Pecel Puli Tempe sejatinya adalah tiga menu kuliner yang berbeda, pecel, puli, dan tempe. Ketiganya dipertemukan dalam sajian Pecel Puli Tempe Mbak Puji.
***
Minggu, 30/1/2022, pukul 15.00 WIB, suasana jalanan di kawasan Proliman, tepatnya di Jalan Poncodirjan, Genjahan, Ponjong, Gunungkidul tampak ramai. Terlihat antrean panjang di sebuah warung jajanan tradisional. Warnanya yang serba merah, membuat warung itu tampak lebih mencolok dibanding ruko di sebelah kanan dan kirinya.
Warung itu bernama Pecel Puli Tempe Mbak Puji. Lokasinya yang berdekatan dengan Proliman (persimpangan lima jalan), membuat masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan Puli Tempe Proliman. Banyaknya warung yang menjajakan aneka kuliner di sini, membuat kawasan Proliman juga dikenal sebagai pusat jajanan tradisional di Kabupaten Gunungkidul, khususnya di Kecamatan Ponjong.
Ukuran ruko Mbak Puji tidak terlalu luas, tetapi cukup setidaknya untuk dua sampai tiga meja ukuran sedang. Di atas meja, terdapat aneka jajanan khas Gunungkidul. Makanan itu ditaruh dalam sebuah nampan dan tenggok yang dilapisi daun jati. Beberapa jajanan tradisional, mulai dari pecel sayur sambal kacang, puli tempe, entho, tape goreng, tahu, hingga bakwan, tumpah ruah di atas tampah.
Meski di dalam warung tersedia meja dan kursi untuk makan, tetapi mayoritas pengunjung membeli cemilan ini sebagai oleh-oleh atau untuk disantap di rumah.
Puli dan tempe yang berjodoh
Pecel Puli Tempe Mbak Puji buka setiap sore, mulai pukul 15.00-19.00 WIB. Setiap akhir pekan, tidak sedikit para wisatawan dari luar daerah yang mampir ke warung ini untuk membeli oleh-oleh legendaris Gunungkidul ini.
Puli sendiri merupakan pacitan, camlikan, atau camilan khas Gunungkidul yang cukup familier di kalangan masyarakat. Makanan yang bentuknya mirip nasi ketan ini berbahan dasar nasi yang dipadatkan menggunakan bahan pengenyal.
Bisa dikatakan bahwa puli adalah makanan pengganti nasi. Untuk itu, sama seperti fungsi nasi, kudapan ini biasa dinikmati dengan beragam jenis lauk, seperti tempe, tahu, serundeng (kelapa parut goreng), dan aneka jenis gorengan. Kendati demikian, secara umum masyarakat Gunungkidul biasa menikmatinya dengan tempe dan pecel.
Jadi, sebenarnya, puli dan tempe adalah dua jenis makanan yang berbeda, tapi berjodoh. Namun, puli tidak akan pernah lengkap jika tidak disantap bersama tempe. Tak heran jika warga Gunungkidul kerap menyebut jajanan ini sebagai kuliner Romeo Juliet atau rong perkoro kang sajadho (dua jenis yang menyatu).
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya pesanan saya datang. Satu porsi pecel, tiga iris puli, empat tempe bacem, dan dua bakwan diletakkan di atas piring rotan yang dilapisi daun jati. Pecel itu dilengkapi dengan beberapa macam sayur, mulai dari bayam, irisan pepaya muda, kecambah, hingga kacang panjang yang diguyur sambal kacang kental di atasnya.
Pertama-tama, saya terlebih dahulu mencicipi sepotong puli tanpa tempe atau pecel. Sekali gigitan, jelas terasa sekali sensasi kenyal, asin, dan lembut saat masuk ke dalam mulut. Setelah saya santap bersama tempe, seolah kedua jenis makanan itu menjadi satu, sehingga jauh lebih nikmat, gurih, manis, dan lezat.
Kemudian saya mencoba memadukan antara puli yang disantap bersama pecel. Jujur, sebagai pecinta pecel sayur, mungkin ini menjadi salah satu pecel paling enak yang pernah saya cicipi. Selain karena sayurnya masih segar dan tidak lembek, sambal kacangnya juga terasa begitu mewah di mulut. Sensasi rasa gurih, pedas, dan sedikit manis, membuat rasa pecel milik Mbak Puji begitu lezat dan menggugah selera.
