Toko jamu Babah Kuya berdiri sejak tahun 1800-an. Sudah dua abad lamanya toko ini menjalankan bisnis jamu dan ramuan herbal di Kota Bandung. Tak banyak yang tahu apa racikan kesuksesannya hingga bisa eksis sampai saat ini.
***
Walau kulit sudah kisut, semangat ‘meranjang’ tak boleh surut. Selama senjata untuk beradu tangkas masih bisa digunakan, pantang kiranya bertekuk lutut tanpa perlawanan.
Pikirin-pikiran semacam itulah yang agaknya mendorong dua pria paruh baya mendatangi Toko Jamu Babah Kuya pada Sabtu (18/12) siang. Sebentar mereka berkonsultasi, lalu membeli ramuan herbal racikan toko jamu legendaris di Kota Kembang ini.
“Cari apa, Pak,” tanya pemilik toko.
“Obat kuat. Ada?” tanya salah satu pria.
“Sama, Koh,” pria kedua menimpali.
Hendra Tanuwirja (54), sang pemilik toko, dengan cekatan mengeluarkan bungkusan ramuan berwarna abu. Ada tulisan ‘Lelaki’ pada plastik bening pembungkus. Penanda bahwa ramuan itu adalah jamu untuk memperkuat urusan ranjang pria.
Hendra lalu mendemonstrasikan cara mengonsumsi jamu. Bicaranya fasih, cepat dan tertata rapi.
Pertama, ambil jamu satu sendok agak mencung, kemudian masukkan ke dalam gelas berukuran besar, lalu diisi air panas mendidih hingga penuh. Ramuan lantas diaduk, dibiarkan hingga hangat. Setelah hangat, jamu siap untuk diminum.
Cara meminumnya tidak boleh sekaligus. Perlahan saja. Satu dua teguk berhenti, satu dua teguk berhenti, begitu seterusnya sampai habis. Bila diminum sekaligus, rasa dan aromanya terlalu kuat. Perut tidak akan siap menerima.
Serbuk ramuan yang mengambang di atas, boleh ditelan. Sisa dedak yang mengendap di dasar gelas, boleh juga ditelan. Namun, Hendra tidak menganjurkan. Lebih baik dibuang, karena rasanya terlalu kuat.
“Diminum dua kali sehari, setelah makan boleh, sebelum makan juga boleh. Tapi khusus ramuan ini, diminumnya jangan sebelum tidur, karena ada efek segar. Kalau mau, 2-3 jam sebelum tidur, boleh,” kata Hendra.
Satu pria memperhatikan dengan saksama, yang lain perhatiannya agak kabur, melirik sana-sini ke arah hamparan rempah yang memenuhi seisi toko.
Rupanya pria kedua ini adalah pelanggan tetap. Perkara cara minum jamu, dia sudah sangat paham. “Sama kayak yang kemarin, kan, Koh?” basa-basi dia bertanya.
Ramuan obat kuat memang merupakan salah satu barang yang cukup sering dicari di Toko Jamu Babah Kuya. Selain obat kuat, racikan lain yang banyak dicari adalah ramuan untuk asam lambung, diabetes dan asam urat. Pasien jenis penyakit-penyakit ini, selalu mendominasi di setiap generasi.
Saat ini, Babah Kuya ada di tangan generasi kelima.
Sejarah Babah Kuya
Babah Kuya adalah salah satu toko jamu legendaris di Kota Bandung. Pada plang toko, tertulis informasi yang menyatakan Babah Kuya telah beroperasi sejak tahun 1800-an. Penuturan Hendra, toko ini mulai dibuka tepatnya sekitar tahun 1838.
Terkait kapan persisnya Toko Jamu Babah Kuya berdiri, ada beberapa versi lain yang berkembang. Ada sumber menyebutkan Babah Kuya berdiri pada 1910. Ada juga yang mengatakan pada 1820-an toko ini sudah mulai beroperasi. Namun yang pasti, semuanya sepakat bahwa pendiri toko ini adalah Tan Sioe How alias Babah Kuya.
Pegiat Komunitas Aleut—Komunitas edukasi sejarah Kota Bandung—Ariyono Wahyu Widjajadi mengatakan perbedaan ini akibat belum banyaknya sumber literatur yang membahas Babah Kuya. Tapi dia memberi gambaran tentang sejarah kemunculan komunitas Tiongkok di Bandung. Menurutnya, mereka muncul pada kisaran tahun 1825.
