Mie Ayam Bu Tumini kini sudah dikenal jadi destinasi utama kuliner di Yogyakarta. Sejak awal penciptaannya, warung mie ayam ini ingin punya ciri khas yang manis sesuai karakter lidah orang Yogya.
***
Suasana ramai selalu nampak jika menengok cabang utama Warung Mie Ayam Bu Tumini di Jalan Imogiri Timur Nomor 187, utara Terminal Giwangan. Sejak buka hingga sore hari, deretan kendaraan terparkir di depan warung yang menyita bahu jalan. Keramaian ini kontras dengan masa-masa awal perintisan. Terminal Giwangan belum berdiri. Bahkan jalan ring road belum mengelilingi Kota Yogyakarta.
Dalam ingatan Eko Supriyanto (43), anak pertama pasangan Suparman dan Tumini, kawasan yang kini padat ini dulu masih sepi. Pemukiman tak begitu ramai. Beberapa petak sawah masih terhampar. Pohon-pohon pisang masih banyak ditemui di area-area kosong rumah warga.
Seingatnya, lapak yang hingga kini masih digunakan sebagai tempat berjualan mie ayam ini disewa kedua orang tuanya pada tahun 1990. Kala itu biaya sewanya sekitar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per tahun. Ia yang kala itu masih duduk di bangku sekolah memang sesekali turun dari Gunungkidul untuk ikut orang tuanya berjualan di Yogya.
“Dulu ada satu hal yang sering bikin ramai warung, yaitu rombongan pekerja yang berangkat dari selatan (menuju Kota Yogyakarta) dengan sepeda,” kenangnya.
Pesepeda berduyun-duyun masuk ke kota setiap pagi untuk berangkat kerja. Begitu pula di sore harinya ketika para pekerja pulang menuju rumahnya. Letak Warung Mie Ayam Bu Tumini yang berada di salah satu ‘gerbang masuk’ Kota Yogya dari arah selatan menjadi tempat singgah para pekerja yang hendak mengisi perut dengan seporsi mie.
“Jadi memang di awal-awal jualan, bukanya lebih pagi untuk menampung para pekerja yang mau sarapan ini. Tutupnya juga cenderung lebih malam dari sekarang,” tambah Eko.
Malam yang dimaksud Eko memang betul-betul hingga tengah malam. Ada masa ketika warung ini buka bahkan hingga jelang pergantian hari. Menampung para ‘pekerja malam’ di kawasan itu yang membutuhkan asupan makan. Maklum, dulu di sekitar kawasan yang kini menjadi Terminal Giwangan terdapat lahan lokalisasi.
Kawasan tersebut populer dengan sebutan Sanggrahan. Pundi-pundi uang di kawasan itu berputar 24 jam. Mie Ayam Bu Tumini sempat menjadi tempat pilihan para pekerja maupun pencari hiburan di sana untuk mengisi perut. “Tapi ya itu nggak lama, kerasa capek juga ibu jualan dari pagi sampai malam. Akhirnya maksimal buka ya sampai jam delapan malam saja,” ujar Eko.
Tak berselang lama, banyak yang berubah dari kawasan sekitar Warung Mie Ayam Bu Tumini. Lokalisasi Sanggrahan ditutup tahun 1997. Pembangunan ring road turut melebarkan ruas jalan di depan warung. Kemudian Terminal Giwangan dibangun dengan kapasitas besar untuk menggantikan Terminal Umbulharjo. Kehadiran ring road dan terminal membuat keramaian di sekitar Warung Mie Ayam Bu Tumini meningkat pesat.
Proses Mie Ayam Bu Tumini tercipta
Saya berjumpa dengan Eko di Warung Mie Ayam Tumini Junior, salah satu cabang yang terletak di Tridadi, Sleman pada Kamis (14/4) malam. Ia datang mengenakan kemeja batik dan sarung yang masih terikat di pinggang. Eko baru saja selesai melaksanakan salat tarawih.
Warungnya sudah tutup sejak sore. Namun masih ada dua karyawan yang bersantai sambil mencuci motor di halaman depan. Selama Ramadan, semua cabang Warung Mie Ayam Bu Tumini buka seperti biasa. “Ya walaupun kalau dibandingkan sama hari biasa (di luar Ramadan), omzetnya turun 50 persen,” kata Eko.
Usai bernostalgia tentang suasana Yogyakarta zaman dulu, terutama daerah sekitar Giwangan pada masa-masa awal orang tuanya merintis bisnis, Eko kemudian bercerita lebih jauh tentang bagaimana kedua orang tuanya memutuskan jualan mie ayam.
Keluarga ini mulanya tinggal di Desa Jatiayu, Karangmojo, Gunungkidul. Di desa kelahiran sang suami itu lah Bu Tumini membesarkan anak-anaknya, sementara suaminya merantau ke Jakarta. Suparman punya beragam usaha di perantauan, mulai dari memborong tenaga untuk proyek bangunan hingga membuat mebel jika ada pesanan. Asal ada peluang, bisa menghasilkan uang halal, bisnis itu dilakoni Suparman.
Di Jakarta pula Suparman sempat menjajal usaha kuliner, bukan mie ayam melainkan bakso. Kemampuan membuat olahan berbahan dasar daging sapi itu diperoleh Suparman dari sanak saudaranya. “Kemampuan bikin bakso itu memang sudah dimiliki saudara-saudara bapak, termasuk simbahnya dulu juga sudah jualan bakso,” jelas Eko.
Namun usaha berjualan bakso di ibu kota kurang menguntungkan. Banyak kendala yang membuatnya tidak berkembang. Akhirnya Suparman hijrah ke Semarang. Setali tiga uang, usaha bakso di Semarang pun tidak banyak menghasilkan. Atas saran sang istri, Suparman berinovasi dengan berjualan mie ayam.
Ada saudara Bu Tumini yang sebelumnya sudah punya pengalaman membuat mie di Cirebon. Suparman belajar ke sana, mulai dari proses pembuatan mie, mencari rekomendasi tempat membeli mesinnya, hingga menjajal resep untuk membuat mie yang layak jual.
Setelah itu, Suparman memberanikan diri untuk berbisnis mie ayam di Semarang dengan skema menyewakan gerobak beserta segala keperluannya bagi pedagang yang mau berkeliling. Namun sekali lagi, ternyata bisnis mie ayam di Semarang pun tak berjalan lancar. Hal itu membuat keluarga di Gunungkidul menyarankan agar Suparman pulang.
“Capek kerja di perantauan. Jauh dari keluarga juga. Mau sampai kapan begitu terus,” ujar Eko menirukan keluhan ibunya dahulu.
Akhirnya di tahun 1989 Suparman kembali ke Yogyakarta dan di tahun yang sama mencoba kembali skema bisnis mie ayam yang sudah pernah ia jajal di Kota Lumpia. Agak lain dari cerita sebelumnya, bisnis yang dirintis di Yogyakarta ini mulai menemukan sedikit jalan terang.
“Di Semarang yang jadi kendala itu pedagang yang menyewa gerobak pada tidak semangat jualan. Tapi pas pindah, alhamdulillah pada semangat dan lancar jualannya,” kata Eko.
Gerobak dengan ciri khas tulisan “Sari Rasa Jatiayu” itu disewakan seharga Rp500 per hari. Pedagang yang menyewa gerobak juga memesan mie mentah buatan Suparman dan keluarganya. Semua sudah dipersiapkan sehingga pedagang tinggal berjualan keliling saja.
Setahun berjalan dengan lancar, terbesit di pikiran keluarga mereka: “Kenapa tidak kita coba jualan sendiri sekalian saja,” ujar Eko. Berbekal modal yang sudah terkumpul, mereka mencari tempat strategis untuk disewa hingga akhirnya menemukan lokasi di utara Terminal Giwangan yang bertahan hingga sekarang.
Manis dahulu kuah kental kemudian
Bagi yang pernah mencobanya, cita rasa Mie Ayam Bu Tumini begitu mudah diingat dan membekas di lidah. Tempat ini menyajikan mie ayam dengan kuah yang begitu kental. Rasa manis yang dominan meliputi setiap sajian. Ditambah mie dengan potongan ayam yang cukup besar. “Pokoknya kalau Tumini ya harus manis dan kuah kental,” kata Eko sambil menyeruput segelas es teh.
Dari ciri-ciri yang melekat pada setiap porsinya, rasa manis adalah satu yang memang ingin ditekankan saat awal membuka warung ini. Mie Ayam Tumini ingin menciptakan rasa manis sesuai karakter sajian kuliner khas Yogyakarta yang dominan manis. “Ya kalau bicara Yogya kan gudeg ya. Gudeg kan dikenal manis juga rasanya. Nah kita ingin buat yang manis, agar cocok sama lidah orang sini,” jelas Eko.
Jika cita rasa manis sudah terencana sejak awal memutuskan membuka warung sendiri, lain halnya dengan kuah kentalnya. Proses penciptaan kuah kental yang khas di warung ini merupakan hasil dari proses eksperimen panjang Bu Tumini.
Menurut penuturan Eko, awalnya kuah mie ayam buatan orang tuanya belum sekental sekarang. Dulu mie ayam di tempat ini menggunakan potongan sawi hijau atau caisim yang nampak dalam setiap sajian. Hal yang tak akan ditemui jika menyantap seporsi Mie Ayam Bu Tumini hari ini.
