[MOJOK.CO] “Hobi merpati kolong atau merpati balap sama-sama butuh disiplin.”
Mungkin Anda pernah melihat anak kecil, pemuda, atau bapak-bapak yang melepas merpati di pinggir jalan. Sambil membawa kurungan berisi beberapa ekor merpati yang ditempatkan sendiri-sendiri, mereka melemparkan merpati ke udara sambil berteriak atau menepuk tangan keras-keras. Pernah berpikir nggak, kalau yang mereka lakukan itu jahat? Membuang hewan seperti kalau membuang kucing di pinggir jalan.
Walau begitu, dari sekian banyak hewan peliharaan di dunia ini, merpati adalah peliharaan yang akan selalu kembali ke kandangnya meskipun dilepas jauh-jauh. Kecuali kalau merpatinya tidak merasa sejahtera bersama pemiliknya, dia pasti ingin merdeka. Merpati juga akan terbang menuju pasangannya meskipun dilepas jauh-jauh. So sweet kan?
Begitulah cara para pehobi merpati bercengkerama dengan peliharaannya: melepasnya bebas. Istilahnya, gaburan.
Pernah digabur?
Merpati ada beberapa macam: merpati hias, merpati pos, merpati balap, dan merpati kolong atau merpati tinggi. Yang setiap sore digendong dalam kurungan biasanya adalah merpati balap dan merpati kolong. Bedanya, merpati balap dilatih untuk terbang sangat rendah, bisa sampai sejengkal dari tanah. Kalau merpati kolong terbang tinggi dan dilatih untuk bisa masuk ke dalam kolong. Bukan kolong jembatan atau kolong lemari, tapi kolong yang memang dibuat khusus.
Kalau di sawah atau sudut lapangan ada empat buah tiang bambu dengan corak merah putih disusun persegi dengan meja di tengahnya, itu bukan tempat memuja Orba, itulah kolong, rintangan untuk melatih merpati. Ada juga yang tidak pakai meja, tapi diberi busa dan pasir sebagai landasan. Ujung-ujung tiang bambu dihubungkan dengan kain sebagai batas. Nah, para pehobi merpati kolong melatih merpatinya agar bisa mendarat melalui batas-batas itu.
Merpati kolong memiliki banyak pehobi di Jogja. Selama beberapa tahun terakhir muncul banyak lapak—sebutan untuk perkumpulan pehobi merpati kolong—yang rutin menggelar kompetisi. Saya mengunjungi salah satu lapak yang ada di daerah Ngebel, Kecamatan Kasihan, Bantul. Lokasinya di belakang kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Namanya Lapak Kembang.
Di Lapak Kembang siang itu, saya bertemu Pak Mul, usianya 40 tahun. Beliau sedang duduk setengah telanjang bersandar di salah satu tiang kolong.
“Tidak ikut ngelatih, Pak?” tanyaku.
“Nggak.”
Saya agak canggung membaur dengan kumpulan orang di sini. Ya karena belum kenal dan mereka sedang sibuk dengan merpatinya masing-masing. Beruntung Pak Mul sedang tidak membawa merpatinya. Saya bisa leluasa berbincang tanpa perlu mengganggu aktivitasnya melihat rekan-rekannya pehobi merpati.
“Saya lebih suka melatih dari jam sepuluh pagi sampai jam dua siang, Mas,” lanjut Pak Mul, “biar merpatinya terbiasa dengan udara panas.”
Di badannya tercetak bentuk singlet di antara kulitnya yang menghitam. Hasil berpanas-panasan bersama merpati-merpatinya.
“Sekarang sedang latihan untuk merpati pemula, jarak pendek. Belum jauh-jauh.”
Lapak Kembang memiliki dua jadwal latihan. Jadwal A untuk lepasan jauh dan Jadwal B untuk latih pemula. Jadwal ini dibedakan agar merpati yang sudah dilatih jauh tidak terganggu dengan merpati pemula.