Puli juga biasa diolah menjadi kerupuk puli atau masyarakat menyebutnya dengan karak puli. Caranya, puli akan diiris tipis-tipis, lalu dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari sampai kering, dan digoreng. Sama seperti kerupuk pada umumnya, rasa karak puli juga renyah dan gurih.
“Ya, ngene Mas nek dino libur, ramai banget,” ujar Mbak Puji mengawali percakapan. Hari itu memang pengunjung sangat ramai.
Sambil mengiris jadah dan menata beberapa tempe di atas nampan, Mbak Puji yang mengenakan kaus panjang berwarna merah jambu itu, menceritakan awal mula berdiri warung pecel puli tempe miliknya.
Bisnis kuliner empat generasi
Sebelum merintis usaha sendiri, lebih dari sepuluh tahun Mbak Puji tinggal di Jakarta. Perempuan itu bekerja di salah satu pabrik garmen sepatu yang cukup terkenal. Kemudian pada tahun 2015, pabrik tempat ia bekerja pindah ke Kamboja, yang menyebabkan perempuan berusia 40 tahun itu kehilangan pekerjaan.
Tidak perlu berpikir panjang, bersama sang suami, Giri (45), Mbak Puji memutuskan pulang kampung, di desa Genjahan, Kecamatan Ponjong, Gunungkidul. Sepulang dari Jakarta, perempuan yang telah dikaruniai dua orang anak itu ikut membantu jualan puli tempe milik Mbah Tumejo.
Sejak dahulu, puli tempe di kawasan Proliman Ponjong memang sudah terkenal. Tentu saja, hal ini tidak lepas dari peran seorang Mbah Kunci yang dianggap pertama kali mempopulerkan puli tempe di Gunungkidul, khususnya di Kecamatan Ponjong. Menurut Mbak Puji, Mbah Kunci sendiri sudah berjualan puli tempe sejak tahun 1950-an.
“Awalnya buyut (Mbah Kunci) saya jualan puli tempe hanya keliling-keliling pakai gerobak kayu. Simbah sering mendatangi tontonan-tontonan, kayak layar tancep, pagelaran wayang kulit. Pokoknya tontonan tradisional,” kenang Mbak Puji.
Setelah Mbah Kunci meninggal, bisnis puli tempe diteruskan Mbah Teduh. Masih mengikuti jejak Mbah Kunci, Mbah Teduh juga sering menjajakan pecel dan puli tempe berkeliling di kawasan Proliman. Semakin lama, puli tempe trah Mbah Kunci semakin dikenal luas oleh masyarakat.
“Sebenarnya puli tempe ini usaha turun-temurun, Mas. Pertama kali dirintis oleh simbah buyut saya yang bernama Mbah Kunci. Kemudian diteruskan oleh kakek saya, Mbah Teduh. Setelah itu, lanjut ke Mbah Tumejo,” paparnya.
Mbah Tumejo sendiri merupakan anak dari Mbah Teduh atau kakak kandung ayah Mbak Puji. “Sebelumnya kan masih jadi satu sama Mbah Tumejo. Jadi, anak-anak Mbah Teduh, termasuk Bapak saya, dulunya gabung sama Mbah Tumejo,” tutur Mbak Puji.
“Tahun 2016 lalu, siwo (Mbah Tumejo) meninggal dunia. Terus saudara kandung, anak, dan cucu-cucunya pada merintis usaha puli tempe sendiri-sendiri. Saya ini termasuk generasi keempat,” tambahnya.
Cara membuat puli
Sampai saat ini, tidak ada dokumen atau catatan resmi yang menceritakan sejarah puli secara runut di Gunungkidul. Namun, menurut cerita yang beredar di masyarakat, puli pertama kali ditemukan di sini, kawasan Proliman, Genjahan, Ponjong.
Konon, dahulu puli merupakan camilan mewah yang hanya bisa dinikmati para petinggi dan orang-orang kaya. Pasalnya, rata-rata masyarakat Gunungkidul waktu itu masih mengonsumsi nasi tiwul. Untuk itu, sudah bisa dipastikan bahwa orang-orang zaman dahulu yang bisa menikmati puli tempe adalah orang-orang kaya.