“Pada dasarnya kan setiap penjual mie ayam itu kan hampir sama ya. Dari cara pengolahan hingga bumbu dasarnya. Ada potongan ayam dan gagang sawi. Hal yang membuat beda itu kreasi lanjutannya,” papar Eko.
Dalam konteks Mie Ayam Bu Tumini, yang hendak dikreasikan adalah keberadaan potongan sawi hijaunya. “Dulu itu ngerasa kok potongan sawi ini ngganjel, enaknya dibuat bagaimana biar lebih nyaman dimakan,” tambahnya.
Akhirnya Bu Tumini mencoba menggiling sawi yang telah direbus dan dicuci bersih. Harapannya agar bisa lebih lembut dan menyatu dengan bumbunya. Namun gilingan itu terasa masih kurang tepat. Akhirnya mereka mencoba mencincangnya menggunakan blender.
Eko ingat betul blender merk National yang dibeli ibunya saat itu. Menurut Eko, blender masih jadi barang mewah. Namun ibunya ingin membeli karena rasa penasaran untuk menyempurnakan karakter mie ayamnya.
Akhirnya sawi yang diblender itu dirasa agak sedikit memperbaiki tekstur sawi. Hasil itu sempat mereka aplikasikan di warung selama beberapa waktu. Namun lambat laun perasaan kurang puas kembali muncul.
Bu Tumini masih terus berupaya agar potongan sawi itu bisa menyatu dengan bumbu dan menghasilkan perpaduan yang lebih maknyus. Hingga akhirnya ditemukanlah satu tambahan yang pas untuk menyempurnakannya yakni labu siam atau jipang.
Perpaduan potongan sawi hijau dengan labu siam yang diblender menciptakan kuah kental yang akhirnya menjadi ciri khas warung ini. Serat sayuran itu membuat penampakan seporsi mie ayam di sini memang sederhana, tak banyak toping-toping berseliweran di atasnya. Namun punya kompleksitas rasa yang tercipta dari perpaduan bumbu-bumbunya.
“Memang secara bumbu itu jatuhnya lebih boros ya. Tapi itu yang menurut kami bikin enak. Jadi dipertahankan,” tutur Eko.
Jika harga bumbu sedang naik dampaknya memang terasa bagi sang penjual. Namun prinsip yang dipegang keluarga ini adalah kudu kendel ning bumbune alias harus berani di bagian bumbu. Komitmen pada cita rasa membuat mie ayam ini terus bertahan hingga tiga dekade.
Tak sekadar bertahan, mie ayam yang telah ditinggalkan oleh kedua pendirinya ini berkembang dan menciptakan sebuah jaringan. Suparman meninggal tahun 1996 saat usia warungnya belum genap sepuluh tahun. Sedangkan Tumini menyusul tutup usia pada tahun 2020. Mereka berdua memiliki lima anak yang sebagian besar kini meneruskan legacy-nya.
Saat tulisan ini dibuat, Mie Ayam Bu Tumini kini memiliki empat cabang. Eko Supriyanto, anak pertama Bu Tumini mengelola cabang Mie Ayam Tumini Junior di Tridadi, Sleman. Eka Noviawati, anak kedua mengelola cabang utama Mie Ayam Bu Tumini Sari Rasa Jatiayu di utara Terminal Giwangan.
Kemudian anak ketiga mengelola Mie Ayam Bu Tumini 2 yang terletak satu kilometer di selatan cabang pertama. Terakhir, terdapat cabang lain Mie Ayam Bu Tumini 2 Maguwoharjo yang dikelola oleh saudara.
Tak hanya itu, Bu Tumini dan keluarganya juga meninggalkan resep yang akhirnya dipakai oleh sanak saudara dan para mantan karyawannya. Mereka merintis usaha mie ayam yang banyak tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian menggunakan identitas “Sari Rasa Jatiayu”, namun ada juga tanpa nama itu.
Satu hal yang jelas, ciri khas kuah kental dan rasa manis itu melekat di setiap warung yang memiliki ikatan dengan Bu Tumini—baik ikatan keluarga maupun ikatan emosional semata. Bagaimana Mie Ayam Bu Tumini meninggalkan warisan penting bagi mie ayam di Yogya akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
===
Tulisan ini merupakan seri dari liputan “Peta Mie Ayam Jogja”. Mulai pertengahan bulan Maret hingga April 2022 setiap akhir pekan ulasan warung mie ayam di Jogja akan hadir menemani pembaca. Liputan “Peta Mie Ayam Jogja” merupakan kolaborasi Mojok.co, Javafoodie, dan @infomieayamYK.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi