Tiga orang anak muda, masing-masing pewarta, anak indigo, dan mahasiswa yang nggak punya kemampuan melihat hal gaib mencoba menjawab rasa penasaran mereka dengan memanggil hantu di UGM. Tengah malam, ketiganya menyusuri tempat yang katanya angker seperti Jembatan Perawan dan Bunderan Teknik UGM.
***
Menunggu Hantu Rohana di Jembatan Perawan UGM
Jalanan nampak seperti berkeringat ketimbang basah pasca-hujan. Jogja bagian utara, tidak bisa menyembunyikan dinginnya malam yang berganti dari tanggal 14 ke 15 September 2021. Saya, merasa seperti korban keganasan udara dingin Yogya utara setelah diguyur hujan seharian.
Nggak ada gejolak kilat di langit, nggak ada juga angin kencang, hanya udara dingin dan tetesan hujan bertempo sedang. Hujan yang kadang berhenti, kadang lanjut lagi. “Pas banget iki untuk ritual-ritual pemanggilan arwah,” begitu kata Kipli (26), anak indigo yang hobinya kesurupan. Selain Kipli, saya juga mengajak Dzul (25) yang nggak bisa melihat demit.
Kami bertiga, ingin mencoba beberapa ritual ‘pemanggilan’ di beberapa spot yang katanya berhantu di Kampus Biru ini. Bunderan Teknik salah satunya. Ada tiga sudut pandang yang akan saya sampaikan; yakni saya sebagai pewarta, Kipli sebagai yang bisa melihat demit dan aktifitas di luar nalar lainnya, juga Dzul yang murni nggak bisa melihat demit.
Sebelum ke Bunderan Teknik UGM, kami lebih dulu ‘pemanasan’ ke Jembatan Perawan untuk berharap berjumpa dengan Hantu Rohana. Saya pernah menuliskan kisah Ala (24) yang pernah melihat ada sosok yang jatuh dari jembatan yang jadi penghubung antara Fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan atau yang sering disebut Jembatan Perawan. Kisah Ala bisa dibaca di sini.
Melewati akses satu-satunya, yakni area Boulevard, awalnya kami kucing-kucingan dengan SKKK UGM. Kami kira bakalan ditanyai macam-macam, ternyata sambutan SKKK di sana cukup ramah.
“Mau ke Fakultas Filsafat, Pak. Ada sesuatu yang tertinggal waktu siang tadi,” kata saya berdalih. Toh, pada kenyataannya saya nggak bohong, ada yang tertinggal di Fakultas Filsafat UGM, yakni nilai E saya yang nggak kunjung berubah.
“Hati-hati saja, ya, Mas,” kata salah satu SKKK di area depan. Saya hanya menganggukan kepala. Kok ya jika dibaikin begitu, rasanya malah aneh, ya?
Motor kami menderu perlahan, melihat betapa remang dan sepinya UGM kala malam. “Merinding,” begitu testimoni Dzul, salah satu orang yang sengaja saya bawa penelusuran malam ini. Selain nggak bisa lihat demit, Dzul ini jirih pol. Itu yang menyebabkan saya tertarik bawa Dzul, semoga saja ada kelucuan yang ia bawa. Kesurupan jadi soang, misalnya.
Sebenarnya saya pun sama seperti Dzul, bulu kuduk saya dari tadi merinding tiada henti. Namun, bulu kuduk ini merinding bukan karena takut atau dingin dari gerimis yang terus berjatuhan menimpa kami, melainkan karena saya belum kunjung lulus dari kampus ini.
Dari motor satunya, Kipli berkata bahwa kampus ini memang banyak penunggunya. Namun masih dalam taraf yang wajar dan itu adalah energi akumulatif dari sebelum UGM secara keseluruhan berdiri.