Banyaknya acara upacara adat di Gunungkidul, seperti rasulan, tingkeban, gumbregan, dan jenis selamatan lainnya, membuat sega lorotan (nasi hajatan) sering tersisa. Daripada busuk dan terbuang, masyarakat biasa mencampur nasi itu dengan misonyal (bahan pengenyal nasi). Setelah diberi campuran misonyal, nasi akan dikukus, dan ditumbuk dengan alu hingga nasi menjadi padat dan kenyal.
Menurut salah seorang pegawai Mbak Puji, Sukarti (49), zaman dulu nasi sisa dicampur pengenyal nasi, dikukus, baru ditumbuk. “Kalau sekarang, dari beras langsung dicampur bahan pengenyal, dikukus, baru ditumbuk pakai alu sampai kenyal,” kata Mbak Karti yang belasan tahun sebelumnya bekerja pada Mbah Tumejo
Saat proses menumbuk olahan beras itu, setidaknya Mbak Karti membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Setelah itu, nantinya puli akan ditaruh ke dalam tampah (wadah berupa anyaman bambu), ditunggu sampai dingin, lalu dipotong-potong.
Giri, suami Mbak Puji menambahkan dalam proses pembuatan puli miliknya, mereka menggunakan bahan pengenyal nasi yang tidak mengandung boraks, sehingga aman dan layak dikonsumsi. “Masyarakat tidak perlu takut untuk mengonsumsi puli tempe milik kami, semua proses pengolahan makanan ini sesuai rekomendasi dari Dinkes. Jadi, dijamin aman dan sehat,” tambah Mas Giri.
Harga yang murah meriah
Setelah Mbah Tumejo meninggal, Mbak Puji dan suami memutuskan untuk membuat usaha puli tempe sendiri. Sementara itu, sebagian pegawai Mbah Tumejo, yang rata-rata anggota keluarga sendiri, kini ikut membantu usahanya.
Mbak Puji mengaku hanya memiliki modal Rp2 juta untuk memulai bisnisnya. Uang itu digunakan untuk membeli bahan baku puli tempe dan membuat gerobak kayu. Bersama suami, ibu, serta ayahnya, ia bertekad untuk meneruskan usaha kuliner dari simbah buyutnya.
Dengan modal pas-pasan, waktu awal merintis usaha, Mbak Puji hanya sanggup mendirikan tenda dan menggelar tikar di depan sebuah ruko kawasan Proliman. Setiap sore, ia bersama suaminya mendorong gerobak dari rumah yang jaraknya sekitar 400 meter. Dari awal berdiri, pecel dan puli tempe miliknya langsung banyak pembeli dan sampai sekarang harganya tidak pernah naik.
“Alhamdulilah langsung ramai. Masalahnya, yang dulu bekerja jadi satu sama Mbah Tumejo kan Bapak, Mamak, dan Bulik. Warung saya berdiri, otomatis mereka ikut saya,” jelas Mbak Puji.
Sementara itu, jajanan yang ia jual dulunya tidak sebanyak sekarang. Bahkan, hanya dua jenis, yaitu pecel dan puli tempe. “Sekarang nggak cuma pecel sama puli tempe, tapi banyak, kayak jadah tempe, gorengan, apem, jenang, sampai thoplek peli,” paparnya.
Dulu, Mbak Puji hanya membuat puli beberapa kilogram saja per hari. Saat ini, untuk bahan baku pembuatan puli tempe, dalam sehari bisa menghabiskan beras sebanyak 15 kg dan tempe kedelai 800 biji. Saat akhir pekan, biasanya bahan baku beras ditambah 18-19 kg dan menghabiskan lebih dari 900 tempe.
Selain itu, beberapa jajanan yang tersaji di warung tidak hanya milik Mbak Puji. Ada beberapa warga yang biasanya menitip aneka camilan ringan, seperti krecek, peyek, dan jajanan tradisional lainnya. Mbak Puji mengaku, sangat terbuka dengan warga yang ingin menitipkan dagangannya, asal berupa jajanan tradisional.
Memang tidak bisa dimungkiri, dari sekian banyak jajanan, yang paling laris adalah puli tempe. Sepotong puli dan tempe, hanya dipatok dengan harga Rp500 dan untuk harga pecel Rp2.500 per bungkus. Sampai saat ini, Mbak Puji tetap konsisten dengan harga jual dan belum pernah menaikan harganya.
