Dalam hidup yang pendek ini, mengapa masih ada orang-orang yang mencintai diam-diam? Tak mau mengungkapkan perasaan cinta pada orang yang disukainya.
***
Angka harapan hidup rata-rata orang Indonesia saat ini 69 tahun (bappenas.go.id). Dibandingkan dengan umat manusia zaman dahulu yang umurnya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun, rentang usia ini sangat pendek. Dalam usia yang pendek ini, kenapa masih ada orang yang memilih untuk mencintai dalam diam—alih-alih mengungkapkannya secara terbuka?
Buat saya, mencintai diam-diam itu nggak masuk akal, karena selain berpotensi menimbulkan penyesalan di kemudian hari (kenapa dulu nggak aku ungkapkan aja?), kita juga baru bisa tahu perasaan kita berbalas atau nggak ketika berani menyatakan, kan?
Saya mengobrol dengan tiga orang teman yang pernah dan sedang mencintai diam-diam serta satu psikolog klinis untuk menemukan jawabannya. Demi keamanan identitas dan menjaga pamor, semua nama tokoh dalam tulisan ini disamarkan, kecuali nama psikolog.
Sosok yang tak terjangkau
Momo menyadari perasaannya telah berkembang dari sekadar menganggap bahwa Boni good looking—menjadi rasa nyaman ketika terlibat dalam kepanitiaan event di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Intensnya persiapan event membuat frekuensi pertemuan keduanya meningkat. Belum lagi kegiatan reguler UKM di luar event.
Ketika punya kesempatan untuk mengenal lebih dalam, Momo semakin menyadari perasaannya jauh melebihi teman biasa. Ia menginginkan sesuatu yang lebih, tapi pada akhirnya memilih menyimpan perasaannya itu selama 2013-2019. Enam tahun ia mencintai dalam diam.
“Aku kalau lihat Mas Boni tuh kayak nggak selevel gitu. Dari kecerdasannya, gaya dia berteman, dan yang lainnya,” kata Momo saat dihubungi lewat Zoom.
Seiring waktu, Momo semakin sering berinteraksi dengan Boni dan mengetahui bahwa gebetannya itu ternyata tergolong cowok keren saat masih SMA.
“Dia waktu SMA ternyata orang beken gitu. Ketua OSIS juga di sana,” ungkapnya.
Anggapan itu diperkuat oleh pernyataan teman satu angkatannya yang ternyata merupakan adik kelas Boni saat SMA.
“Temanku yang adik kelasnya dia bilang kalau Boni itu kayak selebritis. Aku minder gitu, kamu bayangin aja kalau orang lihat aku yang kayak gimana sama dia yang kayak gitu.”
***
Hati Nika berbunga-bunga setiap berada di belakang Arun saat latihan ekstrakurikuler marching band kelas 8. Mulanya ia kira itu hanya cinta monyet layaknya anak SMP pada umumnya karena mereka nggak pernah berinteraksi, kecuali saat sekelas di kelas 9. Tapi ternyata, sampai SMA perasaan itu nggak hilang, justru menguat.
“Aku kayak terbawa waktu aja gitu, nggak sadar kapan perasaannya jadi sedalam itu,” tuturnya saat dihubungi lewat Zoom.
Keduanya sempat tergabung di OSIS dan kerap terlibat kepanitiaan event di SMA.
“Aku cuma bisa melihatnya dari jauh karena nggak sekelas. Kayaknya dia tahu (aku suka) pas udah SMA. Aku tahu itu karena merasa dia menghindar. Kayaknya dia menghindar gitu kalau sama fans,” ucapnya, lalu tertawa.
Perasaan itu baru hilang setelah menetap diam di hatinya selama lima tahun (2007-2012), setelah ia duduk di bangku kuliah dan nggak punya kesempatan lagi untuk bertemu Arun.
“Kayaknya dia nggak pernah melihatku sebagai wanita, deh. Siapa aku?”
***
Di antara tiga teman yang saya ajak ngobrol, Saka adalah yang paling awet mencintai dalam diam, meski ia bilang perasaannya sempat pudar selama dua tahun terakhir. Sama seperti Momo, ia juga jatuh cinta kepada teman satu UKM. Saka mencintai seorang perempuan yang ia sebut sebagai primadona pada zamannya.
Kalau dihitung sampai sekarang, sudah delapan tahun ia memendam rasa kepada Kanna, sejak 2013. Ketika saya tanya kenapa memilih mencintai diam-diam saja selama itu, bahkan ketika sering beraktivitas bersama di UKM, alasannya hanya satu: minder.
“Ya memilih diam-diam saja karena minder dan nggak ada wingman-nya juga,” kata Saka melalui pesan WhatsApp.
Mindernya kenapa? Tanya saya. “Karena aku merasa nggak ganteng dan masih nggak punya duit. Kanna yang jadi primadona gitu, mana mungkin mau sama aku,” ucap Saka.
Kamu pasti penasaran, apa fungsi wingman dalam persoalan cinta diam-diam ini. Kata Saka, “Wingman buat memastikan dia (Kanna) beneran mau sama aku atau nggak, gitu.”
Trauma jadi alasan
Selain minder, Saka punya alasan lain untuk nggak mengungkapkan cintanya kepada Kanna, yaitu trauma masa lalu.
“Dulu waktu SMP aku pernah dekat sama cewek satu kelas. Kebetulan dia ini primadona angkatan. Aku bisa dekat sama dia karena sering ngajarin materi pelajaran yang sulit kayak Matematika dan IPA. Aku sama dia bisa ngobrol nyambung terus. Dan aku kan lemah di pelajaran seni, dia juga sering bantuin aku,” tutur Saka panjang lebar.
Ia pun mulai berharap kepada teman ceweknya—yang seorang primadona angkatan itu.
“Aku sudah dekat lama dan tanya ke teman-teman yang lain, ‘kira-kira dia suka aku atau nggak?’ dan teman-temanku mengiyakan,” lanjutnya.
Berbekal keyakinan dari teman-temannya ini, Saka pun menyatakan cintanya.
“Tetap aja ditolak. Katanya mau fokus sekolah,” pungkasnya.
Sewaktu SMA ia sempat punya pacar, tetapi hal ini rupanya nggak bisa menghapus trauma masa SMP begitu saja. Traumanya terus terbawa sampai ia bertemu Kanna.
Akhirnya menyatakan perasaan
Momo dan Nika pada akhirnya memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepada Boni dan Arun.
Tahun 2018, Momo memilih mengungkapkan perasaannya melalui WhatsApp. Ia sudah lupa seperti apa kalimat persisnya, tapi intinya ia menyatakan rasa sukanya kepada Boni yang sudah disimpannya sejak tahun 2013/2014 dan menegaskan bahwa nggak ada yang ia harapkan dari pernyataan itu, misalnya lanjut ke PDKT atau pacaran.
“Dia balasnya lama banget. Intinya sih bilang makasih udah ngomong dan makasih udah memahami keadaannya.” Keadaan yang dimaksud berkaitan dengan prasyarat dari keluarga Boni soal pasangan yang tidak bisa saya ceritakan di sini.
Menariknya, Momo dan Boni masih bisa berteman seperti biasa setelah itu meskipun Momo mengaku ia patah hati.
“Ternyata aku berharap, sih,” kata dia.
Nika juga pada akhirnya menyatakan perasaannya kepada Arun ketika sudah kelas 12 dan hampir lulus, saat sudah nggak ada kegiatan di sekolah.
“Kita udah nggak ada kegiatan. Jadi aku merasa nothing to lose kalau confess. Eh, ternyata habis itu aku jadi panitia year book, dia juga. Hahahaha.”
Ia mengungkapkannya lewat SMS yang kira-kira begini bunyinya:
N: Arun, aku mau ngomong sesuatu.
A: Ngomong aja, Nik. Ha ha.
N: Aku suka sama kamu.
“Terus nggak dibalas… Terus pas ketemu di kepanitiaan year book, aku nggak berani menatap mukanya,” kenang Nika.
Masih kurang puas, Nika kembali menyatakan perasaannya—kali ini melalui tulisan panjang yang diketik dalam file .doc yang kemudian ia kirimkan melalui Facebook chat. Saat itu ia sudah duduk di bangku kuliah. Pesan itu sudah terbaca, tapi lagi-lagi nggak berbalas.
Setelah menyatakan perasaannya, Nika merasa lega. Ia juga sampai sekarang masih bertegur sapa lewat media sosial dengan Arun. Namun, ia merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan.
“Unfinished business, gitu. Kalau pas interaksi juga nggak ada di antara kami yang ngomongin masa lalu. Dia juga bersikap kayak teman biasa, kayak nggak pernah ada apa-apa,” kata dia.
Saka, ketika saya tanya apakah ia masih punya niatan untuk menyatakan perasaannya suatu saat nanti, menjawab niat itu masih ada.
“Mungkin kalau aku udah bisa melawan traumaku. Berharap dia mau sih, tapi kalau nggak mau juga nggak apa-apa,” katanya.
Saya tanya, apakah ia sekarang merasa sudah lebih ganteng dan sudah punya duit sehingga lebih percaya diri jika suatu saat menyatakan perasaannya kepada Kanna.
“Sekarang lebih pede karena punya duit sih. Bukan ke ganteng, karena perut udah nggak rata seperti dulu. Jadi kalau dia mau dan aku mantap, udah ada dana buat lamaran dan ngajuin KPR rumah,” kata cowok yang kini berprofesi sebagai programmer itu.
Faktor yang membuat orang memilih mencintai diam-diam
Saya bertanya kepada Amalia Tuasikal (Lia), seorang psikolog klinis di Radian Mind & Body Development Center untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi keputusan seseorang untuk mencintai diam-diam—tentunya dari sisi psikologis. Menurut Lia, ada banyak faktor yang bisa memengaruhi seseorang dalam menunjukkan cintanya kepada orang lain.
“Kita belajar mengenai cinta sejak kecil, melalui interaksi antar orang tua, orang tua ke kita, dan dari lingkungan. Kalau dilihat dan dari penelitian yang ada, banyak faktor yang memengaruhi seseorang dalam menunjukkan cintanya, kata Lia.
Ada faktor internal (self-esteem, pengalaman, pengetahuan, kepribadian) dan juga eksternal (attachment, pola asuh, budaya, sosial, agama). Faktor-faktor ini nggak memengaruhi secara sendirian saja, tapi saling memengaruhi satu sama lain.
“Interaksi inilah yang kemudian memengaruhi individu dalam menunjukkan cintanya, salah satunya adalah mencintai dalam diam,” terangnya melalui pesan WhatsApp.
Kalau kamu pernah mendengar istilah attachment styles yang berangkat dari pola asuh orang tua kepada anaknya, faktor ini juga bisa jadi salah satu pemicu kenapa seseorang lebih memilih mencintai dalam diam.
“Kalau ngomongin tentang pola asuh dan attachment, penelitian menunjukkan kalo keduanya ternyata memengaruhi pola relasi romantis seseorang. Individu yang mendapatkan secure attachment cenderung nggak cemas dan mampu menerima perubahan yang terjadi dari pasangan. Ketika hubungannya berakhir, mereka tetap akan menghadapi perasaan sakit kehilangan dan kesedihan yang ditimbulkan dari perpisahan. Akan tetapi, mereka mampu untuk mengelolanya sehingga mampu untuk pulih dan siap dengan pengalaman yang baru,” lanjut Lia.
Ada beberapa teori juga yang menjelaskan soal attachment ini meskipun secara garis besar bisa dibagi menjadi dua: secure dan insecure. Pada teori Bartholomew, ada empat tipe attachment, yaitu secure, preoccupied, dismissing, dan fearful. Nah, untuk ini silakan kamu Googling sendiri.
Menurut Lia, individu yang mendapatkan insecure attachment cenderung menganggap bahwa dirinya nggak layak untuk dicintai dan merasa bahwa yang bisa dipercayai hanya dirinya saja. Mereka merasa takut akan ditinggalkan, diabaikan, atau dikecewakan sehingga menghindari keterlibatan yang mendalam.
Mereka juga mengalami kesulitan untuk percaya pada orang lain karena mereka nggak bisa mempercayai orang yang mereka andalkan selama tumbuh dewasa. Ketika hubungan yang dibangun berakhir, mereka cenderung menunjukkan sedikit kecemasan dan kemandirian yang berlebihan. “Ada ketakutan akan penderitaan sehingga membuatnya memilih untuk melakukan emotional distancing sebagai bentuk pertahanan diri dari rasa sakit,” kata Lia.
Nah, lho. Selain physical distancing, ternyata ada juga emotional distancing yang manusia lakukan untuk melindungi diri dari rasa sakit. Akarnya juga panjang, bisa berawal dari pola asuh sejak kecil dan juga interaksi yang terjadi dengan lingkungan.
Ternyata nggak sesederhana yang saya pikirkan sebelumnya. Keputusan untuk mencintai diam-diam toh bisa berangkat dari berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang terkadang juga berada di luar kendali kita sebagai manusia.
Ebiet G. Ade menggambarkan perasaan ini dalam sebuah lagu yang begitu puitis, judulnya Lagu untuk Sebuah Nama. Berikut penggalan liriknya:
Mengapa dadaku mesti berguncang
Bila kusebutkan namamu?
Sedang kau diciptakan bukanlah untukku, itu pasti
Tapi aku tak mau peduli
Sebab cinta bukan mesti bersatu
Biar kucumbui bayangmu
Dan kusandarkan harapanku
Gimana, relatable?
BACA JUGA Ayam Goreng Mbah Cemplung, Warisan Keluarga yang Menolak Bondan Winarno dan liputan menarik lainnya di Susul.