Tepat di seberang sebelah selatan Gedung MM UGM seringkali kita melihat para pemulung dan gelandangan berada di sepanjang jalan ini. Lantas dari mana saja mereka berasal dan seperti apa kisahnya?
***
Siang hari yang terik, saya menghentikan motor di tepian Jalan Teknika Selatan seberang Gedung Magister Manajemen (MM) UGM. Diam sejenak mengamati keramaian yang ada di sekitar. Rimbun pohon damar hingga ketapang yang menjulang menjadikan terik siang di sepanjang jalan ini terasa lebih menyejukkan.
Bukan hanya saya yang merasa demikian. Ada banyak orang yang berteduh di tepian jalan sepanjang tak lebih dari 300 meter yang tersusun rapi dari paving ini. Siang itu, nampak beberapa ojek online berhenti, tukang becak yang sedang membenahi roda, truk bermuatan yang sedang terparkir di pinggir jalan, dan manusia-manusia lain yang sedang mengambil jeda.
Tepat di seberang saya, seorang tukang rongsok tertidur pulas beralas kardus. Tampak tak terganggu sedikit pun oleh bising kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya. Sepeda yang penuh muatan barang-barang bekas tergeletak di sebelahnya.
Tak berselang lama, sebuah motor matic berhenti tepat di sampingnya. Sang pengendara tampak merogoh dompet dari saku belakang celananya, mengeluarkan selembar uang kertas berwarna hijau.
Pengendara itu lantas pergi setelah memastikan duitnya tergeletak rapi di samping tubuh yang sedang tak sadarkan diri itu. Saya pun memilih untuk pergi dan merencanakan kembali di keesokan hari.
Jalanan ini terletak di antara Gedung MM UGM dan Fakultas Biologi UGM. Jalan terbelah jadi dua, Teknika Selatan untuk ruas jalan menuju barat dan Teknika Utara untuk ruas jalan ke timur. Keduanya dipisahkan oleh selokan mataram dan pepohonan. Di ketinggian pohon, kawasan ini menjadi rumah kesukaan para burung air. Dan di bawahnya, para manusia tanpa rumah kerap memilih singgah.
***
Dua hari berselang, saya kembali ke sana, berharap bisa berbincang dengan satu dua orang gelandangan yang menjadikan tempat ini persinggahan. Senin (21/02/2022) lepas isya, saya melesat membelah keramaian Kota Jogja.
Saya menghentikan laju motor tepat di samping gerobak rongsok. Seorang pria berkaos oblong dengan topi di kepala menyambut saya. Ia memanggil seorang pria yang sedang duduk berjarak sekitar sepuluh meter darinya. Remangnya malam membuat saya sempat tak melihat ada sosok pria lain di dekatnya. “Nih nasi,” katanya pada pria yang datang menghampiri, membagikan nasi yang saya berikan sebelumnya.
Kami bertiga lantas duduk. Menyalakan rokok masing-masing dan berbincang. Keduanya merupakan pendatang dari luar kota yang kini menjadi gelandangan di Kota Jogja. Mengepul barang bekas demi bertahan dan menjaga arus kas.
Sosok pria bertopi pertama bernama Takim, usianya empat puluh delapan tahun. Dari logat bicaranya, ia bukan orang Jawa. “Saya dari Sumatera Selatan, Baturaja,” jawabnya saat saya tanya.
Takim sudah enam tahun hidup di jalanan Kota Jogja. Tiga tahun pertama ia lakoni menjadi pengamen. Namun tiga tahun belakangan ia memilih jadi pengepul rongsokan seperti sekarang. Tak banyak pilihan yang bisa ia kerjakan. Sebab tak banyak bekal yang ia bawa saat datang ke kota ini.
Sebelum ke Jogja, Takim sudah lama menetap di Bandung. Menjadi buruh di sebuah pabrik makanan yang tak ia sebutkan secara detail. Namun ada suatu halangan yang membuatnya susah untuk bekerja duduk seharian di pabrik tersebut.
“Saya ini suka kebelet kencing terus. Nggak tahu kenapa bisa begini, tapi kalau kerja di pabrik itu sulit sekali. Saya jadi ke toilet terus dan kerjaan terganggu,” ujarnya.
