Desa Bowongso sudah tidak asing bagi penikmat kopi dan pendaki gunung. Desa ini merupakan penghasil kopi dengan nama Kopi Bowongso sekaligus jalur pendakian menuju puncak Gunung Sumbing. Di balik populernya nama Bowongso ada peran Sriono Edy Subekti di sana.
***
Kopi Bowongso sesuai dengan namanya dibudidayakan di Desa Bowongso. Desa ini terletak di Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Ketinggian lahan budidaya kopi ini berada di 1400-2000 meter di atas permukaan laut (mdpl) di lereng Gunung Sumbing (3371 mdpl). Kopi Bowongso berjenis arabika dengan cita rasa khasnya yang agak kecut.
Selain kopi, jalur pendakian sisi barat Gunung Sumbing juga turut andil besar dalam melanggengkan nama Bowongso di telinga banyak orang khususnya di kalangan pegiat alam bebas. Di balik populernya desa ini, ada nama Sriono Edy Subekti (43) atau kerap disapa Eed, seorang sarjana yang memilih ‘kembali pulang ke desa’ setelah menempuh pendidikan di kota besar.
Eed saya temui di kediamannya medio Desember lalu. Rumahnya sekaligus menjadi kantor dari Kelompok Tani Bina Sejahtera, kelompok yang menanam, meracik, dan menyuguhkan kopi khas Desa Bowongso. Sembari ngopi, saya berbincang dengan Eed atas rasa penasaran, bagaimana ia mampu mengangkat nama Desa Bowongso melalui terobosannya menanam kopi dan membuka jalur pendakian.
Merombak kelompok tani
Eed bercerita mengenai perjalanan kopi dari hulu ke hilir hingga bisa sukses seperti sekarang. Ia memulai nya dari alasan kenapa memilih tanaman kopi.
“Saya memilih kopi karena itu adalah saran dari Dinas Pertanian Wonosobo, waktu itu saya meminta saran ke mereka, kira-kira tanaman apa yang cocok di tanam di Bowongso dan bukan tanaman semusim,” ucapnya.
Saat itu, pada tahun 2009 Dinas Pertanian Wonosobo mengadakan sosialisasi upaya pencegahan longsor dengan tanaman kopi. Sebelum ditanami kopi lahan tersebut biasa digunakan untuk menanam tembakau dan sayuran.
Pada tahun 2010 dinas pertanian memberikan biji kopi berjenis arabika. Biji kopinya berasal dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember. Panen pertamanya sendiri terjadi pada tahun 2013. Pada tahun itu pula Kopi Bowongso menyabet juara 1 kategori uji cita rasa kopi arabika tingkat Jawa Tengah.
Diakui oleh Eed keputusan menanam tanaman kopi itu dirasa cukup tepat. Pasalnya, kondisi geografis wilayah Bowongso yang berada di ketinggian 1450 mdpl cocok untuk tanaman kopi.
Sebagai seseorang yang bukan berasal dari pendidikan pertanian, Ia sebenarnya hanya bermodal nekat saat memutuskan untuk menjalankan tanaman kopi. Saat itu Ia telah tergabung di dalam Kelompok Tani Bina Sejahtera, posisinya sebagai bendahara.
“Di pikiran saya waktu itu pokoknya yang penting belajar,” Tegasnya.
“Awal-awal mendapat bibit itu anggota kelompok tani yang mau menanam hanya empat orang, termasuk saya, yang lain lebih memilih kebiasaan lama yaitu menanam tanaman semusim seperti sayur dan tembakau.” Ungkap Eed mengenang bagaimana susahnya untuk memulai pada masa itu.
“Langkah pertama yang saya lakukan setelah menyatakan bersedia menanam kopi adalah merombak Kelompok Tani Bina Sejahtera yang memang sudah tidak berjalan efektif.”
Eed meminta Kelompok Tani Bina Sejahtera diisi oleh petani-petani muda, sehingga dapat tercipta inovasi baru. “Awalnya kelompok ini berjumlah 60 orang, tetapi karena seleksi alam akhirnya yang bertahan hanya 20 orang dan bertahan hingga saat ini,” kata Eed.
Saat memilih untuk menanam kopi, Eed sempat menerima ejekan saat berada di ladang. Hal-hal seperti ini sering terjadi, tapi sama sekali tidak membuat semangat Eed turun. Ia percaya bahwa suatu saat kopinya yang akan berbicara.
Tidak lama setelah Ia memantapkan diri menanam kopi, Eed memutuskan untuk keliling ke berbagai daerah dan belajar segala hal tentang kopi. Dari perjalanannya ini ia menemukan jawaban mengapa daerah dengan kopi terbaik tetapi kehidupan petani nya biasa-biasa saja.
“Dari beberapa tempat yang saya jumpai dengan hasil kopi yang luar biasa tetapi petaninya tidak bisa sukses masalah utamanya satu, karena pemegang dari kopi itu adalah perusahaan asing,” ujarnya,
Hal tersebut membuatnya belajar sehingga Kopi Bowongso tetap diolah dari hulu ke hilir secara mandiri oleh anggota kelompok, tidak melibatkan perusahaan besar terlebih perusahaan asing. Hingga kini Kopi Bowongso dijual satu pintu melalui Kelompok Tani Bina Sejahtera. Bentuknya roast bean dan bubuk.
Tahun 2014 Eed menjadi ketua kelompok Bina Sejahtera. Tekadnya ialah memberikan dampak yang baik bagi warga desa. Dari hasil belajarnya ke berbagai penjuru membuat Kopi Bowongso dapat dikenal secara luas dan mempunyai pasar yang pasti.
Kopi Bowongso dipasarkan dengan brand Bowongso. Dan mengusung konsep single origin atau kopi yang hanya diolah di satu kawasan.
“Pasar dari Kopi Bowongso 90% merupakan pasar rumah tangga, untuk konsumsi keluarga. Sedangkan untuk kedai atau coffee shop hanya 10%,” ungkap Eed.
Ia menambahkan: “Di era pandemi seperti sekarang ini Kopi Bowongso tidak terdampak, jumlah produksi masih sama tidak turun dan juga tidak naik.”
Kontribusi dan gagasan Eed yang membuat brand Kopi Bowongso terbukti berdampak bagi masyarakat desa. Bowongso kini menjadi sebuah desa yang terkenal kuat akan kopinya. Di sisi lain bagi anggota Bina Sejahtera telah mampu meningkatkan taraf kekuatan ekonomi mereka.
“Anggota Bina Sejahtera beberapa ada yang berhasil membiayai anak-anak mereka sampai perguruan tinggi, hanya dengan kopi,” katanya.
Penyesalan membuka jalur pendakian
Sembari menikmati kopi, Eed lantas mengalihkan pembicaraan dari kopi pada gagasannya tentang jalur pendakian via Bowongso. Jalur pendakian ini dibuka pada tahun 2007.
“Saya sebenarnya sangat mencintai kelestarian alam, tentang kopi tadi juga kan karena saya khawatir akan bahaya tanaman semusim, di samping itu sebenarnya juga saya membuat ide tentang dibukanya jalur pendakian.”
“Hal tersebut karena saya memiliki pandangan spekulatif bahwa dengan dibukanya jalur pendakian maka akan mengundang para pecinta alam untuk datang. Sehingga para pecinta alam atau pendaki ini akan memperbaiki hutan dengan cara menanam pohon,” imbuhnya.
Dan untuk merealisasikan ide tersebut, Eed sempat menyediakan bibit pohon di basecamp pendakian yang kemudian wajib dibawa pendaki dan ditanam di lokasi yang sudah ditentukan. Namun, program menanam yang diwajibkan pada pendaki itu tidak terlaksana sesuai rencana.
“Para pendaki hanya meletakkan bibitnya saja, membawa dari bawah sebagai suatu syarat bukan sebagai sebuah tanggung jawab,” ungkapnya kecewa.
Dari hal itu Eed sadar bahwa memperbaiki hutan dengan mendatangkan manusia ternyata salah. Menurutnya yang tepat adalah hutan akan memperbaiki secara mandiri dan cara manusia membantu adalah dengan tidak datang.
Ia juga menambahkan: “Saat suatu kawasan hutan dibuka untuk pariwisata maka disitu juga dibuka pintu kerusakan, pendaki gunung hanya mencari keindahan setelah itu turun, tanpa melihat dan peduli dengan kerusakan di sekeliling, memang, tidak semua pendaki, tapi sebagian besar seperti itu.”
Eed mengaku bahwa dirinya ikut terlibat dalam memulai kesalahan itu. Ia sering berpendapat jika sebaiknya jalur pendakian ditutup. Tetapi, ini akan sulit karena pendakian telah memberikan dampak ekonomi yang sangat baik bagi desa.
Hal tersebut dapat dilihat dari terciptanya lapangan kerja baru seperti penyedia jasa transportasi ke gunung, warung makan, dan penjual aneka souvenir. Eed kemudian mengusulkan agar peraturan pendakian diperketat lagi.
“Kita saring orang-orang yang hanya main-main atau memang serius mencintai alam,” ucapnya.
Di akhir sruputan kopi Ia berpesan kepada saya: “Besok jangan malu untuk pulang ke desa setelah kuliah di kota, bangun tempat yang pernah membesarkanmu dan memberimu kenangan masa kanak-kanak, tidak mustahil desa bisa bersaing dengan kota jika anak-anak terbaiknya mau kembali pulang.”
Reporter : Galih Nugroho
Editor : Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA Ibu-ibu yang Bekerja Sekuat-kuatnya di TPI Tasik Agung Rembang dan liputan menarik lainnya di Susul.