Pria yang akrab disapa Alex ini menuturkan, masyarakat Tionghoa berdatangan ke Bandung untuk mengerjakan sejumlah proyek pembangunan pemerintah kolonial. Kelompok ini datang dari Cirebon, dipimpin seorang mandor bernama Babah Tan Long. Para pekerja kemudian bermukim di bagian timur Pesanggrahan, yang menjadi lokasi Hotel Preanger saat ini. Beberapa di antaranya bermukim di kawasan Pecinan Lama, yang dekat dengan lokasi Toko Babah Kuya saat ini.
Saat awal berdiri, toko obat di kawasan pecinan ini tak diberi nama. Penyebutan Babah Kuya datang secara organik dari masyarakat sekitar. Penamaan yang diberikan merujuk pada dua suku kata, yakni “Babah” yang memiliki padanan dengan kata “Abah” pada Bahasa Sunda—artinya ayah atau orang yang dituakan, serta “Kuya” yang artinya “kura-kura”.
Secara harfiah, Babah Kuya berarti ayah atau orang tua yang memelihara kura-kura. “Katanya Babah Kuya itu dulu suka melihara kuya. Jadi masyarakat sekitar ngasih julukan Babah Kuya,” tutur Hendra menerangkan asal-muasal pemberian julukan Tan Sioe How.
Penyebutan Babah Kuya terus digunakan meski Tan Sioe How tak lagi ada dan pengelolaan berpindah ke generasi setelahnya. Generasi terus berganti, nama Babah Kuya tetap abadi.
Dalam ingatannya yang agak lamat-lamat, Hendra mengenang penamaan toko Babah Kuya baru agak diformalkan sekitar setengah abad yang lalu, lewat plang nama yang dipasang di bagian depan toko.
“Kalau gak salah itu baru dikasih plang nama toko waktu saya kecil. Waktu saya TK seingat saya. Sekarang saya udah 54 tahun. Haha,” terang Hendra sambil terkekeh.
Tak banyak yang berubah dari toko jamu ini dari semenjak ia berdiri hingga sekarang ini. Luas dan letak toko yang berada di Jalan Pasar Barat Nomor 44 Kota Bandung ini masih tetap sama. Bahan herbal yang dijual pun masih sama seperti temulawak, kunyit, jahe, kapulaga, alang-alang, selasih, daun kelor, bidara, tempuyung, kumis kucing, empon-empon, dan sejenisnya.
“Tapi tetap mengikuti perkembangan. Kalau ada penelitian baru, saya bikin dan coba sendiri ramuannya,” katanya. Hendra mengatakan, dia akan mengonsumsi terlebih dahulu tanaman atau rempah yang direkomendasikan temuan beragam literatur anyar. “Saya makan, dikunyah mentah.” Bila dirasa ada efek samping bagi tubuh, Hendra pantang menjual.
Saat awal virus korona baru menyergap, racikan ramuan kekebalan tubuh Babah Kuya sempat menjadi primadona. Hendra mengandalkan bahan-bahan seperti temulawak, kunyit dan sambiloto untuk membuat ramuan itu. Tokonya makin laris manis diburu pembeli.
Rempah untuk bumbu masak
Beragam tanaman herbal yang ada di Toko Babah Kuya tidak hanya difungsikan sebagai obat herbal. Beberapa di antaranya diperjual-belikan sebagai bahan bumbu masak. Seperti halnya jamu, bumbu masak ini disediakan dalam bentuk satuan tanaman semisal kayu manis, jinten hitam, kunyit, jahe, kapulaga, ketumbar, cengkeh, merica dan lainnya.
Disediakan pula racikan bumbu dalam bentuk jadi, semisal bumbu gulai, semur, nasi tumpeng, kari, bandrek hingga chinese food.
Seperti halnya racikan jamu, rempah bumbu ini juga mempunyai peminat tetap. Salah satu di antaranya ialah Sri Mulyani (53). Ia merupakan pemilik usaha Gerobak Budhe Ndut yang berada di bilangan Pasteur.
Sri mengatakan, ia mulai menjadi pelanggan tetap Babah Kuya sejak usaha kulinernya itu dimulai pada 2015 silam. Alasan memilih Babah Kuya, lantaran ia percaya toko ini punya kualitas rempah yang mampu mengundang pembeli.
