Awalnya suasana wawancara saya dengan narasumber yang satu ini terasa kaku. Bagaimanapun saya segan untuk guyonan, seperti yang biasa saya lakukan pada narasumber-narasumber lain. Frasa ‘Cucu Sultan’ yang biasanya dijadikan ledekan tidak mungkin saya jadikan bahan gojekan karena yang duduk di depan saya ini merupakan cucu sultan beneran. Cucu tertua dari Sultan HB X, Raja Keraton Yogyakarta. Nama lengkapnya Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo.
“Mas, njenengan pernah makan di angkringan mboten?” tanya saya.
“Lah sering Mas, cah De Britto kok ora nang angkringan, dikucilkan,” katanya tertawa.
“Mas, njenengan pernah misuh mboten?” tanya saya dengan nada pelan.
“Kerep Mas! Yo lumrahe uwong Mas,” katanya tak bisa menahan tawa.
Saya menghembuskan nafas lega. Alhamdullilah. Puji Tuhan. Sosok di depan saya, mau orang menyebutnya sebagai pangeran, cucu sultan, atau cucu raja, nyatanya menyatakan dirinya sebagai lumrahe uwong, seperti manusia pada umumnya. Itu mengendorkan rasa tegang saya.
Anak muda kelahiran bulan Juni 1994 ini mengaku, lebih menyukai suasana yang informal dan santai. Angkringan merupakan salah satu tempat ia bisa dengan bebas menggunakan celana pendek dan sandal jepit. Di tempat itulah ia mendengar berbagai celotehan orang, termasuk tentang kakeknya.
Privilese dan kenakalan cucu sultan
Selepas menyelesaikan pendidikannya di SMA De Britto atau JB, ia pergi ke Inggris untuk menempuh studi S1 dan S2 di negerinya Mr Bean itu. Gelar sarjana ia dapat dari University of West of England tahun pada tahun 2017 sedang master ia rampungkan di King’s College University tahun 2020. Keduanya untuk Jurusan Hubungan Internasional.
“Angkringan itu salah satu tempat yang pertama kali saya datangi selepas kuliah. Cara untuk connect kembali dengan Jogja ya ke angkringan,” kata Marrel. Ia kerap bermain ke rumah teman-temannya, dengan menggunakan celana pendek, sandal jepit, nongkrong di angkringan dengan warga sambil ngopi. Memang ada yang tahu kalau dia cucu sultan, tapi ia justru lebih suka orang-orang tidak tahu latar belakang keluarganya, sehingga obrolan dan atau uneg-uneg akan lebih nyantai. “Lebih loooos,” katanya.
Sebagai cucu sultan, Marrel merasa dirinya tidak punya privilese yang gimana-gimana. Bahkan waktu di SMA, privilese itu justru jadi bahan ledekan teman-temannya. “Ya biasanya mereka bercanda, ‘nggih ndoro..nggih ndoro,” kata Mas Marrel menirukan gerakan teman-temannya yang seolah-olah menyembah.
Di De Britto, semua murid dianggap sama. Tidak ada pengkotak-kotakan atau pengistimewaan. Sebagai sisiwa, hampir saja dia dikeluarkan karena ‘bodo’. Di semester pertama, nilai-nilainya jeblok. Sehingga di semester dua, ia harus rela rambutnya dipangkas hingga gundul dan memakai seragam sekolah. Itu adalah konsekuensi yang harus ia terima sebagai murid dengan nilai di bawah rata-rata. Untungnya di semester berikutnya ia mampu memperbaiki nilai-nilainya.
Justru gara-gara label cucu sultan, ia bukannya mendapat keistimewaan, tapi justru hukuman dari pamong di JB. Gara-garanya, ia terlambat datang ke sekolah. Itu adalah pengalaman pertamanya datang terlambat. Biasanya untuk orang yang datangnya terlambat dan jumlah keterlambatannya sedikit, akan diberi hukuman untuk membersihkan sebagian kecil ruangan.
Namun, oleh salah seorang pamong ia justru diminta membersihkan semua ruangan kelas. “Putune sultan kok telat, sekarang bersihkan semua ruangan. Kapan meneh merintah cucunya sultan,” kata Marrel menirukan suara pamongnya.
Bagaimanapun, masa-masa di JB adalah salah satu bagian perjalanan hidupnya yang menyenangkan. Saat SMA Marrel hobi bermusik. Ia pernah ngamen di warung-warung kaki lima. Kegiatan iseng itu memberikan perspektif berbeda untuk melihat realitas.
“Apa hal yang paling nakal dilakukan Mas Marrel?” tanya saya.
“Dolan terus, ra tau mulih, Mas. Kalau nggak ke rumah teman, ya nongkrong di burjonan,” kata putra dari GKR Condrokirono ini tertawa. Karena dolan sampai malam, ketika sampai rumah, semua orang sudah tertidur. Sehingga meski tinggal di komplek keraton, pada saat itu ia jarang bertemu dengan anggota keluarganya.
Marrel merasa diberi kebebasan oleh keluarganya dalam bertindak maupun bergaul. Namun, karena kebebasan itu justru ia merasa memiliki tanggung jawab yang harus dijaga. Hal itu juga yang ia rasakan selama sekolah di SMA JB. Siswa-siswanya diberi kebebasan untuk belajar apa saja dan menggunakan pakaian apa saja. Namun, begitu bodo, harus berpakaian seragam dan digundul. “Artinya sebebas-bebasnya kita, kebebasan itu dibatasi juga dengan kebebasan orang lain,” katanya.
Hidup hemat di luar negeri
Selama 6 tahun, Marrel meneruskan pendidikan di luar negeri. Itu juga merupakan pilihannya. Sama seperti waktu di SMA, Marrel juga merasa tidak memiliki privilese. Ia juga belajar untuk mandiri dengan tinggal di kos-kosan. Oleh keadaan, ia juga harus hidup hemat.
“Sebentar, cucu sultan harus hidup hemat?” goda saya.
“Bener Mas, di awal-awal saya harus belajar masak, karena itu merupakan cara paling mudah untuk berhemat,” katanya meyakinkan. Bukan saja belajar masak, Marrel juga kerja sampingan. Ia pernah bekerja di kampusnya, menjadi orang yang memegang papan penunjuk ruangan saat ada tur mahasiswa baru.
“Tugasnya pegang papan penunjuk ruangan, berdiri selama 5 jam. Tapi honornya lumayan, bisa buat makan sebulan,” kata cowok bertinggi 180 cm ini.
Jika di kampusnya ada simposium atau seminar, itu juga kesempatan mencari tambahan uang jajan. Ia bersama mahasiswa lain akan bekerja untuk menata kursi. Honornya juga lumayan.
Karena keadaan untuk berhemat itu juga, Marrel kemudian bisa memasak. Paling mudah menurutnya adalah masak pasta. Alasannya itu yang paling murah. “Pernah karena pingin ngirit, saya dua bulan cuma makan pasta dengan lauk tuna kalengan, itu makanan paling murah di sana,” katanya.
Sebagai anak muda, godaan nongkrong bersama teman-teman kerap datang. Kalau Marrel menuruti keinginan teman-temannya, maka ia membayangkan isi dompetnya akan menyusut drastis. Untuk mengakalinya, ketika ada teman-teman yang mengajak nongkrong di cafe, ia akan meminta mereka untuk nongkrong saja di tempatnya. “Ngumpul di tempat saya saja, engko aku masak wis,” kata Marrel terbahak. Trik itu membuatnya bisa berhemat.
Soal berhemat ini, sebenarnya ada hubungannya dengan hobi yang digelutinya di Inggris, yaitu balap gokart. Di Inggris ada kejuaraan nasional balap gokart antar universitas. Saat itu universitas di mana Marrel kuliah tengah melakukan pembukaan pendaftaran baru. Merasa bisa mengenderai gokart, Marrel iseng mendaftar.
Tidak disangka, ternyata kecepatan gokartnya bahkan melebihi pembalap profesional yang ada di situ. Ia sendiri sebenarnya hampir pulang ke kos karena tidak mengira akan diterima. Bahkan saat namanya disebut, ia tidak ngeh. Sampai kemudian ada yang menepuk pundaknya. “Itu namamu dipanggil, kamu menang,” kata orang itu. Orang itu sendiri menduga, kalau nama itu milik Marrel karena dia satu-satunya orang Indonesia di situ, serta namanya paling aneh dan panjang.
Marrel sendiri sebenarnya nggak tahu kalau dia sampai mecahin rekor. Berikutnya ia diminta bergabung dengan klub balap tersebut selama kuliah di Inggris. Nah, biaya untuk menggeluti hobinya itu yang kemudian membuatnya harus hidup hemat.
“Saya ingin hobi balap saya tidak membebani siapa pun, karena ini pilihan saya sehingga saya harus bertanggung jawab, caranya adalah dengan berhemat dan kerja sampingan,” kata Marrel yang mengatakan hobi balapnya menurun dari ayahnya yang juga jago balap. Sejak kecil, Marrel oleh keluarganya dikenal hobi nabung. Bahkan untuk hobi balapnya, ia mengibaratkan rela tidak beli baju baru, atau tidak makan tiga hari agar uangnya bisa ia gunakan untuk balapan
Keluarga sendiri tahu kalau Marrel berhemat. “Saya dikatain pelit terhadap diri sendiri. Saya hanya ingin bertanggung jawab terhadap apa yang saya pilih, tidak membebani orang lain karena hobi saya,” kata cowok yang salah satu mottonya, harus pe-de, tapi nggak boleh ge-er. Hobi melibas sirkuit juga ia pilih sebagai cara untuk membangun skill balapnya.
Anak muda dan budaya
Di Inggris, teman-temannya tidak tahu kalau dirinya merupakan cucu Sultan HB X yang juga Gubenur DIY. Baginya itu tidak penting. Ia memegang prinsip dari kakek buyutnya, Sultan HB IX, yang saat dinobatkan sebagai raja pada tahun 1940 pernah menyatakan, “Saya memang berpendidikan barat, tapi tetap orang Jawa.”
Marrel merasa tidak perlu untuk berkoar-koar siapa dirinya. Orang akan melihat dari sikap dan kesehariannya, tingkah lakunya serta karakternya sebagai orang Jawa. Ia memegang akar budaya itu dalam pergaulan selayaknya tata krama Jawa dijalankan dalam keseharian.
Teman-temannya yang justru kemudian tertarik untuk tahu dari mana Marrel berasal karena karakternya yang tidak keminggris. Dari cerita keseharian itu, teman-temannya tahu kalau Marrel berasal dari Jawa, orang Yogya, tanpa tahu latar belakang keluarganya.
“Sampai sekarang sebagian besar teman kuliah saya tidak tahu saya cucu sultan, paling sahabat yang tahu. Itu juga karena dia waktu itu berlibur ke Jogja. Dia heran, kok saya bisa menjelaskan keraton dengan detail. Lah saya tinggal di situ,” katanya terkekeh.
Menurut Marrel, menjaga tradisi budaya itu bukan semata-mata harus bisa menari atau cara berbusananya yang harus pakai baju daerah. Menurutnya, hal yang penting perlu dipahami juga adalah bagaimana menunjukkan melalui karakter dan cara bersikap selayaknya dari mana ia berasal.
Ia mengatakan, Yogya itu adalah melting pot atau tempat melebur orang-orang dari berbagai daerah, berbagai negara, berbagai generasi dan usia. Orang-orang itu datang ke Yogya karena tertarik dengan budayanya. Maka orang-orang di Yogya harus memiliki pondasi kuat untuk melestarikan budaya dan tradisi yang dimiliki karena itu adalah identitas. Dan identitas itu tidak selalu dari apa yang terlihat, tapi juga dari karakter orang-orangnya.
Aktivitas saat ini, persiapan reli dan jualan daging sapi
Selepas dari Inggris, Marrel tidak melepaskan hobi balapnya. Kini bukan balapan gokart yang ia ikuti tapi reli. Ada misi yang ia usung dengan mengikuti reli ini. Prinsip hidupnya adalah bagaimana ia bisa bermanfaat orang lain. Sejak lama, ia melihat banyak potensi-potensi pembalap dari Yogya yang bagus kemudian berpindah ke kota lain karena tidak ada yang memfasilitasi.
Melalui Beagle Jogja Rally Team, ia ingin memberikan wadah bagi bakat-bakat muda di Yogya. Meski ia bisa tidak membantu secara finansial, tapi dorongan semangat itu sangat berarti bagi anak-anak muda di Yogya. Selain itu, terbentuknya tim reli di Yogya juga sebagai wujud kekuatan gotong royong yang menjadi ciri khas Yogyakarta.
Selain menekuni hobi balapan, saat ini Marrel juga tengah merintis bisnisnya sendiri. Ia berjualan daging sapi. Meneruskan usaha dari keluarga ayahnya. Ia bahkan kerap mengantar sendiri pesanan pelanggannya. Jadi jangan heran kalau kalian memesan, cucu sultan sendiri yang akan mengantarnya.
Peduli Merapi dan misi dhawuh Gusti
Akhir-akhir ini, Marrel kerap blusukan di kaki Merapi. Salah satu misinya adalah bagaimana lingkungan di kaki Merapi tidak rusak. Kembali soal budaya dan tradisi, Yogya tidak bisa dilepaskan dari Merapi. “Bukan karena saya tidak bisa menari, tapi menurut saya, menjaga lingkungan agar tidak rusak itu juga cara melestarikan tradisi, budaya,” katanya.
Ia kerap membicarakan apa yang dilihatnya di kaki Merapi kepada kakek dan neneknya. Ia cukup cerewet mengingatkan karena, kerusakan akibat penambangan pasir sangat menganggu keseimbangan alam dan mengancam lingkungan, misalnya mata air banyak yang mati. Itu juga yang menjadikannya akhir-akhir ini kerap mengikuti neneknya, GKR Hemas untuk melihat secara langsung kondisi lereng Merapi.
“Merapi itu puncak dari garis imajiner Jogja dari selatan ke utara dimana itu filosofi berdirinya Jogja dan tempat dimana keraton menjalankan tradisi dan ucap syukur terhadap Sang Pencipta dan leluhur kami, maka dari itu keseimbangan dan kelestarian alamnya harus terus dijaga,” katanya.
Menurutnya Keraton Yogya memiliki tugas untuk menjaga Gunung Merapi, mengembalikan lingkungan gunung tersebut sebagaimana mestinya sebuah gunung, mengembalikan lingkungan sebagaimana semestinya lingkungan alam.
Marrel menegaskan, keraton tidak pernah meminta proyek, meminta bagian tambang yang ada di Kaki Merapi atau bahkan memiliki tambang di kaki Merapi. “Kasusnya sama dengan hotel, orang ada yang bilang kalau hotel di Yogya itu pasti ada sahamnya milik keraton, padahal saya tahu itu tidak ada, cuma orang yang mengaku-aku,” katanya.
Selain soal misi lingkungan, ada satu misi lagi yang tengah ia kerjakan. Seperti sudah digariskan, misi ini ada hubungannya dengan jurusan kuliah yang ia tempuh dari S1 hingga S2 yaitu Hubungan Internasional serta negara yang ia pilih saat kuliah. Ia ingin ikut membantu memulangkan naskah-naskah yang diambil saat Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles menjarah lebih dari 7.000 judul naskah kuno. Naskah itu kemudian dibawa ke Inggris dan kini simpan di British Library, London, Inggris.
“Padahal dulu alasan saya ambil jurusan Hubungan Internasional, itu alasannya, yang nggak ada Matematikanya,” katanya tertawa.
Entah mengapa, keinginan untuk membantu memulangkan naskah-naskah itu seperti menemukan jalannya. Misalnya saja, ia bisa berkenalan dengan pihak di British Library. Marrel tahu, jalan untuk memulangkan naskah-naskah itu cukup panjang, tapi ia percaya, akan ada jalan dari apa yang disebutnya sebagai dhawuh Gusti.
Ada keinginan lain yang ingin dicapai Mas Marrel?
“Ingin ngekos, tapi belum dapat lampu hijau dari Ngarsa Dalem,” katanya terkekeh. (*)
*)Semua foto merupakan dokumen pribadi RM Gustilantika Marrel Suryokusumo
BACA JUGA Ari Headbang, Maniak Film dari Solo dan liputan Mojok lainnya.
[Sassy_Social_Share]