Akhir-akhir ini viral video TikTok tentang betapa mahal uang yang dikeluarkan untuk sekali makan pecel lele di Malioboro. Pun banyak yang mengatakan bahwa harga makanan di kawasan ini memang sudah pada level tidak masuk akal karena terlalu mahal. Untuk membuktikannya, saya melakukan perjalanan makan di Malioboro pada malam hari dan berikut adalah hasilnya.
Jaga-jaga, bawa uang lebih
Sebelum melakukan perjalanan, saya bertanya kepada beberapa teman yang pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan makan di seputaran Malioboro. Saya berbincang dengan Ayu (21) via WhatsApp, dan dia mengatakan pernah menghabiskan dua ratus ribu rupiah ketika makan di salah satu lesehan di Jalan Malioboro.
“Sudah lama itu. Makan bertiga. Aku dan satu temenku pesen nasi cumi goreng tepung, minum es jeruk dan es teh, sementara temenku satu lagi pesan ikan apa gitu sama es teh,” terang Ayu. “Habis dua ratus ribuan.”
Saya tidak bisa menyimpulkan apakah harga segitu mahal atau tidak karena memang Ayu sendiri tidak tahu secara spesifik ikan apa yang dipesan oleh temannya, dan barangkali memang jenis ikan yang mahal. Sekalipun mungkin banyak yang bilang dua ratus ribu rupiah terlalu mahal untuk tiga porsi seafood, saya tetap ingin berjaga-jaga dan setidaknya menyiapkan uang di atas dua ratus ribu demi perjalanan kuliner makan di Maliboro yang akan saya tempuh.
Sementara itu, Putri (23) mengatakan bahwa harga makanan di sepanjang Malioboro masih standar dan tidak semahal yang diperbincangkan. Menurutnya, menanyakan harga sebelum membeli adalah hal yang wajib dilakukan untuk mengantisipasi urusan kemahalan atau tidak.
“Kalau tidak ada daftar harga, ditanya dulu harganya berapa sewaktu pesan. Kalau ternyata kemahalan, ya tidak jadi. Cari yang lebih murah atau sesuai uang yang kita punya.” Dia menerangkan melalui pesan WhatsApp, beberapa menit sebelum saya melakukan perjalanan.
Putri juga mengatakan, kemungkinan mbak-mbak dalam video yang viral itu tidak menanyakan harga makanan di awal sehingga kaget sewaktu harus membayar setelah makan. “Paling di tempat yang tidak ada daftar harganya, dan si mbaknya tidak tanya harga dulu. Makanya sewaktu bayar dan ternyata mahal, dia kaget.”
Berdasarkan informasi dari Putri, maka menanyakan harga sebelum membeli adalah hal wajib apabila tempat makan tersebut tidak menyediakan daftar harga. Oke, saya rasa semua informasi sudah saya dapatkan, dan dimulailah perjalanan kuliner saya di Malioboro.
Menjelajah dari selatan ke utara
Sebelum saya menjelajah, kalian harus tahu bahwa di tahun 2013 Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan pergantian nama jalan di kawasan Malioboro. Ini terkait dengan makna sumbu filosofis. Hasilnya nama Jalan Ahmad Yani yang semula membujur dari titik nol kilometer hingga depan Toko Batik Terang berubah menjadi Jalan Margo Mulyo. Sedang nama Jalan Malioboro tetap dari Toko Batik Terang ke utara hingga sebelum rel kereta api dekat Stasiun Tugu. atau Hotel Inna Garuda. Bagaimanapun masyarakat umum mengenal dua jalan ini sebagai Jalan Malioboro.
Magis. Barangkali itu adalah kata paling tepat untuk mendeskripsikan suasana Malioboro pada malam hari. Ratusan orang tumpah memenuhi jalan sepanjang 2.5 KM, mulai dari Kantor Pos Yogyakarta, tempat saya memulai perjalanan malam seorang diri, hingga ke arah stasiun Tugu, tempat perjalanan saya akan berakhir nanti.