“Dari awal buka usaha saya udah beli bahan buat bumbu di sini. Saya beli bahan-bahannya aja. Bumbunya diracik sendiri. Sekarang saya udah ada enam karyawan. Alhamdulillah banyak yang suka,” tutur Sri Mulyani.
Gerobak Budhe Ndut menjual lontong kari sebagai menu utamanya. Bumbu kari yang kental dengan aroma rempah yang kuat menjadi daya tarik utama lontong kari bikinan Sri Mulyani.
Walaupun Babah Kuya juga menjula rempah untuk bumbu masak tetapi menurut Hendra pemasukan utama Babah Kuya paling besar berasal dari konsumen rempah obat. Hitungan kasarnya, sekitar 90 persen pembeli datang mencari obat.
Bukan bisnis biasa
Babah Kuya sudah melayani warga hampir dua abad lamanya. Namun dalam rentang waktu yang panjang tersebut, tak ada satupun cabang toko jamu legendaris ini. Pelanggannya memang kebanyakan berasal dari Bandung. Tapi distribusi jamunya sudah sampai menyentuh seantero Indonesia, bahkan sejumlah negara tetangga. Sebelum korona mewabah, turis Eropa dan Asia juga cukup sering menyambangi Babah Kuya.
Sebetulnya, ada toko Babah Kuya yang lain. Tapi itu bukan cabang. Namanya: Babah Kuya Indonesia. Bangunan toko ini berjarak sepelemparan batu dari toko Hendra. Babah Kuya Indonesia dikelola oleh Memey Maria Heryati. Memey adalah sepupu Hendra.
Bangunan toko Memey nampak lebih modern. Penuturan Hendra, toko itu mulai beroperasi pada kisaran 1990-an. Sama dengan Toko Jamu Babah Kuya, Babah Kuya Indonesia menjual beragam rempah untuk obat dan bumbu masak. Dua-duanya tak pernah sepi dikunjungi pembeli.
Harga rata-rata jamu yang dijual yaitu 50 ribu/ons. Satu plastik jamu biasanya berisi satu ons. Rata-rata jamu tersebut dikonsumsi dua kali sehari. Jamu seharga 50 ribu, bisa digunakan untuk konsumsi hingga enam hari. Terdapat lebih dari seratusan herbal yang dijual. Kebanyakan dari Pulau Jawa, ada juga yang dari Kalimantan atau luar negeri seperti Tiongkok, India dan Timur Tengah.
Tak cuma jualan tanaman herbal, Babah Kuya juga memberikan layanan konsultasi kepada para konsumen. Karena itu Hendra mengatakan bisnis yang dijalankan Babah Kuya ini agak khusus. Untuk menjalankan peran laiknya ‘tabib kilat’ ini, perlu pengetahuan dan pengalaman yang tidak bisa begitu saja dipercayakan kepada sembarang orang.
Kekhususan inilah yang membuat Hendra tak mau ambil risiko. Jika ia memaksakan diri untuk membuka cabang, ia khawatir kualitas pelayanan tidak terjaga. Layanan konsultasi ini baginya amat penting dan terbilang sebagai inti bisnis Babah Kuya.
“Jadi di sini kita enggak cuma jualan obat. Orang yang datang ke sini keluhannya macem-macem. Kita harus tau dulu keluhannya apa, kebutuhannya apa. Kalau sampai salah, kan, itu bahaya.”
Selain itu, Hendra juga mengaku sudah cukup kewalahan dengan berjubelnya konsumen yang datang ke tokonya setiap hari. Saat Mojok berkunjung Babah Kuya pun, Hendra tak pernah memiliki waktu luang barang lebih dari satu menit. Pembeli terus-menerus datang dari semenjak toko buka pukul 9 pagi hingga tutup jam 4 sore.
Hendra mafhum ada lebih banyak khalayak di luar sana yang membutuhkan, sekaligus dapat menjadi konsumen baru Babah Kuya. Namun ketimbang membuka cabang, Hendra lebih memilih memanfaatkan layanan pemesanan daring untuk memperluas sayap bisnisnya. Salah satu alasannya, agar dia juga bisa memberikan layanan konsultasi terpusat.
Sudah lebih dari satu dekade ini Babah Kuya melayani pesanan daring. Hendra mulai membuka layanan pesanan ini sejak era boom BlackBerry Messenger, dan terus berlanjut hingga saat ini dengan menggunakan layanan perpesanan WhatsApp.
“Sekarang aja udah lumayan kewalahan dengan WhatsApp. Emang, sih, kadang capek. Untungnya juga gak seberapa. Tapi kalau pelanggan sembuh, bahagianya luar biasa. Gak bisa ditukar dengan uang,” katanya.
Ditanya apakah akan merambah layanan dagang e-commerce, Hendra mengaku belum kepikiran. Tapi ia masih membuka kemungkinan. Kewalahan masih menjadi ganjalan utama, meski ada empat pegawai yang rutin membantunya. Lagi pula, Hendra sudah merasa puas dan cukup diri dengan yang dimiliki Babah Kuya saat ini.
“Sekarang, mah, selow aja dulu. Enggak ada ambisi gimana-gimana. Filosofinya seperti kuya. Selow,” tutur Hendra.
Filosofi selow seperti kuya ini memang begitu terasa di Toko Babah Kuya. Tak ada barang-barang atau ikon yang disakralkan di dalam toko yang telah diakui legendaris ini, termasuk dua kura-kura awetan dan foto Babah Kuya yang tergantung di dinding.
“Semua cuma hiasan saja. Enggak ada yang sakral. Fleksibel,” kata Hendra.
Kemasyhuran Babah Kuya ini beberapa kali dimanfaatkan tukang tipu yang memasarkan produk atas nama Babah Kuya, dari mulai menjual produk obat gigi kapsul hingga menawarkan jasa pijat keliling dengan menyertakan embel-embel Babah Kuya.
Bukannya ogah berbagi ceruk rezeki, ia khawatir bila nama Babah Kuya digunakan penipu, bukan konsumen saja yang berisiko terkena dampak negatif obat, namun juga nama Babah Kuya akan tercemar.
Hendra sebetulnya tidak mempersoalkan jika ada orang lain yang menjual ulang ramuan racikannya. Asalkan, tidak menggunakan nama Babah Kuya. Penuturannya, sudah cukup banyak pedagang lain yang menjual produk Babah Kuya dengan merek dagang sendiri.
“Bahkan sebelum ada Covid ini, ada yang rutin beli dari Malaysia. Setiap dua minggu, beli bahan 10 kilo. Mereka jual lagi di sana dengan harga yang berbeda. Saya terbuka saja asalkan jangan menggunakan nama Babah Kuya,” tutur Hendra.
Tentang khasiat jamu Babah Kuya yang diklaim mengundang kesembuhan, beberapa pelanggan yang datang menunjukkan hal itu. Setidaknya atas pengakuan mereka.
Hendra beberapa kali melayani pelanggan dengan raut yang ia kenali, bertanya hendak mencari apa gerangan. Seorang pelanggan menjawab ia hendak membeli ramuan untuk kista. Lalu Hendra bertanya, “tipesnya gimana?”. Ia menjawab “udah enggak.”
Lain waktu pelanggan lain mencari ramuan asam lambung. Dengan sukarela dia berkata “ambeiennya udah. Tinggal asam lambung masih kerasa.”
Suksesi bisnis
Bisnis Babah Kuya telah merentang lima generasi. Bukan suatu yang mudah memanjangkan umur bisnis keluarga hingga sanggup bertahan dua abad. Nyatanya, toko ini masih tegak berdiri, tanpa memperlihatkan bumbu-bumbu drama yang tak sedap dipandang mata.
Bagaimana suksesi pengelolaan Babah Kuya dilakukan? Siapa yang berhak menjadi pewaris di setiap generasi?
Dari generasi pertama hingga Hendra, kendali bisnis selalu diwariskan kepada para lelaki. Kata Hendra, ini adalah tradisi keluarga. Berdasarkan tradisi, pewarisan usaha dilakukan dengan menunjuk anak laki-laki pertama di keluarga.
“Kalau yang sulungnya perempuan, dipilih anak laki-laki paling tua. Kalau perempuan, ikut gimana suaminya,” terang Hendra.
Bila anak pria tertua tidak mau, maka yang dipilih adalah adiknya.
Hendra menuturkan sistem suksesi ini akan ia lanjutkan untuk meneruskan pengelolaan Babah Kuya pada generasi selanjutnya. Kebetulan, Hendra hanya memiliki putra tunggal. Dialah yang nantinya akan ditunjuk menjadi penerus pengelola Babah Kuya generasi keenam.
Proses regenerasi ini relatif stabil menurut Hendra. Salah satu alasannya, karena bisnis Babah Kuya dinilai tidak besar-besar amat. Di sisi lain, kondisi bisnis yang tidak besar-besar amat ini juga mendorong para calon pewaris mencari peruntungan karir atau usaha lain, tak terkecuali Hendra.
