Berkuliah di luar negeri kini bisa diraih oleh siapa pun. Kedengarannya klise. Tapi memang demikian adanya. Sekarang ini ada banyak banget beasiswa yang bisa kamu daftar supaya bisa melanjutkan studi diantaranya ada LPDP dan Chevening.
Nah, Kalau kamu ada keinginan untuk melanjutkan studi ke luar negeri terutama ke Inggris, kali ini Mojok mau ngasih insight soal beasiswa LPDP dan Chevening. Mojok berbincang dengan dua orang teman yang punya pengalaman melanjutkan studi ke Inggris dengan beasiswa tersebut. Ada Satria Aji Imawan (31) yang melanjutkan kuliah S-2 di University of Exeter dan Yulida Nuraini Santoso (32) yang melanjutkan S-2 di University College London (UCL).
Seluk-beluk beasiswa LPDP
Oke, kita akan bahas soal beasiswa LPDP dulu ya. Apa sih LPDP ini? LPDP singkatan dari Lembaga Penyalur Dana Pendidikan. LPDP adalah beasiswa yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia dan dikelola oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Aji Imawan merupakan salah satu penerima beasiswa LPDP. Ia melanjutkan sekolah di University of Exeter tahun 2016 jurusan Master of Public Administration. kepada Mojok ia bercerita ihwal proses dirinya mendapatkan beasiswa ini.
“Beasiswa LPDP itu ada beberapa saluran. Dulu aku pakai beasiswa pemerintah Indonesia yang regular. Namun sebetulnya ada yang khusus daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), santri, profesi kesehatan, dll,” ucap Aji saat ditemui Mojok, Senin (25/10) di bilangan Karanggayam, Yogyakarta.
Untuk persyaratannya lengkap beasiswa LPDP bisa kamu lihat di sini. Namun menurut Aji ketentuan umum untuk melanjutkan studi baik di kampus dalam dan luar negeri ada ketentuan skor Bahasa Inggris.
Untuk S-2 dalam negeri minimal TOEFL 500 atau IELTS 6. Sedangkan untuk luar negeri minimal TOEFL 550 atau ILETS 6,5. Lalu, untuk jenjang S-3 yang mau kuliah di kampus dalam negeri TOEFL minimal 550 atau IELTS 6,5. Sedangkan luar negeri TOEFL 600 atau IELTS 7.
Aji mengatakan perihal surat penerimaan di universitas baik bersyarat maupun tanpa syarat juga harus diperhatikan. Walaupun ini sebenarnya tidak wajib tapi peluangnya jadi lebih besar untuk dapat beasiswa.
“LPDP itu hanya mengcover beasiswanya atau biayanya, sedangkan sekolahnya kita sendiri yang harus cari,” kata Aji yang kini bekerja di Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan (MDKIK) UGM.
“Kalau dulu aku daftar sekolah dan ngurus beasiswa itu paralel. Ini tergantung strategi masing-masing orang sebetulnya. Ada yang effort-nya ngurus LPDP dulu baru kampusnya belakangan atau ada yang sebaliknya. Kalau untuk kasusku kampusnya dulu keterima habis itu baru LPDP.”
Lalu jangan lupa juga siapkan surat rekomendasi dari bidang akademik dan non-akademik (profesional). Setelah surat rekomendasi kelar kemudian bikin esai. Satu esai dengan tema non-akademik, biasanya menurut penuturan Aji pihak LPDP memberi tema seperti ‘bagaimana kamu memandang kesuksesan’.
Esai kedua yang berkaitan dengan akademik yaitu rencana studi dan rencana tesis. Ini yang menurutnya harus melihat kurikulum yang ada di kampus. Intinya program objektifnya apa.
“Untuk esai rencana tesis ini yang agak detail seperti kita bikin proposal skripsi lah hanya nggak pakai metodologi cuma pengantar aja. Abis itu tinggal apply,” ungkap Aji.
Jika proses administrasi ini lolos maka akan ada proses selanjutnya. Aji menjelaskan waktu itu ada 3 tes yang harus dilalui. Pertama, menulis esai on the spot, merefleksikan apa yang kita tulis di rencana studi dan tesis.
Kedua, leaderless grup discussion, bagaimana kita menempatkan diri dalam kelompok. Pada tahapan ini ada seorang psikolog klinis yang menilai. Psikolog ini lebih ke melihat aspek emotional question.
Ketiga, interview dengan beberapa pihak sekaligus. Diantaranya dosen psikologi, dosen bidang ilmu yang kita minati, dan satu lagi dosen dari LPDP.
“Salah satu pertanyaan dalam tes itu adalah apa yang aku lakukan di masa lalu. Nah aku ceritakan soal menulis opini di media massa seperti koran Kedaulatan Rakyat, menulis buku, bikin diskusi, kegiatan riset. Itu aku buktikan dengan print dalam satu bundle termasuk bukunya aku kasih ke penguji,” tuturnya.
“Kalau lolos nanti akan ada pelatihan kepemimpinan dan karantina selama satu minggu di Jakarta.”
Jika semuanya berjalan lancar dan telah melewati masa persiapan, setelah itu baru berangkat dan kuliah di universitas yang sudah kita daftar. Untuk biaya yang didapat dari beasiswa LPDP pun menurut penuturan Aji dirasa cukup untuk hidup selama ia melanjutkan studi di negeri orang. Ia mendapatkan biaya hidup, biaya buku, dan biaya riset dari LPDP.
“Untuk tipsnya, harus aware dengan saluran beasiswa, ada beasiswa santri, 3T, khusus dosen dan peneliti, dan regular. Nah ini list kampusnya beda-beda juga. Itu yang harus diperhatikan,” ucap Aji.
“Sebelum ikut tes diusahakan punya track record yang berkontribusi terhadap lingkungan sosial. Karena LPDP itu kata kuncinya leadership yang bisa mengubah atau berdampak pada lingkungan sosial. IPK juga harus diperhatikan karena beasiswa kalau nggak nyentuh 3 agak sulit,” imbuh Aji.
Selai itu menurut penuturan Aji jangan lupa perhatikan juga alur seleksinya. Terkadang ada penambahan selain tiga proses yang utama yang telah dijabarkan; menulis esai on the spot, leaderless grup discussion, dan wawancara.
Studi di Inggris dengan beasiswa Chevening
Berbeda dengan Aji, Yulida Nuraini Santoso atau akrab disapa Dida berkuliah di Ingris melalui beasiswa Chevening. Secara umum Chevening adalah beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Inggris khususnya kantor yang bernama Foreign, Commonwealth and Development Office (FCDO). Persyaratan mengenai beasiswa Cheving bisa kamu cek di sini.
Dida mendapatkan beasiswa tahun 2014 untuk berkuliah di University College London (UCL) dengan jurusan International Public Policy. Beasiswa ini ia dapat tak lama setelah lulus S1 di jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Waktu itu tahun 2013 saya baru lulus lalu abis itu saya mikirnya saya harus sekolah jadi saya mendaftar beasiswa beberapa sekaligus. Chevening ini bukaannya duluan, paling mendekati setelah saya lulus,” tutur Dida kepada Mojok, Selasa (9/11).
“Tapi terus terang saya nggak mikir bakal diterima jadi yang penting waktu itu udah nyoba. Agustus dia buka dan saya selesaikan aplikasinya, habis itu idle lama karena memang prosesnya lama,” imbuh Dida yang saat ini bekerja di Asean Studies Center Fisipol UGM.
Soal persyaratan yang diminta, menurut Dida Chevening paling sederhana jika bandingkan dengan beasiswa lainnya yang pernah ia daftar. Biasanya, mereka akan minta contoh tulisan atau portofolio yang sudah ada.
“Chevening ini yang menurut saya adalah yang paling mudah untuk diikuti oleh orang yang awam sekalipun. Artinya mereka yang belum punya pengalaman kerja terlalu banyak pun masih bisa untuk mengikuti atau tidak terlalu overwhelming,” ungkap Dida.
“Insight dari saya, Chevening itu kan mencari orang yang punya dua kualitas utama yang saya lihat mereka mencari orang yang punya kepemimpinan dan bisa berjejaring. Itu dua kualitas yang sangat penting.”
Dida lantas menuturkan jangan membayangkan orang-orang studi dengan beasiswa Chevening itu semuanya dari jalur akademisi dan ingin jadi dosen. Sebenernya yang pengen seperti itu sedikit banget. Rekan-rekannya bekerja dengan ragam profesi. Ada yang pelukis, pengrajin, news presenter, dan kerja di bidang oil and gas.
Itu yang menurutnya Chevening agak berbeda karena dia mencari orang yang tahu secara karir mau ngapain. Sehingga dua fitur yang ia sebutkan tadi akan banyak digali saat wawancara.
“Yang paling taktis apa yang ditulis dalam esai-esainya itu arahkan kepada bagaimana itu membentuk sifat kepemimpinan dan kemampuan untuk berjejaring,” ungkap Dida.
Berbicara perihal uang saku yang didapat dari beasiswa ini Dida berujar bahwa yang ia dapat cukup banget untuk hidup di kota seperti London. Menurutnya untuk hal yang sifatnya materiil Chevening sudah sangat memperhatikan dengan baik kebutuhan kita.
Benefit lain yang lebih intrinsik adalah jejaringnya yang sangat kuat. Jadi karena penerima beasiswanya dari seluruh dunia, setiap awal, pertengahan dan akhir tahun itu ada pertemuan-pertemuan yang harus diikuti untuk berkumpul dan memperkuat bonding.
Selain itu, Chevening juga menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kenal inggris lebih banyak. mereka membuka trip ke Stonehange, Skotlandia, dll. Siapa pun yang mau ikut itu tinggal daftar aja lalu ketemu di sana, tripnya biasanya hanya satu hari.
“Itu kesempatan yang bagus untuk orang suka traveling dan juga mendapatkan teman baru. Kayaknya itu sederhana ya tapi friendship itu kan long lasting, jadi saya pikir itu adalah fasilitas dari Chevening yang masih belum ada yang menandingi,” pungkas Dida
BACA JUGA Kisah Gadis Pembuat Serabi Kalibeluk yang Diampuni Sultan Agung dan liputan menarik lainnya di Susul.