ketika tidak menggunakan hijab. Tapi, sesaat kemudian saya mengurungkan niat itu. Rasanya kurang etis bertanya seperti itu, apalagi mereka adalah tamu baru.
Sepanjang perjalanan dari daerah Wijilan, melewati Jalan Mataram hingga tiba di parkiran Krisna, rasa penasaran makin besar. Otak saya seperti memaksa saya untuk bertanya kepada Lani dan Lina.
Lani dan Lina mengajak saya keliling sebentar untuk melihat landscape kota Jogja di sekitar Malioboro. Saya kemudian mengajak mereka melintasi Jalan Solo sekitar Gardena, Jenderal Sudirman, Tugu, hingga ke arah Pingit sampai Plengkung Gading. Sepanjang jalan itu pula obrolan kami melantur. Lalu saya membatin, sepertinya ini saat cukup tepat untuk sebuah pertanyaan siapa wanita pengintip itu.
Siapa wanita yang mengintip itu?
Pertanyaan pertama saya adalah di antara keempat orang yang berada di homestay, apakah mereka sudah tertidur ketika Lina dan Lani berada di Mangkubumi?
Lina, yang duduk di belakang, berkata bahwa mereka berempat sudah tidak menjawab grup WhatsApp ketika saya drop mereka di Jalan Mangkubumi. Chat yang meminta saya untuk membawa kunci homestay dikirim ketika kami belum tiba di Jalan Mangkubumi. Pikiran saya mulai bercabang, bercampur lengan yang merinding perlahan.
Saya lanjut bertanya. Apakah mereka berempat suka tidur larut?
Lani yang duduk di sebelah saya membuat pikiran saya makin kacau. Katanya, keempat orang itu sering disebut pelor 1, 2, 3 dan 4. Ya karena gampang ketiduran. Betul juga, pikir saya. Selama perjalanan kami, saya sering tidak sengaja melihat di spion tengah siapa saja yang suka tidur selama perjalanan, dan keempat orang itu yang paling sering.
Kepalang basah, saya langsung ke pertanyaan utama. Apakah ada yang japri atau lewat grup WhatsApp yang mengatakan ada salah seorang dari ketiga wanita yang di homestay mengintip saya ketika merokok di depan ruang tamu?
Jawaban mereka: Tidak ada. Tidak ada bahasan di chat dan mereka tidak yakin kalau ada yang masih bangun.
Lina memajukan badannya ke arah depan mendekati saya dan Lani. Lani kemudian menoleh kepada saya lalu kepada Lina. Raut wajah Lani menunjukkan rasa penasaran dengan memperlihatkan alisnya yang sedikit berkerut.
Kami sudah melintas di perempatan Pojok Beteng Wetan (Barat) di perempatan Jalan Bantul. Tanpa pikir panjang saya akhirnya menjelaskan kejadian yang saya alami beberapa jam lalu.
Jawaban mengejutkan dari Atika
Saya menjelaskannya dengan detail. Mobil terasa semakin sepi lalu terlontar pertanyaan dari Lani, “Hah, Siapa?”
Sepanjang jalan pulang sejak Pojok Beteng Wetan hingga Brigjen Katamso sebelum berbelok menuju Plengkung Wijilan, mereka bergantian melontarkan pertanyaan dan asumsi. Sebelum masuk Terowongan Plengkung Wijilan, Lina berkata:
“Ya udah, liat besok pagi siapa yg pakai warna baju atau ciri-ciri yang disebut Mas Irul. Mungkin salah satu dari Atika, Alina, atau Alisa.”
“Rambutnya nggak ada yang mirip panjangnya sih, apalagi warna kulit. Kan Mas Irul tau sendiri ciri-ciri mereka. Tapi kok gue malah penasaran sih.” Lanjut Lina lagi.
“Udah, udah, nggak usah dibahas, dah mau nyampe nih!” Balas Lani.
Tapi sayang, keberanian saya bersama Lina dan Lani ketika mobil melaju menuju homestay. Saat itu, Atika menelepon Lina tepat ketika kami melintasi Angkringan Wijilan. Atika menelepon Lani, dia titip minta dibelikan Tolak Angin dan Freshcare.
Lani, yang awalnya terdengar sedikit bercanda dengan mengatakan keberatan untuk dititipi secara mendadak, mengubah nada bicaranya yang menunjukkan rasa penasaran.
“Lo tadi ada keluar kamar pas Mas Irul nyampe sono ga?”
“Kagak. Gue habis bersih-bersih, masuk kamar, Alika sama Anita udah nggak pada megang hape, udah siap-siap merem, tapi emang belum pada tidur.” Jawab Atika di pengeras suara hape.
“Mada di kamar apa masih nonton TV?”
“Di kamar. Dia nggak pake mandi segala malah.”
Mereka saling tahu semua kegiatan di rumah itu karena bangunannya tidak terlalu besar. Sudah begitu kamar berdekatan dan kamar mandinya pun hanya 1 di bagian tengah rumah.
“Oo, yaudah.”
“Emang napa sih? Lu kek orang penasaran,” tanya atika mendengar Lani yang bertanya seperti ingin mendapatkan jawaban berbeda dan bersikeras.
“Udeh, kagak ngapa-ngapa. Dah, tungguin Tolak Angin lu, jangan tidur dulu!” Kata Lani.
Kami kemudian kembali keluar menuju K24 Brigjen Katamso. Lani turun membawa hape yang baru saja dipakai telponan dengan Atika dan wajahnya masih terlihat sedikit penasaran.
Misteri yang tertinggal di Jogja
“Mas yakin, ciri-ciri yang mengintip di pintu seperti itu?” Lina tiba-tiba bertanya kepada saya yang menengok jalanan Jogja yang ramai dengan motor dan mobil.
“Mungkin karena lampu ruang tengah tempat kalian menonton TV yang agak remang jadi terlihat rambutnya agak panjang.” Jawab saya yang berusaha menenangkan pikiran horor yang bercabang memilih untuk tidak ambil pusing tapi juga penasaran.
Tidak sampai 5 menit Lani sudah kembali lagi ke dalam mobil. Selesai melihat hape, dia mengarahkan pandangannya kepada saya, lalu ke Lina. Raut wajahnya masih sama seperti ketika dia turun dari mobil.
Sepanjang jalan sejak dari K24 hingga tiba di homestay, kami lebih banyak diam. Hanya muncul kalimat-kalimat yang membahas seputar Jogja dan lokasi wisata mana saja yang belum sempat kami datangi.
Hingga hari keempat mereka di Jogja, pertanyaan itu tidak pernah bisa terjawab. Bahkan di lantai mezanin Bandara YIA, saya, Lani, dan Lina hanya saling bertatapan. Wajah kami tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.
Bahkan ketika tiba di Jakarta, Lani sempat membahas lagi kejadian itu. Dia berkata biarkan tetap jadi misteri. Percakapan kami ditutup dengan ucapan terima kasih dari Lani, sudah menemani mereka selama 4 hari di Jogja, dan saya dianggap helpful sekali.
Pada akhirnya, identitas wanita yang mengintip itu tak terjawab. Dan di saat-saat tertentu, bayangan mata yang mengintip itu masih membuat saya kaget dan tubuh jadi kebas.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Artis Indonesia yang Menjadi Pusat Energi dan Kejadian Horor di Sebuah Gedung Tua di Jogja dan pengalaman horor lainnya di rubrik MALAM JUMAT.