Semasa muda, Hendra lumayan getol mencari-cari peluang usaha lain. Saat ini pun ia sebetulnya memiliki usaha dagang di luar Babah Kuya. Hendra berdagang rempah dan kebutuhan sehari-hari di Jalan Waringin sejak tahun 1990-an. Toko tersebut saat ini dikelola istrinya.
Kondisi yang sama juga dialami anak tunggal Hendra. Statusnya sebagai calon pewaris tunggal, tak menghalanginya mencari peluang-peluang usaha lain. Hendra tak mempersoalkan hal itu. Baginya itu merupakan sesuatu yang wajar belaka. Hendra santai saja, sebab ia percaya pada waktunya pewaris Babah Kuya akan mengemban tugas juga.
“Itu wajar. Namanya anak muda. Kalau udah waktunya, nanti juga jalan sendiri,” ujar dia. Toh, buktinya sampai saat ini Babah Kuya masih tetap ada. Dan lagi, Hendra juga sudah mengajari beragam rupa hal-ihwal tentang rempah obat kepada calon penerusnya itu. Ia percaya saja kalau Babah Kuya akan tetap ada.
Babah Kuya dalam lintasan sejarah pengobatan
Keberlangsungan usaha jamu Babah Kuya yang berumur panjang, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh konteks zaman yang melingkupinya. Saat ini, Babah Kuya masih terbilang masih berjaya lantaran orang-orang tetap percaya pada keandalan obat-obatan herbal. Pun di masa lalu, saat generasi ke belakang merintis bisnis.
Pengobatan ala medis modern yang lazim dikenal saat ini belum banyak berkembang di masa-masa awal Babah Kuya membuka bisnis. Pada kisaran abad 19 dan 20-an awal, pengobatan herbal dan kebatinan memiliki banyak peminat, di luar pengobatan medis modern yang dikenal belakangan.
Salah satu bukti diminatinya pengobatan kebatinan adalah sohornya Raden Mas Panji Sosrokartono sebagai Dokter Cai di Bandung. Dia membuka praktik pengobatan dengan memberi air putih dan tulisan huruf alif yang didoakan pada kisaran tahun 1930-an.
Sedangkan salah satu pusat medis modern di Bandung baru didirikan di kisaran awal tahun 1900-an. Fasilitas kesehatan itu adalah Rumah Sakit Lama yang berada di Oude Hospital Weg (Jalan Lembong kini).
Pengobatan modern berkembang setelah pemerintah kolonial membuka sekolah-sekolah kesehatan untuk mantri pribumi di awal 1900-an, sebagai upaya mengantisipasi wabah kolera dan sampar yang kala itu merebak.
Kendati pengobatan modern mulai dikenal, aksesibilitasnya masih terbatas bagi orang-orang Eropa. Sementara masyarakat pribumi yang kere tidak memiliki akses. Mereka juga masih menaruh kecurigaan terhadap praktik pengobatan modern yang terbilang baru itu.
“Yang sebelum-sebelumnya bagaimana pengobatannya, kalau boleh menduga-duga, mungkin buat orang pribumi lebih ke tradisional. Mereka enggak begitu terlalu mengenal pengobatan modern,” kata Alex.
Jejak keakraban masyarakat dengan tanaman herbal juga bisa dilihat dari sejumlah artikel Volksalmanak Soenda terbitan Balai Pustaka kala itu, yang kebetulan beberapa edisinya terbit di tengah penyebaran wabah sampar.
“Suka ada artikel tentang manfaat tumbuhan buat penyembuhan. Artikel-artikel tentang penyakit dan juga penyembuhannya,” urai Alex.
Lainnya, masyarakat Sunda punya kebiasaan memakan dedaunan sebagai lalapan. Alex melihat hal ini sebagai bentuk lain dari adanya keterkaitan masyarakat dengan alam.
“Ada kebiasaan orang Sunda makan lalap. Secara tidak sadar orang Sunda itu memakan tumbuhan-tumbuhan yang mengandung vitamin tertentu, yang tanpa disadari mengandung unsur buat terapi,” kata dia.
BACA JUGA Kisah Anjing Setia dari Erupsi Semeru, Mirip Hachiko Jepang liputan menarik lainnya di Susul.
Reporter: Hengky Sulaksono
Editor : Purnawan Setyo Adi