“Meski minyak, terigu, dan semua bahan pokok naik, tapi saya tetep jual puli dan tempe lima ratus,” tegasnya.
Mbak Puji juga mengaku, di awal masa pandemi kemarin juga sempat mengalami sepi pembeli. Bahkan, warungnya harus tutup selama tiga minggu. Meski begitu, ia tidak pernah benar-benar kehilangan pelanggan, justru setelah itu semakin banyak orang yang membeli puli tempe miliknya.
Selain jualan di warung, Mbak Puji juga mengelola Omah Puli Tempe, rumahnya yang jadi tempat produksi makanan yang akan dijual. Lokasinya sekitar 400 meter dari tempatnya biasa berjualan. Tidak sedikit pelanggan yang langsung datang ke rumahnya untuk memesan puli tempe.
Selain untuk dikonsumsi pribadi, biasanya mereka juga memesan dengan jumlah banyak untuk acara-acara formal, seperti rapat, pengajian, arisan, dan lainnya. Bahkan, Mbak Puji kerap menerima pesanan partai besar untuk acara tertentu dari luar kota.
“Beberapa kali pernah itu, warga perantauan yang tinggal di Jakarta pesen banyak banget untuk arisan dan pengajian. Di sana kan ada IKG (Ikatan Keluarga Gunungkidul), mungkin pada kangen sama puli Proliman,” ucapnya.
Pelanggan puli tempe Mbak Puji datang dari banyak kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, Youtuber, mahasiswa, para pejabat, hingga seniman.
Bagi Mbak Puji dan Mas Giri, puli tempe bukan hanya sekedar dijadikan bisnis semata. Namun, puli tempe telah menjadi warisan kuliner khas Gunungkidul yang harus terus dilestarikan dan bisa dinikmati semua kalangan.
Mbak Puji sendiri mengaku tidak ada resep khusus dalam proses pembuatan pecel dan puli tempe miliknya. Namun, sampai saat ini, ia masih mempertahankan resep dari simbah buyutnya dan tidak pernah diubah-ubah.
“Mungkin bahan dan cara bikinnya sama kaya yang lain. Menurut saya, asal semua bahan bakunya bagus dan berkualitas, hasilnya juga bagus, gitu aja,” jelas lulusan MTs itu, Senin (31/1/2022).
***
Salah seorang pengunjung di sebelah saya juga tampak menikmati sajian kuliner lezat ini. Namanya Pak Katim (56), warga Ponjong yang mengaku sudah lama menetap di Jakarta.
“Saya baru datang sekali ke sini. Denger kabar dari teman di Jakarta, katanya puli di sini rasanya enak sekali dan murah meriah. Karena penasaran, saya mampir ke sini, dan ternyata memang enak. Pulinya kenyal dan sangat cocok dinikmati sama pecel ,” ujar Pak Katim.
“Di Jakarta kan ada namanya Pagupon (Paguyuban warga Ponjong), mereka yang selalu menyarankan saya datang ke sini. Kata mereka, pokoknya kalo pulang ke Ponjong harus mampir puli Proliman,” tambah pria yang mengenakan jaket hitam itu sebelum beranjak pergi.
Tepat pukul 16. 50 wib, pecel dan puli tempe Mbak Puji sudah ludes terjual. Hanya butuh waktu
kurang dari dua jam untuk menghabiskan jualan sebanyak itu. Tidak jarang ada pelanggan yang berniat ingin membeli, tetapi pulang dengan tangan kosong.
“Jane suk mesakne, tiwas teko seko adoh-adoh, tekan kene ora kumanan. Ning, piye maneh yo, gawe semene wae wis keteteran gek tenagane (saya suka merasa kasihan, sudah datang jauh-jauh, sampai sini nggak kebagian. Tapi mau gimana lagi, bikin segini saja sudah keteteran),” keluh Mbak Muji.
Berkat usahanya, saat akhir pekan Mbak Puji bisa meraup omset hingga Rp3. Melalui warisan kuliner tradisional ini juga, ia mampu menyekolahkan kedua anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kiat Merintis Bisnis Thrift Shop: Baju Bekas yang Bisa Berharga Jutaan Rupiah dan liputan menarik lainnya di Susul.