Hal itu lantas membuatnya harus keluar dari pabrik. Bingung dengan apa yang bisa dikerjakan di Bandung, ia lantas berpikiran untuk hijrah ke Kota Jogja. Ia belum berkeluarga, tak punya istri dan anak di kampung halaman, sehingga pulang tak ia jadikan pilihan. Akhirnya ia naik kereta dari stasiun Kiaracondong menuju Lempuyangan. Menjemput hidup barunya.
Jeda berbincang, tiba-tiba saja Takim berdiri. “Kebelet kencing sama boker, titip jagain ya,” ujar Takim pada pria yang di dekatnya. Takim berjalan ke belakang kami, turun ke bawah selokan, tempat yang ia gunakan setiap ingin buang air besar di kawasan ini.
Akhirnya hanya tinggal ada saya dan pria satunya yang bernama Waikin. Usianya jauh lebih muda dari Takim. Masih tiga puluh empat tahun.
Waikin berasal dari Magelang. Sejak pandemi ia menjadi gelandangan di Jogja. Tak pernah pulang kecuali lebaran, meski kampung halamannya hanya sebelah kota. Ada luka yang tertinggal di sana.
“Wong tuo (orang tua) sudah meninggal, nggak ada lagi yang memberi uang dan ngasih makan di rumah, mending pergi saja,” ujar Waikin dengan bahasa Jawa.
Sebelum ke sini, Waikin mengaku sempat menjajal beragam pekerjaan. Mulai dari menjadi tukang ngarit rumput di desanya hingga asisten kondektur di terminal Magelang. Asisten kondektur maksudnya orang yang mencarikan dan mengarahkan penumpang menuju bus sesuai jurusan yang diinginkan. Jika berhasil mengarahkan, ia bakal dapat komisi dari kondektur bus.
Namun, pandemi membuat pekerjaan terakhirnya di terminal harus ia tinggalkan. “Lha sepi banget, Mas, sudah nggak ada uang di terminal,” ujar pria yang mengenakan batik lusuh ini.
Kampung halamannya menyimpan banyak luka sehingga Waikin tak tahan lama-lama di sana, tanpa pemasukan dan sumber mata pencaharian. Luka itu bermula lima tahun lalu, saat ia ditinggal pergi istrinya tanpa keterangan dan alasan.
“Pulang kerja, tiba-tiba simbok ngomong ‘Nang, bojomu lungo ra ngabari opo-opo’,” kenang Waikin. Lamat-lamat, mata Waikin basah saat menceritakan hal ini. Matanya yang berlinang memantulkan sorot lampu jalanan yang remang-remang.
Kepedihan itulah yang membuat Waikin merasa stres dan tertekan tatkala menetap di rumah peninggalan orang tuanya. Pergi adalah jalan yang ia tempuh untuk menyembuhkan luka.
Berbeda dengan Takim yang menggunakan gerobak dalam bekerja, Waikin berkeliling dengan sepeda. Sepeda tua yang berhasil ia beli setelah menabung berbulan-bulan hasil jualan rongsokan. “Itu beli empat ratus ribu, ya ngumpulin, Mas, sithik-sithik (sedikit-sedikit),” ujarnya.
Hasil jualan barang bekas memang tak menentu. Ada kalanya, mereka mengaku bisa dapat Rp25.000 dalam sehari. Ada juga saat mereka tak bisa menjual apa-apa di hari itu. Bagi mereka, semuanya tak pasti dan yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri.
Hasil rongsokan biasanya mereka jual di daerah Jalan Gambiran. Tak jauh dari Terminal Giwangan. Mereka berkeliling mencari barang bekas dari pagi hingga sore. Bukan karena itu jam kerja mereka. Namun karena di jam itulah mereka tak punya tempat nyaman untuk singgah.
Waikin, Takim, dan banyak gelandangan lain biasanya tak bermalam di sepanjang Jalan Teknika ini. “Tidur di sini paling kalau malam Sabtu dan Minggu dan kalau tidak hujan, ” katanya.
Menurut mereka, setiap menjelang tengah malam satpam UGM kerap berkeliling dan menertibkan orang-orang yang masih ngemper di sepanjang jalan ini. “Kecuali kalau akhir pekan, itu biasanya lebih santai dan bebas di sini, jadi bisa tidur malam,” kata Waikin.
Para gelandangan ini tidur di emperan toko sekitar Jalan Agro. Mereka akan singgah di sana lewat pukul sepuluh malam ketika toko-toko mulai tutup. Sebelum itu, di tempat inilah mereka menunggu dan menghabiskan waktu.
Setiap pagi mereka pun tak bisa berleha-leha, menjelang toko buka para gelandangan ini harus sudah siap pergi. Kalau tidak, bisa kena marah karena dianggap mengganggu.
“Sebelum pergi, ya kami bersih-bersih dulu, biar mereka (pemilik toko) sedikit senang dan terbantu,” ujar Waikin.
Takim sudah kembali dari selokan setelah buang air, namun ia lebih banyak diam dan melamun. Duduk mengambil jarak sekitar dua meter dari saya dan Waikin yang masih asyik berbincang. Pandangannya kosong menatap lampu jalanan.
Suara burung air sesekali terdengar dari rimbun pepohonan. Kwok-kwok. Sudah pukul sembilan malam, lalu lalang kendaraan mulai tak seramai saat awal saya duduk di tempat ini.
Dalam data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, tahun 2021 tercatat ada 412 pemulung dan 123 gelandangan yang ada di daerah ini. Sebagian kecil dari mereka, barangkali ada di sepanjang jalan yang penuh pepohonan tinggi ini. Sosok-sosok yang bisa Anda temui kala di pagi, siang, sore, hingga malam hari.
Mulai sepi, saya pun memutuskan pamit. Melanjutkan perjalanan dengan pelan. Beberapa puluh meter dari tempat Takim dan Waikin, beberapa becak terparkir. Sebagian kosong namun sebagian terisi tukang becak yang tampak sudah terlelap.
Tepat beberapa meter setelah keluar dari Jalan Teknika, masih dekat bundaran Pascasarjana UGM, ada sesosok ibu dengan bayi di gendongannya yang sedang duduk beralas tikar di trotoar. Ibu itu berjualan makanan sejumlah jajanan kering. Mulai dari keripik jagung hingga kerupuk kulit (rambak). Semuanya ia banderol dengan harga Rp10.000.
Ibu itu bernama Lestari (43), sejak pandemi ia berjualan setiap malam di tempat ini. Mulai setelah magrib hingga jam sepuluh atau setengah sebelas malam. “Kecuali kalau hujan dan saya lagi sakit,” ujarnya.
Ia asli Wonosari namun sudah lama tinggal di sebuah kos yang terletak di Sendowo, tak jauh dari RS. Sardjito. Di sana ia tinggal bersama suami dan empat anaknya. Anak yang paling besar baru lulus SMA sedangkan bungsunya berusia tiga tahun. Si kecil sedang terlelap dalam pelukannya. Dengan antusias ia menceritakan anaknya sambil menunjukkan foto-foto melalui ponselnya.
Sebelum pandemi, ia bersama sang suami berjualan wedang ronde di sekitar Tugu Jogja. Namun nahas, gerobak yang biasa gunakan rusak, setelah beberapa waktu mangkrak saking sepinya pembeli di awal pandemi.
Akhirnya ia memilih mencoba jualan di tempat yang sepi dan tak jauh dari kosnya ini. Berharap ada satu dua pengendara yang berhenti dan tertarik membeli. “Baru laku satu ini Mas dari tadi,” ujarnya.
Tak setiap hari dagangannya ada yang membeli. Namun menurut Lestari, setidaknya kadang-kadang ada satu dua orang yang memberi sebungkus nasi. Lumayan, bisa untuk mengisi perutnya dan sang anak.
Suaminya, hingga kini belum mendapatkan pekerjaan tetap. Begitu pula anak pertamanya, perempuan yang baru lulus SMA, masih mencari pekerjaan hingga saat ini.
“Mas, barangkali ada informasi pekerjaan kabari saya ya. Saya bisa bersih-bersih tapi kalau masak kurang jago, yang pintar suami saya,” ucapnya sambil senyum.
“Atau kalau ada lowongan buat anak muda, anak perempuan saya juga bisa. Dia pintar jualan online,” sambungnya.
Saya belum punya informasi pekerjaan yang bisa saya beri. Namun, semoga saya bisa kembali lagi ke sini. Dengan kabar baik yang bisa dibagi ke Lestari.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi