MOJOK.CO – Namanya Lastri, meninggal karena bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya ke kereta api. Jasadnya dimakamkan di tanah kuburan yang sekarang dijadikan asrama.
Cerita Dewi, istri Pak Hendro
Cirebon di siang hari terasa sangat terik. Selesai acara meeting dengan pimpinan perusahaan, Hendro langsung menuju ke kantin di sudut kantornya. Dia penasaran dengan cerita pengelola kantin yang katanya bisa menarik benda pusaka dari tempat wingit. Yang diceritakan pengelola kantin itu mengingatkannya pada saat dia masih muda.
Sejak sebelum bekerja di perusahaan ini, Hendro memang getol sekali berburu benda-benda pusaka. Dia mendaku sudah mengoleksi banyak benda yang diambilnya dari berbagai tempat di Cirebon dan sekitarnya. Di rumahnya yang kini ditempati bersama Dewi, istrinya, dia memang menyediakan ruang khusus untuk menyimpan benda-benda itu.
Masa kecil Hendro memang dilalui dengan penuh keprihatinan. Dia dilahirkan dari keluarga miskin di sebuah kota tidak jauh dari Cirebon. Dia anak satu-satunya dalam keluarga itu. Waktu sekolahnya harus dibagi dengan mencari nafkah membantu orangtuanya. Hal itu dilakukan sampai Hendro lulus SMA.
Berbekal ijazah SMA, Hendro lantas mencoba mengadu nasib ke Cirebon yang hanya berjarak puluhan kilometer saja dari kota asalnya. Di Cirebon inilah dia berkenalan dengan seseorang yang mengaku sebagai paranormal. Hendro akhirnya ditampung di rumah paranormal itu selama satu tahun lamanya.
Tidak jarang Hendro diajak saat paranormal itu melakukan ritual pengambilan benda pusaka. Dari dia pula Hendro belajar dan bisa tahu harga benda-benda itu. Bagi yang hobi mengleksi benda gaib, pasti tahu kalau harganya bisa sampai “tak terhingga”. Tidak perlu validasi, mereka mau saja membayar dengan harga tinggi hanya berdasarkan cerita tentang khasiat benda itu tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Hendro memang piawai dalam transaksi. Berbagai cara dilakukannya untuk menarik minat para pembeli. Itu memberikan keuntungan tersendiri bagi induk semangnya. Hingga akhirnya nama mereka cukup terkenal di kalangan para pehobi benda-benda pusaka kala itu.
Hanya satu tahun Hendro tinggal di rumah itu sebelum akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan perkebunan. Sebelum pergi, dia dibekali beberapa benda pusaka. Menurut cerita Dewi, bentuknya berupa keris dan batu cincin yang masih disimpannya sampai sekarang.
Setelah mendapat pekerjaan hingga akhirnya menikahi Dewi, Hendro sudah tidak lagi menjadi pemburu benda-benda pusaka. Tapi, keinginan untuk kembali melakoni itu timbul lagi setelah beberapa kali dia ngobrol dengan penjaga kantin di kantornya. Hal ini tidak diketahui oleh Dewi, sampai akhirnya peristiwa di asrama itu terjadi.
Management Training di Jakarta
Berkat prestasinya selama bekerja, Hendro beroleh kesempatan mengikuti management training. Sebuah rangkaian proses assessment dari perusahaan kepada karyawan yang berprestasi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Minggu setelah makan siang, Hendro berangkat menuju Jakarta. Tidak seperti karyawan dari kota lain yang berkumpul di kantor pusat, Hendro memilih langsung menuju ke lokasi training, sebuah lokasi yang dulunya tanah kuburan. Hanya butuh waktu beberapa jam saja Hendro akhirnya sampai di tujuan. Keadaan masih belum terlalu ramai, baru sedikit yang datang karena waktu check in terakhir adalah pukul lima sore.
“Selamat sore. Dengan Bapak siapa ya?” Sapa karyawan di bagian lobi.
“Hendro Waskito, Mbak.”
Setelah berbasa-basi dengan karyawan asrama, Hendro segera menuju kamarnya. Gedung A lantai enam kamar nomor 69, letaknya persis di pojok. Kamar itu terasa dingin. Bukan, bukan karena AC. Tapi ada sesuatu yang lain yang dia rasakan. Celakanya, dia hanya sendirian karena peserta lain yang sedianya satu kamar dengan Hendro batal ikut.
Dari balkon lantai enam itu Hendro melayangkan pandangan. Dahinya berkerut saat melihat ke arah selatan dia melihat pohon beringin yang berdiri gagah dengan latar belakang tanah kuburan. Ingatannya kembali pada benda-benda di rumahnya. Dulu dia juga sering melakukan ritual penarikan benda pusaka di tempa-tempat seperti itu.
Waktu check in masih lama dan teman-temannya masih banyak yang belum datang. Hendro lantas turun dari lantai enam. Niatnya ingin membeli rokok di warung dekat asrama. Bentoel Biru, kesukaannya.
“Hati-hati, Pak. Asrama itu dulunya bekas tanah kuburan,” kata si pemilik warung.
Hendro hanya tersenyum mendengarnya. Dia justru semakin penasaran, hingga timbul niat untuk menarik benda pusaka yang ada di asrama itu tanpa berpikir risiko yang bisa ditimbulkannya.
Hari ketiga, setelah acara pelatihan, berbekal sebilah kayu cendana sepanjang 20 sentimeter, Hendro menyambangi pohon beringin di sudut tanah kuburan itu. Kayu cendana pemberian paranormal itu memang selalu dibawanya kemana saja dia pergi.
Setelah ditancapkannya pada posisi yang dirasa aman, Hendro kembali ke kamarnya. Malam itu Hendro tertidur dengan nyenyak. Dia seperti tersirap. Hendro terbangun karena tubuhnya merasakan dingin yang teramat sangat. Saat sadar, dia terkejut karena mendapati dirinya tertidur di pelataran parkir Gedung A dalam keadaan setengah telanjang.
Hendro tidak menyadari apa yang dilakukannya dengan menancapkan kayu cendana di bawah pohon itu sudah membangunkan ratusan entitas gaib yang menghuninya. Alih-alih mendapat benda pusaka, yang didapatnya adalah malapetaka. Begitu kata Om Unggul.
Sedianya, tepat pada malam Jumat, proses penarikan benda pusaka dari tanah kuburan akan dilakukan. Malam jumat memang selalu dipilih karena menurutnya pada hari itu seluruh energi gaib sedang terkonsentrasi. Tapi rencana tinggallah rencana, ternyata ada entitas lain yang tak bisa dilawannya.
Malam itu dalam keadaan antara tertidur dan sadar, Hendro didatangi oleh sosok perempuan. Wajahnya sudah rusak. Hanya biji matanya saja yang terlihat berkilat. Dia mengenakan gaun merah dan menggendong sesosok bayi yang kemudian ditidurkannya di sebelah Hendro. Tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang tidak bisa diungkapkan.
Hendro panik. Seluruh badannya gemetar karena rasa takut yang menguasai. Dia berusaha keluar dari dalam kamar tapi perempuan itu berdiri menghalangi pintu. Hendro akhirnya pingsan akibat ketakutan. Setelah itu dia tidak lagi ingat apa yang terjadi.
Mbak Asti dan perempuan bergaun merah di tanah kuburan
Azan penanda datangnya waktu Maghrib baru selesai berkumandang ketika Mbak Asti sampai ke asrama, sepulangnya dari rumah Pak Jauhari. Mbak Asti lalu menuju pos satpam. Dia sempat menanyakan perkembangan kasus hilangnya Pak Hendro yang sudah memasuki hari kedua. Masih belum ketemu, kata Pak Rusdi.
Mbak Asti berjalan menuju asrama belakang. Untuk sampai ke sana, Mbak Asti harus melewati sejumlah gedung di sisi kiri dan kanan jalan selebar enam meter. Karena tidak ada acara pelatihan, suasana jadi sangat sepi. Dan suasana pergantian hari dari sore ke malam selalu memberi warna tersendiri.
Tiba-tiba saja Mbak Asti merasakan bulu kuduknya meremang saat melewati Gedung C. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa dia sedang diawasi. Sambil berjalan, bola matanya melirik ke arah gedung itu. Dan benar saja, di teras gedung itu dia melhat seorang wanita sedang memandang ke arahnya. Sosok yang sama juga dilihat oleh Pak Rusdi malam sebelumnya.
Mbak Asti mencoba untuk bersikap tenang seperti yang dinasihatkan Om Unggul. Dia masih berjalan dan wanita itu juga mengikuti dari jarak beberapa meter saja. Saat sampai di ujung jalan, langkah Mbak Asti terhenti, kakinya seperti tidak bisa digerakkan.
Wanita itu masih mengawasi dari jauh, tapi kali ini di sebelahnya berdiri seorang laki-laki tua. Wajahnya bersih sekali, tubuhnya putih dan menggunakan tutup kepala yang juga berwarna putih. Mungkin ini ajengan yang diceritakan Pak Jauhari, batin Mbak Asti.
Dia yakin entitas yang ada di depannya itu tidak akan mencelakainya. Itu sudah cukup menjadi alasan baginya untuk tetap bersikap tenang. Wanita itu pun jauh dari kesan menyeramkan seperti cerita yang berkembang di masyarakat sekitar asrama. Dia bukan kuntilanak, mungkin Wiwin, tapi bukan kuntilanak.
Mbak Asti menarik nafas, sejenak dia berdoa dengan menundukkan kepala. Dikumpulkannya keberaniannya sebelum dia melangkah mendekati kedua mahluk itu.
“Nak Asti!”
Dari kejauhan, Mbak Asti mendengar namanya dipanggil. Ternyata yang datang Pak Jauhari. Dia datang ke asrama untuk mengembalikan tas Mbak Asti yang tertinggal di rumahnya. Sementara kedua entitas itu masih menatapnya dari jarak beberapa jengkal saja dari tempatnya berdiri.
Ada keterkejutan di wajah Pak Jauhari saat dengan langkah pelan mendekati Mbak Asti. Dia melihat kedua makhluk itu lama sekali. Mereka seperti sudah pernah saling mengenal sebelumnya. Ternyata dugaan Mbak Asti benar, mereka adalah ajengan Drajad dan Wiwin, menantu Pak Jauhari.
Pak Jauhari hampir tidak percaya bahwa yang tengah berdiri di hadapannya adalah menantunya yang sudah meninggal belasan tahun yang lalu. Kenapa pula dia di sana dengan ajengan Drajad? Bibir Pak Jauhari bergetar, dia seperti hendak mengatakan sesuatu tapi mulutnya terkunci.
Untuk beberapa saat lamanya, keempat makhluk itu hanya saling berpandangan. Hingga ketika terdengar azan Isya kedua, dua makhluk dari alam lain itu menghilang begitu saja. Mbak Asti merasa sepertinya ada sesuatu yang hendak mereka sampaikan. Mereka pasti akan menampakkan diri lagi. Menemuinya.
Pak Hendro ditemukan
Mbak Asti mempersilakan Pak Jauhari untuk duduk di ruang tamu asrama ditemani beberapa karyawan dapur. Sementara dia menelepon Om Unggul, menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Malam itu Mbak Asti meminta Om Unggul untuk datang ke asrama.
Dari percakapan para karyawan dapur dengan Pak Jauhari diperoleh cerita bahwa wanita yang mereka lihat berwajah rusak, membawa orok, dan muncul di sudut tanah kuburan itu bernama Lastri. Dia meninggal karena bunuh diri dengan menabrakkan tubuhnya ke kereta api. Karena tidak ada keluarga yang mengakui, jasadnya dimakamkan di lahan tanah kuburan yang sekarang jadi asrama itu.
Sekira pukul 21.00, Om Unggul sudah berada di asrama karyawan. Sejak Mbak Asti bekerja, baru sekali itu beliau berkesempatan menyambangi keponakannya. Sebelum masuk ke ruang tamu, beliau menyempatkan diri melihat-lihat ke sekeliling asrama karyawan diikuti oleh Mbak Asti.
“Auranya penuh kesedihan,” kata Om Unggul
“Iya Om, aku juga merasakan hal serupa sejak pertama kali ke sini,” jawab Mbak Asti.
Ada kerutan di kening Om Unggul saat lewat di dekat pohon beringin belakang asrama. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran beliau. Bau wangi kayu cendana tercium ketika melintas di wilayah itu. Mbak Asti dan Om Unggul kemudian melanjutkan langkahnya kembali ke tempat Pak Jauhari menunggu.
Beberapa jenak lamanya mereka berbincang di ruang itu. Menjelang tengah malam, suasana semakin sepi, ketika lamat-lamat suara perempuan dan bayi menangis itu terdengar lagi. Kali ini Om Unggul dan yang lain beringsut ke teras asrama, mereka menunggu sesuatu yang mungkin akan terjadi.
Sudah lewat tengah malam ketika semua yang berada di teras asrama itu merasakan ada hembusan angin yang kencang lewat di depan mereka. Sekelebat nampak sosok bayangan seperti melayang menyertai desiran angin itu. Perempuan dengan gaun merah itu menampakkan diri lagi, bukan Wiwin tapi Lastri, dia berhenti di ujung jalan buntu yang berbatasan dengan tembok makam.
“Astaghfirullahaladzim!” Spontan mereka beristghfar sesaat setelah sosok Lastri melintas di depan mereka.
Om Unggul, Mbak Asti, dan Pak Jauhari melangkah mendekati sosok Lastri yang berdiri hanya beberapa langkah saja dari ujung asrama. Beberapa karyawan lain mengikuti di belakang mereka, sementara yang lainnya memilih berjaga di teras asrama.
Om Unggul memejamkan mata sejenak, kepalanya tertunduk sambil melafazkan doa. Perempuan itu tampak menangis, tangannya menunjuk ke arah pohon beringin. Menurut Pak Jauhari, jasad Lastri memang terkubur di dekat pohon itu, bersebelahan dengan kuburan anak dan menantu Pak Jauhari.
Bergegas mereka menuju ke arah tanah kuburan, khususnya ke pohon beringin yang hanya berjarak 20 meteran saja dari tempat mereka berdiri. Aroma cendana masih tercium dari sekitar pohon beringin itu. Aneh, batin Om Unggul. Dia lalu mengitari pohon itu dan terkejut ketika melihat ada sebilah tongkat berukuran 20 sentimeter tertancap di sana.
Om Unggul nampak geram sekali melihatnya. Dia seperti sangat mengenali tongkat yang terbuat dari kayu cendana itu. Dicabutnya tongkat yang menancap di tanah itu sambil merapal doa.
“Brukkk!”
“Astaghfirullah! Laa ilaha illallah! Pak Hendro!”
Semua yang ada di sekitar pohon itu teperanjat dan berteriak spontan ketika ada sesosok manusia terjatuh dari atas pohon sesaat setelah tongkat itu dicabut. Nampaknya dia dalam keadaan pingsan dan hanya mengenakan singlet dan celana pendek.
Seperti tidak pernah terjadi apa-apa, Om Unggul terus merapal doa. Sementara Mbak Asti memerintahkan karyawan lain untuk membawa Pak Hendro ke asrama. Om Unggul dan Pak Jauhari terus berjalan sampai tiba di belakang Gedung C.
Langkah mereka terhenti di salah satu sudut gedung. Pak Jauhari merasa ada suara perempuan yang memanggil namanya. Ini suara Wiwin, saya masih ingat, kata beliau. Benar saja, karena tidak lama setelahnya muncullah sosok Wiwin dari balik gedung itu.
Om Unggul nampak menundukkan kepalanya sambil tangannya ngapurancang seperti menyambut kedatangan tamu terhormat. Tidak lama setelahnya memang nampak bayangan ajengan Drajat diikuti oleh Trisno yang berdiri di belakangnya bersama Wiwin dan Lastri.
Tidak ada aura kemarahan di wajah mereka. Itu membuat Om Unggul sedikit lebih tenang. Beliau lalu mencoba berkomunikasi dengan ajengan Drajat yang berdiri di depannya. Hanya mereka berdua saja yang tahu isi pembicaraan itu. Mbak Asti dan Pak Jauhari berdiri dengan sikap yang sama di belakang Om Unggul.
