MOJOK.CO – Setelah memenuhi undangan wawancara di KBN Cakung, Jakarta Timur, saudara saya tidak lagi sama. Katanya, dia terjebak alam lain.
Kisah ini belum lama terjadi kepada saudara saya selepas memenuhi panggilan wawancara kerja di KBN Cakung, Jakarta Timur.
Saudara saya seorang perempuan bernama, “Lidia” pergi bersama dua temannya, “Riska” dan “Fani”. Ketiganya nama samaran. Ketiganya membuat janji untuk bertemu langsung di tempat wawancara kerja. Status PPKM di Jakarta Timur membuat ketiganya tidak mungkin untuk saling menjemput.
Wawancara kerja di KBN Cakung, Jakarta Timur itu diikuti cukup banyak pelamar. Menunggu dari pukul 10.00, Lidia baru dapat giliran wawancara sekitar pukul 12.00. Riska dan Fani menyusul kemudian. Ketiganya selesai wawancara sekitar pukul 14.00.
Selesai wawancara, Lidia mengajak keduanya untuk langsung pulang.
“Yah, masa langsung pulang, Lid. Gua laper tau. Cari makanan dulu yuk di sekitar sini,” kata Fani.
“Iya Lid, perut gua udah ngancem terus dari siang,” timpal Riska.
Lidia menuruti kemauan kedua temannya itu.
Setelah berjalan agak jauh, ketiganya sampai di sebuah tempat makan yang dari tampilan depan terlihat kurang meyakinkan. Namun, suasananya sungguh teduh. Warung makan itu diapit oleh dua pohon besar membuat hawa siang itu jadi agak sejuk. Maklum, kawasan pabrik di Jakarta Timur memang panas.
“Jangan disitu deh kayanya, cari yang lain aja yuk,” kata Lidia karena merasa nggak yakin dengan tampilan warung makan itu.
“Udah di situ aja Lid, enak tempatnya. Adem banget. Bedak gua pada luntur gara-gara kepanasan, nih.” jawab Fani seraya menarik tangan Lidia dan Riska.
Tidak ada pengunjung lain di dalam warung makan itu. Mungkin karena jam makan siang memang sudah lewat, warung itu jadi sepi. Fani yang sudah kelaparan memanggil penjaga warung. Namun, setelah beberapa saat, penjaga warung tak kunjung keluar.
Kesal karena tidak ada yang menjawab, Lidia kembali mengajak Riska dan Fani untuk pulang saja. Tetapi, lagi-lagi Fani dan Riska menolaknya.
“Udah di sini dulu, ngaso bentar, Lid. Udaranya enak banget di sini,” jawab Riska.
Lidia menarik nafas panjang dan memasang wajah lesuh. Dia tidak begitu lapar. Cuma pengin segera pulang.
Selang beberapa menit, akhirnya ada seorang pria paruh baya dengan baju yang lusuh menghampiri mereka bertiga. Kalau diamati, bentuk kepala pria paruh baya itu tidak simetris. Tenggleng. Mulutnya seperti orang terkena stroke, dan ketika berjalan tertatih-tatih karena kaki sebelah kanannya lebih panjang dari pada bagian kiri. Dia berjalan mendekat sambil membawa tiga mangkuk yang berisi sup ayam, beberapa potong jeruk nipis, dan satu wadah kecil berisi sambal berwarna merah.
Lidia, Fani, dan Riska terdiam. Bengong sesaat. Mereka merasa belum memesan makanan, tetapi sudah disodori sup ayam. Fani yang biasanya agak cablak, mendadak terdiam. Riska juga sama. Jadi kesulitan untuk berkata-kata. Udara di dalam warung tak lagi sejuk. Makin dingin. Padahal di luar, langit Jakarta Timur tengah terik-teriknya.
“Tiga sup ayam untuk 3 perempuan cantik. Ayo, dicicipi,” kata pria paruh baya itu sambil tersenyum. Jenis senyum yang bikin nggak nyaman.
“Bentar, Pak. Kita kan belum memesan,” kanya Lidia. Setelah berkata, napas Lidia menjadi berat. Terengah-engah. Seperti sudah berlari 10 kilometer saja.
Pria paruh baya dengan bibir mencong itu berusaha tersenyum. Masih dengan suara yang terdengar “ngemong”, dia berkata, “Sudah. Makan saja. Jangan banyak ngomong ya kalian. Sudah jauh-jauh ke dunia ini, kan. Jadi makan saja sup ayam ini. Kalian lapar, kan.”
Jawaban pria paruh baya itu membuat Lidia, Fani, dan Riska heran. Apa yang dia maksud dengan “dunia ini”. Lagipula, nada bicara yang terdengar lembut itu justru membuat ketiganya makin ketakutan.
Setelah membagikan 3 mangkuk sup ayam. Pria paruh baya itu mundur 1 langkah lalu berdiri mematung. Senyum aneh itu masih tersungging di bibirnya yang mencong.
Beberapa menit berlalu dalam suasana yang berat….
“Ayo, makan,” kata pria paruh baya itu….
“Makan!” Kali ini suara bersahabat itu hilang, digantikan bentakan yang bikin Lidia, Fani, dan Riska kaget. Pria paruh baya itu bergerak dengan cepat. Dia mendekatkan wajahnya yang aneh itu ke masing-masing dari wajah Lidia, Fani, dan Riska.
Ketiganya tercekat dan seperti ada kekuatan yang memaksa mereka untuk menyendok sup ayam itu….
Sup ayam itu sama sekali tidak enak. Seperti basi. Kuah sup ayam itu keruh sekali. Kotor. Bukan warna sop ayam yang segar dan wangi. Malah terkesan menjijikkan karena minyak yang terlihat di atas kuah. Berlendir. Bihun di dalam sup ayam terlihat aneh. Seperti mie yang sudah terlalu lama terendam dalam kuah.
Fani dan Riska yang ketakutan memakan sup ayam itu sambil memejamkan mata. Lidia yang sudah kadung jijik enggak mememakannya. Beberapa kali Riska mau muntah, tapi pria paruh baya itu masih tertib memelototi. Fani sudah mau berhenti, tapi terus dipaksa pria paruh baya itu untuk terus memakannya.
Ketika sedang mengamati sup ayam di depannya, tak terasa wajah pria paruh baya itu sangat dekat dengan wajah Lidia.
“Kenapa nggak dimakan? Mau disuapi?” Kata pria paruh baya itu dengan ramah, tapi senyuman di bibir mencongnya sudah hilang.
Lidia menggeleng dan sambil menahan jijik, dia menyerok kuah sup ayam dan memaksanya masuk ke mulut. Setelah suapan kedua, Lidia sudah tidak tahan dan memberontak.
Lidia melemparkan mangkuk beserta isinya ke wajah pria paruh baya. Setelah itu, dia menarik kedua temannya untuk bergegas pergi. Pria paruh baya itu tidak berusaha mengejar mereka. Tapi, dia berkata dengan nada suara yang kembali lembut.
“Kalian mau kemana? Supnya belum habis.”
Setelah itu, suara tawa melengking terdengar di telinga Lidia, Fani, dan Riska padahal ketiganya sudah jauh berlari.
Ketika berlari menjauh, hawa yang terasa langsung berbeda. Tidak lagi sejuk, tapi panas. Sewajarnya panas Jakarta Timur. Rasanya seperti memasuki dunia yang berbeda.
Ketiganya bergegas pulang ke rumah masing-masing. Untung saja rumah ketiganya tidak terlalu jauh. Masih masuk Jakarta Timur.
Sore harinya, Lidia masih intens berkomunikasi dengan kedua temannya. Menanyakan kabar, sekaligus heran dengan apa yang menimpa mereka.
Menjelang Maghrib, Lidia mengeluh perutnya sakit. Diikuti tubuhnya yang panas dan tengkuknya terasa sangat berat. Keluarga saya mengira Lidia ketularan covid. Tapi, malam harinya, Lidia masih bisa merasa dengan lidah dan membaui makanan. Panasnya sudah agak turun. Tapi perutnya masih sakit sekali. Malam itu, Lidia cuma minum obat warung untuk meredakan sakit perutnya.
Setelah berjalan 1 minggu, sakit di perut Lidia tak kunjung hilang. Bahkan kini dia tidak bisa berjalan. Tidur Lidia tidak pernah nyenyak. Selalu terbangun menjelang diri hari dengan tubuh basah oleh keringat.
Karena obat dari dokter tidak mempan dan takut ke rumah sakit karena covid, orang tua Lidia memanggil kenalannya, seorang paranormal yang cukup terkenal di daerah Cakung, Jakarta Timur.
Proses pengobatan Lidia berjalan selama 3 hari dan berjalan lancar. Keadaan Lidia semakin membaik. Perutnya tak lagi sakit, tapi masih sangat lemas untuk berjalan.
Kata paranormal tersebut, Lidia dan kawan-kawannya sudah memasuki alam yang seharusnya tidak mereka datangi. Rumah makan dan pemiliknya yang mereka temukan di Cakung, Jakarta Timur itu berada di alam yang tidak sama dengan kita.
Setelah lebih enak, Lidia mencoba menghubungi kedua temannya. Selama 1 minggu, chat Lidia tidak pernah dibalas oleh keduanya. Ketika ditelpon juga tidak diangkat.
Lidia, yang belum mendapatkan kabar dari Fani dan Riska meminta tolong kepada saya untuk mencari tahu. Dia memberi saya alamat ke rumah kedua temannya.
Namun, sebelum menengok kedua teman Lidia, saya memutuskan untuk mencari tahu soal rumah makan itu. Jujur saja, saya sendiri masih agak sulit percaya kepada hal-hal mistis.
Mengendarai sepeda motor, saya beberapa kali melintas di jalan yang sekiranya menjadi alamat rumah makan di Jakarta Timur itu. Namun, hingga 4 kali saya bolak-balik, tidak ada rumah makan di sana. Tidak ada juga 2 pohon besar yang mengapit rumah makan. Hanya ada 1 pohon besar di sana yang akar-akarnya menonjol di antara trotoar.
Setelah bertanya ke beberapa orang di sekitar sana, saya juga tidak mendapatkan jawaban. Tidak ada yang pernah melihat ada warung makan sup ayam di daerah KBN Cakung, Jakara Timur, seperti digambarkan Lidia.
Bingung dan capek, saya memutuskan menuju rumah Fani dan Riska. Karena masih di daerah Jakarta Timur, saya memutuskan langsung menengok saja.
Sesampainya di rumah Fani, saya mendapat jawaban yang sungguh janggal. Kata orang rumah, Fani pamit pergi dari pagi. Katanya janjian sama Riska mau jajan sup ayam.
Saya pulang dengan menyimpan banyak pertanyaan. Lidia yang saya beritahu soal penelusuran saya dan jawaban orang rumah Fani, malah menangis. Malam itu, keluarga kami memanggil lagi paranormal yang mengobati Lidia.
Orang rumah Fani yang dihubungi Lidia tidak percaya. Intinya mereka tidak mau berurusan dengan paranormal. Padahal, hingga tulisan ini saya buat, kami belum menerima kabar lagi dari Fani dan Riska. Pada titik tertentu, kami tidak bisa apa-apa. Lidia hanya bisa menangis dan saya terjebak dalam kebingungan.
BACA JUGA Misteri Tulang-belulang di Gunung Selendang dan Kloning Alam Gaib dan kisah mereahkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.