Makam Giriloyo sejatinya adalah lokasi pertama yang dipilih oleh Sultan Agung jika kelak ia mangkat. Namun, lokasi ini kemudian diminta oleh sang paman. Sultan Agung kemudian memilih lokasi kedua yakni Pajimatan sebagai area makamnya.
***
Berbekal plastik dan besek, 3 orang bocah asyik mencari ikan di sebuah sungai kecil. Protes terdengar kala saya mengarahkan kamera ke mereka. Di samping sungai kecil itu, sebuah anak tangga sudah menanti.
Suasana Ramadan masih terasa berkat lampu hias dan banner besar berisi ucapan selamat berpuasa. Di antara itu semua, ada sebuah papan nama dengan huruf mulai memudar. Pasareyan Agung Giriloyo, demikian tulisannya.
Sebuah masjid menyambut begitu selesai meniti anak tangga. Bentuknya khas masjid kagungan dalem (milik Keraton Yogyakarta) dengan sebuah kolam kecil di bagian depan. Melihat saya datang, 2 orang pria bangun dari tidurnya dan segera mengenakan peci hitam.
“Monggo…,” salah satu pria menyambut dengan ramah.
Saat raja didahului pamannya
Orang awam akan teringat dengan Pajimatan ketika mendengar nama ‘Makam Raja-Raja Imogiri’. Padahal, sesungguhnya Pajimatan adalah lokasi pilihan kedua Sultan Agung. Sesungguhnya, gumpalan tanah dari Mekah tidak langsung jatuh di Pajimatan. Namun, di tempat bernama Giriloyo. Di tempat inilah gumpalan tanah itu jatuh untuk pertama kalinya.
“Tanah itu dilemparkan oleh Sunan Kalijaga,” terang Barjo (70), salah satu abdi dalem di Makam Giriloyo.
Versi cerita ini berbeda dengan keterangan Darto (pemandu wisata di Pajimatan). Menurut Barjo, lokasi ini awalnya hendak dijadikan komplek makam raja oleh Sultan Agung. Ia bahkan sudah menyelesaikan pembangunannya. Namun, Pangeran Juminah, yang tak lain adalah pamannya, meminta izin agar ia boleh dimakamkan di lokasi ini. Sultan Agung akhirnya mengabulkan permintaan sang paman.
Sosok Pangeran Juminah alias Pangeran Blitar disebut H.J. De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram sebagai anak ke-18 Senopati. Ia punya nama asli Raden Mas Bagus. Pola penamaan ini mirip dengan 2 pangeran lain yang sama-sama menggunakan nama tempat di Jawa bagian timur: Pangeran Purbaya dan Pangeran Singasari. Ia juga disebut dengan gelar lebih tinggi, panembahan.
Pangeran ini juga turut disebut sebagai salah satu pemimpin perang Mataram. Namun, De Graaf mengatakan keberadaan sosoknya lebih menarik perhatian pihak Belanda bukan karena kemampuan militernya melainkan karena kedekatan hubungannya dengan sang raja. De Graaf menyebut, kepada Juminah lah pembangunan makam diserahkan. Menurut laman Kemendikbud Makam Giriloyo dibangun antara tahun 1628-1629.
Setelah permintaan sang paman, Sultan Agung terpaksa mengubah keinginan awalnya untuk menggunakan area ini sebagai makamnya. Belakangan ia mencari lokasi lain setelah permintaan sang paman dikebumikan di lokasi tersebut. Pilihan jatuh ke Bukit Merak yang sebenarnya masih berada di satu rangkaian pegunungan dengan Giriloyo. Jaraknya pun tidak sampai 2 kilometer dan kini berada di satu kalurahan.
Dalam skala lebih kecil dan sederhana, Makam Giriloyo punya beberapa kemiripan dengan Makam Pajimatan. Di bagian bawah ada masjid kagungan dalem. Ada pula anak tangga selebar sekitar 3 meter menuju makam. Area utama makam juga membujur dari barat ke timur dengan 2 sayap. Tersebar pula beberapa makam umum di sekitar anak tangga.
Total, ada 65 nisan di komplek Makam Giriloyo. Tokoh utama di makam ini ada 4 yaitu Pangeran Juminah, Sunan Cirebon atau Panembahan Giriloyo, Kanjeng Ratu Mashadi (ibu dari Sultan Agung), dan Kanjeng Ratu Pembayun (permaisuri Amangkurat I). Semua pusara tadi berada di sayap barat kecuali makam Sunan Cirebon yang berada di sebuah bangunan sayap timur.
Selain itu ada pula makam Kiai Ageng Giring, Kiai Ageng Gentong, serta Tumenggung Wiraguna dan istri. Saya memastikan ulang bahwa sosok Kiai Ageng Giring adalah orang yang sama dengan Ki Ageng Giring III di Sodo kepada Barjo. Dia pun mengiyakan.
Sementara Tumenggung Wiraguna adalah panglima perang sekaligus orang kepercayaan Sultan Agung. Nama ini menjadi salah satu tokoh penting di novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya.
Dahulu, saya menganggap Antakapura sebagai makam dengan nuansa paling kuno dari sekian banyak pusara yang pernah saya datangi. Anggapan itu luntur tatkala saya melihat suasana di Makam Giriloyo. Mayoritas pusara di sini berbentuk tatanan batu dengan nisan bergaya hanyakrakusuman.
Sayap makam sisi barat berada di bagian lebih tinggi dengan gapura supit urang namun sudah rusak. Beberapa bagian tembok juga diwarnai keretakan. Pintu bangunan makam sayap barat telah lapuk dan kini dilapisi pintu besi sebagai pengaman tambahan.
“Sudah lama sekali rusaknya tapi belum ada perbaikan,” ungkap Abdul Jalal (72), abdi dalem lain yang menemani saya naik.
Sekaran sepen dan hilangnya cungkup
Selain makam, di area ini juga terdapat sebuah batu bernama selo tilas. Kata Abdul, batu ini adalah gumpalan tanah yang dulunya dilemparkan dari Mekah. Di dekat makam Kiai Ageng Giring, ada sebuah sumur yang airnya dipercaya punya aneka khasiat, bahkan manjur untuk mengusir hama di sawah.
“Dulu pas Sultan Agung mencari lokasi baru, beliau melempar lagi sedikit tanah dari sini,” terangnya. Batu itu juga disebut sering digunakan oleh sang raja untuk duduk. “Dari saya kecil sudah begini bentuknya,” lanjut Abdul kala saya bertanya tentang susunan batu di bawahnya.
Memasuki sayap barat, ada satu buah nisan dengan bentuk mencolok. Dimensinya lebih besar dibanding makam lainnya, permukaannya polos, dan berwarna hitam. Sekaran sepen, demikian tulis papan nama di dekat kepala nisan. Ini adalah sebuah makam tiban yang dipercaya datang begitu saja di Makam Giriloyo.
“Secara fisik, makam Sultan Agung berada di Pajimatan,” Abdul memulai cerita. “Namun, secara batiniyah, makam beliau berada di sini, maka muncul sekaran sepen ini. Karena beliau sebenarnya ingin dimakamkan di Giriloyo,” lanjutnya. Misteri tidak berakhir di situ karena di sekitar makam tiban ini juga ada beberapa umpak batu.
Konon, sekaran sepen dan 3 nisan lain di sekitarnya pernah dipasang sebuah cungkup (bangunan beratap pelindung makam). Namun, cungkup itu tiba-tiba hilang begitu saja. Belakangan cungkup itu ditemukan di daerah Demak dan hanya menyisakan umpak batu saja. “Itu sudah lama sekali, saya dapat cerita itu dari para abdi dalem terdahulu,” cetus Abdul saat saya bertanya tentang waktu kejadian.
Makam di sayap barat secara sederhana dibagi dalam 2 area. Di area barat bersemayam para tokoh besar yaitu Pangeran Juminah, Kanjeng Ratu Hadi, Kanjeng Ratu Pembayun. Sementara di luar pagar sayap barat juga terdapat sederet makam prajurit. Makam di sini menggunakan papan nama dari kayu buatan para abdi dalem. Tentu saja itu hanya untuk makam yang sudah diketahui namanya karena tidak semua nama diketahui para abdi dalem.
Salah satu nama menarik di makam ini tentu saja Sunan Cirebon. Nama ini juga disebut dengan Sultan Cirebon V dalam laman Kemendikbud. Terkait hubungannya dengan Sultan Agung, Abdul mengatakan bahwa sosok ini merupakan cucu menantu sang raja dan meninggal ketika berada di Mataram.
Terlupakan
Sayup-sayup saya mendengar kata ‘dikiwakke’ (dianaktirikan) dalam obrolan antara Barjo dan Abdul Jalal di serambi masjid. Saya akhirnya mengiyakan kata-kata itu kala sudah naik ke area makam. Jangan berharap ada papan informasi. Mayoritas bangunan masih asli, bukan karena disengaja namun karena minimnya perhatian. Bangunan baru hanya berupa bangsal di depan masjid dan tempat istirahat peziarah.
Bersama Banyusumurup dan Pajimatan, Giriloyo adalah salah satu dari 3 makam milik keraton di Imogiri. Dibanding 2 lainnya, secara urutan kronologis ini adalah makam paling tua. Sama seperti 2 makam lainnya, Giriloyo juga dijaga oleh abdi dalem dari Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Kisah-kisah di Makam Giriloyo agaknya masih tertutup dengan kejayaan dan perhatian khalayak terhadap Pajimatan.
Mari membandingkan juga dengan Banyusumurup yang sering disebut makam para musuh raja. Banyusumurup lebih beruntung rasanya karena sudah dilengkapi papan informasi. Abdi dalemnya pun lebih banyak. Di Giriloyo hanya ada 10 abdi dalem. Perkataan Barjo dan Abdul tadi juga dibuktikan dengan pagar makam yang sudah retak, pintu masuk yang lapuk, gerbang dengan runtuhan di bagian atas, dan jalan naik menuju makam yang sederhana.
Padahal di sini bersemayam tokoh-tokoh penting Mataram Islam di masa silam. Lebih penting lagi sebab makam ini adalah lokasi incaran awal Sultan Agung, raja besar Mataram, saat hendak membangun area makam untuk ia dan keturunannya. Tidak ada pula narasi makam ini sebagai lokasi awal makam raja-raja di laman Keraton Yogyakarta.
Perhatian terhadap area ini malah lebih tertuju ke Masjid Agung Giriloyo di bagian bawah makam. Bangunan ini 2 tahun terakhir terus mengalami renovasi dan pembaruan dari pihak keraton untuk mengganti bagian atap dan tiang kayu.
“Tahun kemarin bagian dalam, tahun ini bagian depan,” sebut Barjo. Ia menyebut angka Rp2 miliar soal biaya renovasi itu.
“Kayu-kayunya baru semua,” Abdul menambahkan.
Dari pihak abdi dalem, beberapa pembaruan tetap dilakukan semampunya. Itu semua bukan tanpa alasan karena Abdul mengatakan sering ada peziarah menginap dalam kurun waktu lama. Terakhir, ada 2 orang perempuan asal Jawa Tengah menginap selama hampir seminggu di area makam.
“Mereka tidur di atas, di bangsal kecil dekat makam. Tapi masaknya di bawah, di dekat masjid,” terang Abdul. Abdi dalem juga menyediakan gelas di dekat sumur tua supaya memudahkan pengunjung yang hendak mengambilnya. Abdul mengatakan, beberapa kali ada pengunjung datang hanya untuk mengambil air di sana dan dibawa pulang.
Tak lama setelah kami berbicang setelah dari makam, saya pun pamit. Barjo dan Abdul kembali membunuh sepi dengan tiduran. Mereka menunggu pengunjung lain hari itu. Peci hitam sengaja ditaruh di dekat kepala supaya siap dikenakan lagi saat menyambut tamu. Jadwal jaga keduanya baru akan berakhir di sore hari. Setelahnya mereka akan kembali berjaga 5 hari kemudian.
Saat saya turun dari masjid, 3 bocah tadi sudah selesai mencari ikan. Berbeda dengan saat saya naik, kini mereka tampak senang ketika tertangkap kamera. Ketiganya malah memasang aneka pose sambil memegang plastik es.
“Apik ora, Mas?” tanya salah satu bocah sambil mengintip gawai di tangan saya.
Reporter: Syaeful Cahyadi
Editor: Purnawan Setyo Adi