Mereka semua larut dengan aktivitas masing-masing, bercengkerama dengan teman, pasangan, atau sebatas gelak tawa antar para pengamen dan pedagang, sehingga melupakan udara dingin pada Kamis malam tanggal 27 Mei 2021. Sialan, ternyata baru tersadar bahwa saya adalah satu-satunya orang yang berkunjung sendirian malam itu.
Saya memulai perjalanan malam itu dari selatan. Membulatkan tekad untuk membuktikan apakah benar makanan di sepanjang jalan kawasan semahal yang sedang dibicarakan saat ini. Pun tiga lembar uang seratus ribuan sudah saya siapkan di dompet untuk berjaga-jaga, dengan catatan jika uang tersebut sampai ludes tak bersisa, berarti memang benar klaim mengenai mahalnya biaya makan di Malioboro.
Langkah saya cepat, mendahului banyak pejalan kaki lainnya yang seolah saling berlomba untuk beradu lambat. Langkah saya baru melambat ketika memasuki area Pasar Beringharjo, karena jumlah pengunjung di sana jauh lebih banyak. Seketika saya mencari-cari apakah ada tempat makan pinggir jalan yang bisa saya coba, akan tetapi belum ada satu pun yang menarik minat saya.
Seporsi nasi pecel itu murah yang mahal nyawer pengamennya
Sedikit berjalan ke utara, saya tertarik untuk mampir di lapak pecel dan gudeg Mbak Puji. Ini masih di kawasan Jalan Margo Mulyo. Salah satu alasan kenapa saya akhirnya mampir di sana adalah karena melihat banner harga menu makanan yang terpampang jelas di atas lapak tersebut. Di sana tertulis nasi pecel, nasi gudeg, dan nasi rames dihargai sepuluh ribu rupiah. Menu paling murah adalah nasi mie seharga delapan ribu rupiah, sementara menu paling mahal adalah nasi gudeg + pecel seharga lima belas ribu rupiah.
Saya berpikir harganya memang di atas harga rata-rata nasi pecel di luar area Malioboro, mengingat nasi pecel yang kerap saya beli di dekat UIN Sunan Kalijaga dengan porsi lebih banyak dihargai tujuh ribu rupiah. Pun nasi rames yang bisa saya hemat-hemat sehingga hanya perlu membayar lima ribu jika membeli di Warung Rata-rata. Tetapi mengingat Malioboro konon adalah pusat romantisme Jogja, maka selisih harga yang tidak terlampau jauh tersebut masih bisa saya maklumi.
Pesanan saya sederhana. Nasi Pecel, satu sate telur burung puyuh, dan es jeruk. Saya menghabiskan uang sembilan belas ribu untuk sekali makan di sana. Setelah saya pikir-pikir, ternyata menambah varian seperti gorengan atau sate-satean adalah alasan kenapa uang yang harus dikeluarkan bisa jauh lebih banyak. Maka dari itu, jika memang ingin makan dengan lebih hemat, sebisa mungkin kurangi menambah makanan-makanan pendamping menu utama.
Dan satu lagi yang membuat pengeluaran saya lebih banyak, yaitu eksistensi para pengamen. Harus jujur, rata-rata suara pengamen di Malioboro itu bagus-bagus, terkhusus untuk para tunanetra yang suaranya sungguh merdu, sehingga saya terlena untuk memberi uang kecil setiap ada dari mereka yang bernyanyi.
Lagu andalan mereka tentunya adalah Yogyakarta milik Kla-Project, salah satu lagu legendaris yang sangat saya sukai, kemudian ada pula Sesuatu di Jogja milik Adhitia Sofyan yang juga sangat saya kagumi. Ada kecenderungan menyebalkan pada diri saya untuk selalu mengapresiasi setiap pengamen yang menyanyikan dua lagu tersebut sehingga saya pasti merelakan uang receh saya untuk mereka.
Tak mau terlena terlalu lama dengan lagu dari para pengamen, saya bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke utara sambil membawa es jeruk yang baru saya seruput beberapa kali dan jauh dari kata habis.
Sate pinggir jalan tanpa daftar menu
Pemberhentian saya berikutnya adalah pada seorang ibu-ibu yang berjualan sate di tepi jalan. Sebenarnya saya berulang kali melihat penjual sate sepanjang perjalanan, tetapi selalu urung membeli karena berbagai alasan. Alasan pertama, ibu penjual sate yang saya temui di dekat titik nol kilometer tidak memiliki penerangan memadai.
Alasan kedua, ibu penjual sate yang saya temui di kawasan pasar Beringharjo tidak memiliki area untuk duduk sehingga semisal saya membeli, saya harus membungkusnya, lantas berjuang mencari tempat duduk di sepanjang Malioboro dan berebut dengan pengunjung lain yang juga menginginkan tempat untuk duduk.
Sampailah saya ke ibu penjual sate yang berjualan di dekat kursi kayu, dan kursi itu secara otomatis menjadi milik siapa pun yang membeli sate kepada ibu tersebut. Saya duduk di kursi dan memesan seporsi sate. Beliau tidak memiliki daftar menu makanan, pun saya juga tidak menanyakannya. Sebuah kesalahan besar memang, mengingat banyak kasus komplain harga terlalu mahal selalu berawal dari pembeli yang tidak menanyakan harga makanan terlebih dahulu. Tetapi tidak apa, toh uang perjalanan masih tersisa sangat banyak.
Satu porsi berisi sepuluh tusuk sate ayam dan irisan lontong yang tak seberapa banyak tetapi cukup untuk membuat perut kenyang andaikan saya belum makan nasi pecel sebelumnya sekalipun. Untuk satu porsi sate ayam berisi sepuluh tusuk tersebut saya harus mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah.
Saya lumayan terkejut, mengingat harga rata-rata sate ayam dengan sepuluh tusuk di beberapa warung sate yang pernah saya datangi memang segitu. Jadi untuk urusan sate ayam sejenis ibu-ibu yang tidak memiliki lapak tetap, saya bisa bilang bahwa harganya masih standar.
Total sepanjang perjalanan, saya sudah mengeluarkan uang tiga puluh empat ribu rupiah untuk nasi pecel dengan sate telur burung puyuh, segelas es jeruk yang awet, dan seporsi sate ayam sepuluh tusuk.
Harga minumannya lebih mahal dibandingkan di tempat tain
Perjalanan ke utara saya lanjutkan, melewati pengunjung demi pengunjung dan sesekali berhenti di depan lesehan pecel lele, lantas melanjutkan perjalanan ketika tidak ada yang membuat saya tertarik. Satu hal yang kemudian saya tahu, bahwa semua penjual pecel lele maupun sejenisnya, sudah memasang banner harga menu makanan sehingga pengunjung tidak perlu bertanya-tanya, apalagi sampai merasa overbudget ketika makan di lesehan.
Maka dari itu, ketika akhir-akhir ini viral video seorang pengunjung yang merasa harga makananannya terlalu mahal, yakni pecel lele seharga dua puluh ribu, tujuh ribu untuk nasi, dan sepuluh ribu untuk lalapan dan sambal, saya menjadi penasaran. Kenapa dia tidak menghitung terlebih dahulu berapa harga makanan yang akan dia beli mengingat semua penjual makanan di Malioboro sudah memasang daftar harga sedemikian jelas?
Mengutip pernyataan Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi, sesuai kesepakatan awal antara Pemkot dan PKL di Malioboro, siapa pun yang mematok harga tidak sesuai ketentuan, maka ancaman sanksinya sudah jelas. “Saat itu juga ditutup dan tidak boleh berjualan selamanya di Malioboro.”