Lepasan jauh bisa mencapai jarak satu kilometer dari kolongan, bahkan lebih. Merpati yang dilepas jauh harus sudah bisa terbang lurus menuju ke kolongan. Kalau merpati yang sedang latih pemula butuh penyesuaian jarak terlebih dahulu karena belum bisa terbang lurus ke kolongan. Mulanya dari depan si betina, kemudian mundur sedikit lebih jauh. Kalau sudah bisa terbang lurus ke kolongan, jarak ditambah lagi, begitu terus sampai merpati terbiasa.
“Penentuan merpati sudah siap dilepas jauh tergantung pemiliknya. Kalau pemiliknya buru-buru, bisa-bisa nggak kembali itu merpatinya.”
“Kalau nggak kembali begitu dicari, Pak?”
“Ya dicari, apalagi kalau sedang sayang-sayangnya, sedang bagus-bagusnya merpati itu. Sampai pernah ada yang nangis di kandang waktu nggak ketemu. Biasanya kita juga koordinasi dengan lapak tetangga karena masih ada kemungkinan kesangkut di sana.”
Sesekali saya memerhatikan orang-orang yang mengipaskan—melakukan gerakan dari atas ke bawah untuk membuat betina yang dipegang mengepakkan sayap—betina yang dipegang untuk menarik jantan mendarat. Di antara mereka ada seorang bocah.
“Itu anaknya Pak Nur, yang baju putih itu,” kata Pak Mul sambil menunjuk.
Namanya Farel, masih kelas 5 SD. Dia terlihat bersemangat sekali menunggu merpatinya datang. Dan dengan terampil dia mengipaskan merpati betina hingga si jantan mendarat. Saya yakin, pemuda seusia saya saja tidak banyak yang bisa mengipaskan betina dengan benar. Menggenggam seekor merpati pun mungkin belum benar. Salah menggenggam merpati bisa membuat si merpati tidak nyaman dan meronta. Persis kalau salah “menggenggam” gebetan, salah-salah bisa lepas.
Kalau lepas yang jantan mungkin nggak masalah karena masih bisa digiring ke arah betinanya. Beda cerita kalau yang lepas merpati betina, terbanglah pergi sepasang merpati.
“Sering itu kasus betina lepas, tapi ya bukan karena salah pegang, lebih karena teledor nggak menutup pintu kurungan. Kalau sudah begitu ya mau nggak mau harus diuber sampai kembali. Daripada nangis di kandang,” celetuk Pak Mul.
“Memang harga merpati kolong berapa?” tanyaku.
“Kalau yang bagus, yang stabil masuk kolong bisa tiga ratus ribu sampai lima ratus ribu. Itu baru stabil masuk kolong. Harganya bisa sampai jutaan kalau merpatinya bisa mendarat nggak pakai rem.”
“Nggak pakai rem gimana, Pak?”
“Ya nubruk gitu. Dari atas langsung syut, buk. Mendarat di landasan. Sampai ada yang pernah terpental waktu sampai landasan. Kan pakai busa waktu itu.”
“Nggak bahaya buat merpatinya itu, Pak?”
“Ya bahaya kalau landasannya bukan busa. Dulu pernah ada merpati yang mati soalnya.”
Beberapa merpati memang punya nyali besar. Tak heran merpati menjadi hewan yang punya jasa besar ketika Perang Dunia I berkecamuk. Merpati-merpati dari jenis merpati pos mampu menempuh jarak ratusan kilometer demi membawa pesan dari markas ke markas.
Mungkin merpati juga bisa menjadi sarana untuk menyampaikan maksud hati kepada gebetan atau calon mertua. Tapi ya masak sih lebih bernyali si merpati daripada kamu.
Hal yang paling membuat puas seorang pehobi merpati kolong adalah melihat merpati yang mereka latih berlaga di perlombaan.
“Paling senang kalau lihat merpati kita main di lomba, kelihatan bagusnya. Apalagi dilihat banyak orang. Menang kalah urusan terakhir, yang penting hasil latihan bisa terlihat waktu lomba. Di lomba juga kelihatan hasil latihan yang maksimal dan kurang maksimal,” jelas Pak Mul dengan serius.
Latihan yang keras tentu saja diimbangi dengan perawatan yang maksimal. Kesehatan dan kebugaran merpati selalu diperhatikan. Pemberian jamu dilakukan secara rutin agar merpati tetap fit.
“Kalau tidak diberi jamu, kasihan merpatinya. Jadi kurus, nggak fit ketika dilatih.”
“Jamunya apa?”
“Ya jamu biasa, jamu Jawa. Biasanya pakai kencur, kunyit, akar alang-alang, madu, telur, sampai sarang walet. Itu orang-orang ngeracik sendiri, resep rahasia. Sampai ada yang ditambahi minyak ikan, cerebrovit, suplemen-suplemen gitu.”
Kalau sudah serius, menurut Pak Mul, para pehobi akan mencari informasi seluas mungkin untuk membuat merpatinya unggul. Perkembangan teknologi juga mendorong mereka berhubungan dengan banyak orang dan menerima informasi dengan cepat. Pak Mul bercerita baru saja menonton video lomba merpati kolong di Pekalongan.
“Hebat-hebat merpatinya. Mendarat kayak nggak punya rem.”
Menurutnya, merpati kolong unggul banyak yang berasal dari Pekalongan. Selain kota batik ternyata Pekalongan juga kota merpati kolong. Peranakan dari sana bisa dipastikan unggul, tinggal bagaimana melatihnya.
Pak Mul menjelaskan ada siklus latihan yang ideal. Biasanya latihan dimulai setelah telur sepasang merpati dibongkar, dieramkan pada merpati indukan lain. Malam minggu menjadi hari yang ideal untuk membongkar telur, kemudian sampai Rabu atau Kamis sepasang merpati diperam agar templek—Istilah untuk menunjukkan kondisi di mana jantan tidak bisa lepas dari betina, ke mana betina pergi jantan mengikuti. Setelah itu baru gaburan dimulai. Biasanya merpati akan diistirahatkan setelah hari Minggu atau sampai bertelur lagi.
“Siklus ini menurut saya ideal, tapi ada satu hal yang bikin susah. Waktu. Pagi harus jemur merpati, sebelum siang dipindah, sore melatih. Kalau yang bekerja dengan jadwal mengikat biasanya kesusahan. Untungnya saya wiraswasta, jadi fleksibel.”
Siklus ini membuat saya teringat sebuah berita di The Jakarta Post Agustus lalu. Di Purbalingga, Jawa Tengah, suami yang keranjingan merpati hingga lupa bekerja membuat para istri minta cerai. Agaknya, diukur dari totalitas waktu yang diabdikan, melatih merpati lebih pantas disebut profesi ketimbang hobi.
Pak Mul punya kolong sendiri di rumahnya. Beberapa orang yang berbincang dengannya ingin supaya dia melatih merpati mereka. Ketika orang-orang tidak mampu menyediakan waktu untuk melatih dan merawat merpatinya, biasanya mereka menitipkan kepada rekan yang lain.
Dari hobi merpati ini, orang-orang dari berbagai kalangan disatukan oleh merpati. Sebagai simbol perdamaian, merpati memang membawa kedamaian secara nyata. Sebagai pencinta binatang, ikatan yang dimiliki pehobi merpati dengan kamu yang memelihara kucing di rumah bisa dipastikan sama. Setiap kali berinteraksi dengan peliharaan kita, ada perasaan damai yang menyeruak di antara kepenatan menjalani kesibukan sehari-hari.
Memelihara merpati tidak harus digabur setiap sore seperti yang dilakukan Pak Mul dan rekan-rekan di Lapak Kembang. Di lain waktu saya menemui Pak Slamet di daerah Wirobrajan yang sudah dari kecil memelihara merpati. Sekarang, di usianya yang sudah 51 tahun, beliau tidak lagi ikut gaburan. Selain karena tidak ada kawan lagi, berinteraksi dengan merpati di lingkungan rumahnya sudah membuatnya senang.
“Satu lagi alasan kenapa saya sudah tidak gaburan, nggak banyak anak kecil yang bisa saya minta tolong jadi pengipas. Sekarang mereka lebih suka pegang hape daripada merpati,” candanya sambil ngemong keponakan laki-lakinya.
Pak Slamet tidak mengikuti jejak rekan-rekannya yang sudah berhenti memelihara merpati. Katanya, “Sudah sampai ke hati, Mas, saya memelihara merpati.”