“Dulu UGM itu hanya bagian rektorat saja, sisanya itu adalah tanah biasa. Di sini terkumpul spirit-spirit itu,” kata Kipli, membawa kami ke arah Jembatan Perawan setelah melewati area Lembah. Pukul sembilan malam, sepi sekali. Ada SKKK yang berjaga di area tepat di bawah jembatan tersebut.
Saya pun bertanya kepada SKKK yang enggan disebutkan namanya dalam liputan lantaran belum izin dengan institusi terkait yang ia bawa. SKKK itu berkata, “Isunya di jembatan ini ada Hantu Rohana. Namun, sejak saya bertugas dari tahun 2011, belum pernah kejadian aneh saya alami, tuh,” katanya.
SKKK itu juga pernah bertugas di daerah Vokasi, Sekip Selatan yang juga terkenal angker. Dengan bangunan tua dan juga keadaan yang lebih mencekam. Mas SKKK ini pun belum pernah mengalami kejadian mengerikan di dua tempat paling angker di UGM. “Mungkin karena sudah terbiasa, ya,” katanya.
Mas SKKK itu mempersilakan saya dan kawan-kawan untuk naik ke atas Jembatan Perawan via Fakultas Kedokteran Hewan. Saya pun bertanya, apakah aman, Mas SKKK menjawab bahwa aman-aman saja, asalkan berani ke sana tanpa dirinya. “Di sekitar sana ada jalan masuk, kecil. Masuk saja, Mas. Lalu ikuti jalan setapak untuk ke area atas jembatan,” kata blio.
Langkah demi langkah kami jalani. Entah sudah berapa kali saya menelan ludah, sedang Dzul lebih dominan diam. Di bibir timur Jembatan Perawan, di area Fakultas Kedokteran Hewan, ada beringin besar yang akarnya seperti ucapan selamat datang bagi saya yang mulai ngewel ketakutan. “Ha kok gegerku adem,” begitu kata Dzul.
Selain kini ada sebuah pos SKKK tepat persis di bawah jembatan, bagian atas jembatan juga nampak berbeda. Selain lebih bermandikan cahaya, jembatan ini ada semacam penutup di bagian atas, katanya itu untuk melindungi para civitas akademika Fakultas Pertanian, Fakultas Perikanan, dan Fakultas Kedokteran Hewan yang mau melintasi ketika hujan.
Kipli tak merasakan hawa kehadiran sesosok makhluk astral yang seperti dikatakan kebanyakan kisah perihal Hantu Rohana. Mengutip kembali apa yang dikatakan oleh Ala, dalam liputan saya perihal hantu UGM sebelumnya, gaya pakaian Mbak Rohana ini ala gadis-gadis era 50-an. “Pernahkan, Mas, lihat foto mahasiswa UGM di zaman-zaman segitu? Nah, pakaiannya persis seperti itu,” katanya. Dan Kipli tidak merasakan adanya sosok tersebut.
“Tapi di dekat beringin yang kita lewati tadi, auranya beda. Namun, masih dalam batas normal,” hanya itu yang dikatakan oleh Kipli. Kipli hanya melihat hantu-hantu mainstream seperti pocongan, kuntilanak, seperti hantu anak-anak yang hanya sepintas lalu, kemudian hilang tanpa jejak.
“Ha kok namanya hantu mainstream? Terus Mbak Rohana itu namanya hantu indie gitu, ya?” celekop Dzul yang bikin saya bingung mau ketawa atau jaga sopan santun selama di atas jembatan.
Sedang yang saya rasakan sejatinya biasa saja. Tentu ada sebuah medium tertentu yang membuat saya merinding, namun hanya sepintas saja. Seperti dingin di bagian tangan, lalu hilang setelahnya. Dzul juga merasakan hal yang sama. Sedang Kipli hanya bisa merasakan hantu-hantu yang katanya mainstream tadi. “Nggak ada energi yang jahat atau besar,” kata Kipli.
Setelah hilir mudik Pertanian-Kedokteran Hewan di atas Jembatan Perawan, mencoba melihat ke bawah, dan ambil beberapa foto—kami pulang dengan tangan hampa. Kipli tak bisa menarik kehadiran Mbak Rohana, pun hasil foto jepretan kami nggak memperlihatkan adanya penampakan sama sekali. Sebuah foto terdapat berkas bayangan hitam, seperti genderuwo. Namun, setelah diamati lagi, itu hanyalah batang pohon yang menyerupai suatu sosok.
Suara-suara pun riuh dari arah Fakultas Pertanian. Namun, suara-suara itu adalah suara yang berhulu dari mesin pendingin ruangan atau suara mesin-mesin lainnya—entah mesin apa. Semua terdengar alamiah lantaran kampus ini memang layaknya New York yang nggak pernah tidur. Fakultas Kedokteran Hewan pun nampak menyeramkan dengan kesepian, kegelapan, dan melankolia yang mereka hadirkan, namun nggak berhasil membawa kami bisa berjumpa dengan sosok Mbak Rohana.
Entah beruntung atau malah buntung, nasib kami nggak seperti kebanyakan kisah seram yang beredar. Sempat pula ada kisah begini; ada mobil yang melintas di bawah Jembatan Perawan, menuju ke arah Selatan lantaran waktu itu jalan belum diportal, tiba-tiba di bagian atas mobil terdengar suara seperti sesuatu yang jatuh.
“Gedebuuuk!” begitu suaranya, amat kencang. Supir mobil itu tahu mitos-mitos yang berkembang bahwa di area itu cukup mengerikan sehingga ia bablas saja. Hati dan perasaannya nggak tenang, berjalan beberapa meter, matanya menyapu ke arah spion, sang supir memperhatikan ada sosok perempuan tengah tersenyum kepadanya dengan bersimbah darah dari kejauhan.
Mencoba ritual menyanyikan Gugur Bunga di Bunderan Teknik UGM
Malam kian larut, kami bergegas ke Fakultas Teknik UGM untuk melakukan ritual utama malam itu. Waktu menunjukan pukul dua belas dini hari. Aktivitas perdemitan, katanya makin bergerak liar ketika jam menenujukan sepertiga malam.
Selain remang kota yang beririsan dengan Kabupaten Sleman, bau sangit telek burung juga tercium di indera penciuman kami. Pasca-hujan, jangan ditanya lagi gimana mambunya peleburan antara telek burung dan aspal jalan dekat Fakultas Teknik UGM, tempat kami berdiri saat itu, yang demi apapun mambunya membuat bulu kuduk saya meremang hebat. Mak hmmmbrrrr rasanya.
Ya, harap maklum. Di sana, tepat di atas kami, pohon-pohon besar sekitar Fakultas Teknik dan Fakultas Biologi UGM, acap kali jadi tempat leren puluhan jenis burung. Mereka mendarat di tetangkalan, mendekam, dan tentu saja nelek setelahnya. Nggak hanya di sekitar Arboretum UGM saja, pinggiran Jalan Teknika juga pating sembribit mambu tahi burung.
Kalau ada telek burung, berarti ada juga penghuninya—yakni burung-burung itu sendiri. Sama seperti burung, adanya isu hantu di sekitar Bunderan Teknik, berarti ada juga hantu di sana. Gitu, sih, kata orang. Benar, Bundaran Teknik yang selalu penuh dengan misteri dan asumsi tentang hantu di UGM yang berkelindan dalam benak banyak orang. Dan malam ini kami mencoba membuktikan.
Ibarat menyibak kabut, Bunderan Teknik ditutupi dengan pekatnya. Katakan lah isu dosen yang diculik di tempat ini, adanya dimensi lain yang berkutat di sekitarnya, hingga penunggu-penunggu tak kasat mata yang sering dilaporkan mengganggu pengguna jalan.
“Aku melihat mbak-mbak baju putih, sedang ngawe-ngawe, mau aku samperin, kok kakinya nggak napak,” ujar salah satu narasumber yang sudi berbagi kisahnya seputar misteri Bunderan Teknik kepada saya.
Kami pun bergegas, pagi makin buta. Ketika kami ndeleh motor dan bersiap mendekati Bunderan Teknik, angin mak sliwer menderu tubuh kami. “Haseeem!” kata Kipli. Badannya bergetar, ia buat-buat, namun dingin yang dirasakan, sudah pasti nyata adanya. Setelah angin datang, lantas Dzul berteriak, “Huaaaaaa!”
Sontak, kami—saya dan Kipli—langsung menuju sumber suara. Takutnya Dzul kesurupan atau apa.
“Huaaaaaa!” begitu teriak Dzul ketika kami hendak mendekat ke arah Bunderan Teknik.
“Opo, jancuk?” sambut saya secara spontan. Takutnya, Dzul kerasukan arwah walang atau malah arwah penasaran dari hantu kelabang.
“Ronaldo ngegolke, Nyuk!” begitu teriak lanjutannya ketika jalan mulai sepi dan beberapa bapak pengayuh becak yang tengah istirahat melihat ke arah kami. Dzul memang fan Manchester United, namun teriakannya kali ini kok ya rasanya bajingan sekali. Dan memang benar, Ronaldo ngegolin saat kontra Young Boys dalam ajang Liga Champions. Bukan iri Ronaldo ngegolin lantaran saya fan Liverpool, melainkan karena mak tratap selebrasi Dzul bikin saya deg-degan setengah modyar.
Kami pun mencoba satu hal yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang penasaran sama Bunderan ini. apalagi jika bukan mengitari bunderan ini tiga kali sambil nyanyi lagu Gugur Bunga. “Bukan maksud menantang, tapi coba membuktikan korelasi di antara dua hal tersebut,” begitu kata Kipli.
Menurut Gada (24), orang yang pernah merasakan hal ganjil setelah menjalankan ritual tersebut, ia nggak melihat sosok hantu atau makhluk astral lainnya. “(Aku seperti) disesatkan dan berasa masuk dimensi lain,” katanya.
Gada berujar bahwa jika dinalar, jika mereka masuk melewati Jalan Grafika, maka mereka akan bersua dengan Tugu Fakultas Teknik. “Tapi ini enggak, malah njedul lagi ke Bunderan Teknik dan Pascasarjana dari arah Jalan Teknik Selatan. Alias dari arah kami datang tadi,” kata Gada.
Kali ini saya, Kipli, dan Dzul mencoba hal serupa. Setelah bernyanyi Gugur Bunga nanti, Apakah kami akan bernasib malang seperti Gada? Atau justru ada sosok hantu yang muncul di hadapan kami? Dengan hati yang deg-degan, melihat wajah Kipli yang spaneng dan katanya, sih, hawa-hawanya masih normal, kami mulai bernyanyi;
Betapa hatiku takkan pilu
Telah gugur pahlawanku
Betapa hatiku takkan sedih
Hamba ditinggal sendiri
Siapakah kini plipur lara
Nan setia dan perwira
Siapakah kini pahlawan hati
Pembela bangsa sejati
Telah gugur pahlawanku
Tunai sudah janji bakti
Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti
Sembari bernyanyi dengan lirih, saya melihat ke bagian dalam bunderan ini. Nampak Selokan Mataram berarus sedang walau sore hingga malam tadi, area ini diguyur hujan deras sekali. Selokan Mataram atau yang memiliki nama lain Kanal Toshiro ini merupakan hasil lobi Sri Sultan Hamengkubuwono IX agar para penduduk terhindar dari romusa.
Menurut Wahyudi Septyanto, alumni D-3 Teknik Mesin dalam menjawab sebuah pertanyaan di Quora mengisahkan, “Dulunya area UGM (dan UNY, karena sebelahan), adalah basis markas para pejuang kemerdekaan. Areanya dikenal dengan nama Bulaksumur. Jadi, bulak itu hutan dan emang sih katanya dulu di hutan itu ada sumurnya, makanya disebut itu (Bulaksumur, red). Dan pada perang kemerdekaan, tempat itu dijadikan basis para pejuang untuk bergerilya.”