Hanya berlangsung beberapa saat saja ketika kemudian Om Unggul dan ajengan Drajat saling memberikan hormat dengan membungkukan badan. Lastri, Wiwin, dan Trisno melakukan hal yang sama diikuti oleh Mbak Asti dan Pak Jauhari yang masih terisak melihat pemandangan ini. Rasa rindu dengan anak dan menantunya membuat perasaannya mengharu biru.
“Jasad Lastri yang ketika meninggal tengah mengandung rupanya belum dipindahkan dan tidak mendapat tempat yang baik dan layak. Sebaiknya segera dipindah saja supaya tidak menimbulkan fitnah,” kata Om Unggul.
“Semua sudah berakhir. Insyaallah tidak akan ada kejadian seperti ini lagi,” kata Om Unggul setelah keempat entitas yang ada di hadapan mereka menghilang.
“Mereka hanya tidak ingin diusik oleh kelakuan manusia seperti Pak Hendro itu,” lanjutnya.
“Om, ini seperti tongkat milik almarhum eyang putri? Dulu aku sering melihat ini di kamar beliau,” kata Mbak Asti sambil mengamati tongkat kayu yang dipegang Om Unggul.
“Iya, eyangmu pemilik tongkat ini. Beliau dapat ini dari orang tuanya, eyang buyut,” jawab Om Unggul.
“Kenapa bisa ada di bawah beringin itu?” Tanya Mbak Asih lagi.
“Itulah yang ingin Om tanyakan kepada Pak Hendro. Dari mana dia dapat ini.”
Ketiganya lalu berjalan kembali menuju asrama karyawan di mana Pak Hendro tengah diurus oleh karyawan yang lain. Sebelum melaporkan kepada bagian keamanan ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Om Unggul setelah melihat Pak Hendro siuman dari pingsannya.
Dari Pak Hendro didapat cerita bahwa tongkat itu didapatnya ketika menarik pusaka dari sebuah makam di daerah Banyumas, tempat eyang putri dimakamkan. Tidak salah lagi, itu tongkat eyang putri.
Saat meninggalnya eyang, Om Unggul sempat meletakkan tongkat itu ke dalam peti jenazah. Tidak bermaksud apa-apa, beliau hanya takut kalau tongkat itu jadi rebutan karena dianggap bertuah, jadi diputuskan untuk dikuburkan sekalian saja.
Konon, selama tiga hari di atas pohon beringin itu Pak Hendro seperti dibawa ke sebuah tempat atau perkampungan yang ramai. Di sana dia bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah meninggal. Anehnya kedua orang tuanya itu berpakaian compang-camping tubuhnya kurus dan selalu menangis. Kata Om Unggul itu karena Pak Hendro sebagai anak satu-satunya tidak pernah mendoakan keduanya.
Pagi hari sebelum pulang, Om Unggul berpesan kepada Mbak Asti dari hasil “obrolannya” dengan ajengan Drajat. Di sebelah utara pohon beringin itu kalau bisa dibangun musala untuk keperluan ibadah penghuni asrama. Asrama besar seperti ini masa tidak ada tempat ibadah, begitu kata Om Unggul.
“Nanti aku sampaikan ke pimpinan, Om,” kata Mbak Asti.
Sejak peristiwa itu, sampai hari ini, tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh di dalam asrama. Dan sesuai saran Om Unggul, di asrama itu sudah dibangun masjid besar dengan memanfaatkan halaman depan yang cukup luas. Bukan hanya penghuni asrama saja, tapi penduduk sekitar juga memanfaatkan keberadaan masjid itu untuk ibadah mereka.
Tamat
Catatan akhir
Mbak Asti sampai hari ini masih bekerja di asrama.
Om Unggul meninggal tahun 2009, beliau dimakamkan di dekat makam eyang di Banyumas.
Pak Jauhari meninggal tahun 1990, beliau dimakamkan di makam belakang asrama.
BACA JUGA Jimat Adalah Budaya Asli Pribumi dan kisah misteri lainnya di MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno