Warung Kopi Blandongan yang lahir pada tahun 2000, konon merevolusi warung perkopian di Yogyakarta. Didirikan oleh seorang mahasiswa asal Gresik untuk bertahan hidup sekaligus membawa serta kenangan kampung halaman.
***
Tahun 2021, saat Yogyakarta penuh dengan kafe kopi kekinian, Warung Kopi Blandongan tetap eksis dengan segala kesederhanaannya. Oleh sebab itu, Mojok.co menulusuri geneologi atau asal-usul Warung Kopi Blandongan yang mampu bertahan dari arus terpaan zaman. Di sana, ada sejumput kisah haru dan inspiratif.
Asal-usul berdirinya Warung Kopi blandongan
Senin, 29 November 2021. Menggunakan sepeda motor dari rumah, saya melenggang ke Warung Kopi Blandongan di Jalan Sorowajan Baru, Banguntapan, Bantul. Letaknya di kiri jalan ke arah selatan tak jauh dari lintasan rel kereta api. Saya tiba di sana pukul 8.30, memesan kopi sekaligus menyampaikan niat untuk wawancara. Saya langsung berhadapan dengan pemilik yang kebetulan tengah menjaga meja kasir.
“Boleh, mas. Tapi, tunggu sebentar, ya. Baiknya Anda bersantai dan minum kopi dulu,” ucap beliau dan menyambut tawaran saya dengan indah. Pesanan saya datang, secangkir susu kopi kental dan saya bergegas mencecapnya. Sembari menunggu waktu yang tepat untuk mewawancari beliau, saya menyalakan rokok. Pelanggan mulai banyak berdatangan, tapi situasi tetap tenang. Sesekali terdengar kereta api lewat yang sama sekali tidak mengusik telinga.
Pertama saya akan perkenalkan pemilik dari Warung Kopi Blandongan, Nasrudin (42) atau yang disapa akrab dengan nama Badrun. Beliau datang ke Yogyakarta pada tahun 1998. Saat itu kedatangannya bertujuan untuk menempuh pendidikan (kuliah) Jurusan Syariah Muamalah di IAIN Sunan Kalijaga—kini UIN Sunan Kalijaga. Beliau berasal dari Desa Campurejo, Kecamatan Panceng, sebuah wilayah pesisir di Kabupaten Gresik.
Badrun muda merupakan seseorang yang gemar nongkrong dan suka minum kopi. Tetapi kedatangannya di Yogya dibuat bingung, karena ia tidak menemukan kopi di Yogyakarta seperti di kampung halamannya. Ia tidak menemukan sajian kopi cangkir dan rasa kopi seperti di rumahnya. Saat itu di Yogyakarta, umumnya kopi disajikan dengan gelas besar. Saat itu di Yogya memang banyak angkringan dan warung burjo. Tetapi tetap saja ia tidak menemukan kopi seperti yang ia harapkan.
Setelah dua tahun menetap di Yogyakarta, pada tahun 2000 tepatnya di tanggal 17 Mei, Warung Kopi Blandongan ia dirikan. Saat itu Badrun muda masih duduk di semester empat. Ia menyewa ruko kecil berukuran 2,5×2,5 meter dengan biaya sebesar Rp500 ribu per tahun. Total modal awal mendirikan warung kopi tersebut sebesar Rp1 juta.
Warung kopi yang didirikan Badrun muda ternyata mendapat respon positif dari pecinta kopi dan siapapun yang nongkrong, terutama anak muda. Kemudian Badrun muda memindahkan usahanya ke tempat yang lebih luas dan akhirnya bertahan hingga sekarang.
Banyaknya anak muda, terutama mahasiswa yang jadi konsumen Warung Kopi Blandongan, sampai-sampai Badrun membuat tagline untuk warung kopinya, ‘Selamatkan Anak Muda dari Bahaya Kekurangan Kopi’.
“Sebetulnya alasan fundamental mendirikan Warung Kopi Blandongan adalah untuk bertahan hidup, Mas. Karena aku hanya hidup bersama ibu,” ujar Badrun. Warung kopi yang ia dirikan sekaligus untuk mengobati kerinduannya pada suasana nongkrong dan ngopi di kampung halaman.
Lewat usahanya itu, Badrun membantu ekonomi keluarganya sekaligus memenuhi biaya kuliahnya hingga ia berhasil menuntaskan kuliahnya. Pada tahun 2005 beliau mentas dan menjadi sarjana.
Makna dari nama blandongan dan bagaimana tetap bertahan
“Kopi yang kusajikan di Warung Kopi Blandongan ini sebetulnya bentuk kopi rumahan di rumahku. Kopi tempat di rumahku tak bawa ke sini,” kata beliau.
Pak Badrun, berkisah bahwa bentuk dan sajian kopi di Gresik, atau tempat asalnya, sama plek alias persis dengan kopi yang ia sajikan di Warung Kopi Blandongan. Artinya beliau membawa sekaligus memperkenalkan pada masyarakat Yogya mengenai budaya ngopi sekaligus bentuk warung kopi di Gresik.
Kalau kamu datang, bisa kamu saksikan bentuk desain warungnya sangat khas. Terdapat sebuah ruang berbentuk persegi semacam bar, sebagai tempat untuk memesan, dan di dalam ruangan itu terdapat berbagai macam jajanan ringan dan macam kudapan sebagai sandingan ngopi selain rokok.
Peyeduhan di Warung Kopi Blandongan ini sederhana. Saya yakin semua orang pasti bisa menjajalnya. Secangkir gelas yang berisi kopi (robusta) kemudian ditambahkan air panas mendidih, itu adalah prosedur dasarnya.
“Yang membedakan Blandongan dengan yang lain apa sih, Pak?” tanya saya.
“Lha ini ciri khasnya,” ucap Pak Badrun sembari menunjuk kopi cangkir di depannya. “Di awal aku buka ya dengan tampilan seperti ini, dulu di Yogya sepengetahuanku belum ada yang seperti ini,” imbuh beliau.
Ketika beliau membuka warung kopi dengan tampilan seperti yang telah ia jelaskan, menurut beliau lambat laun masyarakat Yogya menerima. Hingga sekarang tampilan sajian kopi dengan cangkir kian meluas di berbagai warung kopi di Yogya selain Warung Kopi Blandongan.
“Blandongan itu aula tempat kumpulnya para nelayan di kampungku, mas, juga rumah-rumah nelayan di pesisir,” jelas Pak Badrun ketika saya tanya apa makna dari blandongan.
Pak Badrun bercerita kalau diminta ganti bentuk bangunanya ia tak akan mau. Bentuk bangunan yang ada sekarang merupakan konsep sejak awal berdiri yang ia inginkan sebagaimana bentuk bangunan rumahnya di kampung halaman sana.
Beliau juga berkisah, bahwa dalam menjalankan usaha warung kopinya ia berpikir untuk selalu mengikuti arus. Sebagai salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhanya, bagaimanapun Warung Kopi Blandongan akan terus bertahan dan berjualan.
Saat ada aturan PPKM ketat karena pandemi Covid-19, Warung Kopi Blandongan tetap beroperasi dengan mengikuti protokol kesehatan yang ada.
Kopi Blandongan mengantar ke ‘rumah’
Ketika datang ke Warung Kopi Blandongan saya teringat sosok penulis ulung yaitu Mahfud Ikhwan. Saya pernah mendengar cerita, konon penulis novel Ulid ini menjadi pelanggan lama Warung Kopi Blandongan. Lantas saya menghubungi beliau melalui pesan di Instagram.
“Bagaimana warung kopi blandongan menurut, Cak Mahfud?”
“Itu warung yang cocok untuk orang macam aku. Itu saja,” jawab Cak Mahfud
“Cak Mahfud sejak kapan menyukai warung kopi blandongan?”
“2008, paling intens 2010-2011. Karena saat itu Warung Kopi Blandongan salah satu dari sedikit warung kopi di Yogya,” jawabnya.
“Memilih Warung Kopi Blandongan apa karena berasal dari Gresik, Cak?” Cak Mahfud asli Lamongan, tak jauh dari Gresik.
“Kopinya jelas ‘mengantarku’ ke rumah. Dan itu faktor yang tak bisa diabaikan,” pungkas Cak Mahfud, pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk novelnya ‘Dawuk’.
Selain Cak Mahfud saya juga menghampiri beberapa pelanggan yang tengah menikmati kopi. Pertama saya menghampiri dua pemuda yang sedari tadi saya lirik—memastikan mereka tidak sibuk. Kemudian saya menghampiri mereka. Abdul Khoir (21), ia pelanggan baru warung kopi blandongan, ia berasal dari Madura. Menurutnya warung blandongan adalah tempat yang nyaman, cocok untuk menikmati kopi sambil kuliah daring.
Saat itu waktu menunjukan pukul 10.00 WIB, saya melihat lelaki tua masuk ke halaman parkir warung kopi blandongan kemudian terus berjalan menuju kasir. Ia duduk di sudut dari deretan meja. Tiga puluh menit kemudian saya menghampiri dan ngobrol dengannya. Pak Indra (50) beliau asal Yogyakarta.
Menurutnya warung kopi blandongan tempatnya tidak berisik, kemungkinan dipenuhi pengunjung intelek dan nyaman buat zoom meeting. “Coba lihat sebelah sana, mas, meski pemuda itu main game tetapi mereka tidak berisik dan tidak mengganggu pengunjung yang lain,” tutup Pak Indra disusul mencecap kopi.
Saya mengakui, warung kopi blandongan memang nyaman. Harganya pun ramah dari kantong siapapun. Untuk secangkir kopi di kisaran harga Rp6 ribu-Rp12 ribu. Ada juga aneka minuman jus menu makanan juga cukup variatif ada olahan mie, omlet, intel (indomie telur) dan nasi ayam, yang bisa dibeli dengan harga Rp10 ribu – Rp17 ribu. Tak lupa, di sana banyak juga menyediakan cemilan yang dihargai Rp2000-an.
BACA JUGA 15 Tahun Pelatih Sepak Bola Putri Mataram Rela Tak Digaji dan liputan menarik lainnya di Susul.