Kipli menggeleng-gelengkan kepala. Ia berkata bahwa banyak kekuatan yang mendekat ke arah bunderan ini. “Tenang aja, nggak masalah,” katanya. Dzul yang sibuk dengan ponselnya lantaran sedang mengamati live score MU, hanya merasakan tenggorokannya tiba-tiba sakit, selain itu masih dalam batas yang aman.
Lagi-lagi, kami—entah—bernasib malang—atau malah beruntung karena nggak diganggu penunggu sana, ya? Kami nggak diganggu, nggak juga masuk dalam sebuah pusaran waktu yang dialami oleh Gada. Takut dianggap gila oleh bapak-bapak pengayuh becak—atau malah dikira sedang melakukan pesugihan—kami memutuskan pulang.
Sebelum pulang, Kipli berkata bahwa lagu nasional memang selayaknya dinyanyikan secara hormat. “Untuk mengenang jasa pahlawan saja, nggak perlu untuk ritual manggil hantu,” katanya. Namun, banyak juga cerita yang beredar bahwa kejadian menyeramkan terjadi malahan ketika sudah pulang ke indekos atau rumah masing-masing.
Setelah nihil hasil tak berjumpa dengan hantu di UGM yang kami cari, jam sudah menunjukan pukul dua pagi, Kipli pulang sendiri dengan motornya dan saya harus mengantar Dzul. Kami bergegas ke Jalan Kesehatan. Mata saya amat berat, namun saya harus membelah Jogja guna sampai ke Bantul. Dingin tentu saja dominan dan seperti mengiris tulang belulang saya secara lugas. Kaki Dzul mbregeli dan itu amat terasa ketika memboncengkan dirinya.
Di area jalan dekat RSUP Dr Sardjito, saya mengerem motor saya perlahan. Saya menganggukan kepala. Setelah itu gas pol banter lagi. Di daerah Kotabaru, Dzul menyenggol saya seraya berkata, “Kamu tadi manthuk sama mbah-mbah yang nyeberang jalan, ya?”
Saya menganggukan kepala. Saya melihat ke spion, wajah Dzul pucat pasi dan saya yakin itu bukan karena MU kalah mengenaskan ketika melawan Young Boys. “Lho, kenapa, Dzul? Kalau kita sama-sama lihat, kan, berarti aman? Bukan demit, tho?”
“Cuma lihat mbah-mbah nyebrang jalan?”
“Ha wong jalanan itu super nyenyet, jhe. Memang ada siapa lagi?” kata saya.
“Modyar!” umpat Dzul. Ia berkata bahwa di seberang jalan, ketika motor saya rem secara perlahan, ia melihat ada dua suster bermuka pucat yang sedang membawa infus. “Ngapain mereka bawa infus? Kenapa wajahnya pucat sekali?” saya hanya menelan ludah. Motor Scoopy saya terpaksa melaju lebih cepat dari biasanya.
Ternyata, ada satu mitos lagi yang kami lupakan, dan kebetulan malah mitos ini lah yang paling menyeramkan di Kampus Biru. Yakni kisah-kisah menyeramkan hantu di UGM khususnya di Fakultas Kedokteran UGM. Fakultas dengan folklore yang lebih luas, dan juga lebih menyeramkan.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Kipli, bahwa bertemu hantu itu layaknya mencari jodoh, kadang kita upayakan setengah mati untuk mencari, hasilnya nihil. Malahan kalau kita nggak niat mencari, sosok itu mak mbendunduk hadir di depan pelupuk mata kita. Seperti kalian yang sedang membaca liputan ini, contohnya. Coba tengok ke arah kiri…
BACA JUGA Tips Biar Bandmu Bisa Jalan-jalan ke Luar Negeri ala Indra Menus dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.