Lebih lanjut, Heroe juga menjelaskan bahwa kesepakatan internal tadi juga mengharuskan pedagang untuk menampilkan daftar harga. “Masih normal tidak, masih mampu beli tidak dengan harga yang telah ditetapkan,” jelasnya seperti dilansir dari Detik
Berangkat dari pengakuan mbak-mbak di video yang viral itu, saya lantas mencari-cari lesehan mana yang memberi harga satu porsi pecel lele senilai dua puluh ribu. Akan tetapi berkali-kali saya berhenti di setiap lesehan, saya tidak juga menemukan harga pecel lele yang menyentuh angka dua puluh ribu. Merasa kurang yakin, saya memutuskan untuk mengurutkan kembali lesehan demi lesehan untuk mencari seporsi pecel lele seharga dua puluh ribu itu.
Dan saya tidak menemukannya. Saya bahkan sampai memiliki daftar tersendiri harga-harga seporsi pecel lele dari satu lesehan ke lesehan lain. Harga seporsi pecel lele paling murah adalah dua belas ribu rupiah, sementara yang paling mahal adalah delapan belas ribu rupiah. Menu paling mahal yang saya temui adalah seharga enam puluh lima ribu rupiah, akan tetapi bukan untuk seporsi pecel lele, melainkan gurameh bakar.
Pada akhirnya karena lelah bolak-balik memeriksa lesehan demi lesehan, pun perut saya sudah tidak terlalu kenyang pasca memakan nasi pecel dan sate ayam, saya memutuskan untuk singgah di salah satu lesehan yang menjual pecel lele seharga dua belas ribu rupiah.
Awalnya saya khawatir harga dua belas ribu rupiah itu belum termasuk nasi maupun sambal dan lalapan, tetapi begitu hidangan tersaji di depan saya, kekhawatiran itu sirna. Pesanan saya komplit, mulai dari nasi putih, lele goreng, lalapan, dan sambal terasi. Untuk minum, saya memesan teh hangat karena udara malam memang mendadak dingin seharga lima ribu rupiah.
Saya menghabiskan tujuh belas ribu untuk seporsi pecel lele dan teh hangat. Untuk pecel lelenya sendiri menurut saya harganya masih standar. Barangkali kalau memang mau ada yang dikomplain pada sepanjang perjalanan saya adalah harga minumannya yang memang lumayan di atas rata-rata.
Pada kasus lesehan tempat saya makan pecel lele, harga teh hangat adalah lima ribu, dan enam ribu untuk es teh. Harga segitu untuk minuman tentu terbilang mahal jika dibandingkan harga es teh di warmindo, angkringan, maupun warung ramesan yang berkisar dua ribu sampai mentok tiga ribu lima ratus.
Selesai dengan urusan pecel lele dengan harga standar meski harga minuman yang terbilang mahal, saya melanjutkan perjalanan ke utara. Sesekali melewati jalan raya yang tidak ada kendaraan bermotor sama sekali dan hanya ada pejalan kaki. Sesekali ke area penjual baju di sisi barat yang jarang menarik perhatian saya, dan sesekali juga kembali ke sisi timur yang penuh pedagang kuliner kalau sudah mendekati area Malioboro Mall.
Di area sana, saya menyempatkan menyaksikan Mas Deden—salah satu penyandang tunanetra—menyanyikan beberapa lagu dengan suara teramat merdu dan saya rasa suaranya jauh lebih ciamik dari siapa pun peserta kompetisi menyanyi yang ditayangkan di TV Nasional.
Berakhir dengan wedang ronde di dekat Stasiun Tugu
Puas menyaksikan Mas Deden, saya melanjutkan perjalanan ke utara, dan sampailah saya area stasiun Tugu. Saya menyempatkan mampir di salah satu penjual wedang ronde dan memesan seporsi wedang ronde susu tanpa berekspektasi apa pun. Tidak untuk rasa maupun harga.
Perjalanan saya akan diakhiri dengan seporsi ronde hangat yang entah berapa harganya itu, dengan perasaan campur aduk setelah mengetahui harga makanan di Malioboro tidak semahal yang dibicarakan banyak orang, terutama di dunia maya, terutama sekali tidak semahal yang dikomplainkan si mbak-mbak melalui video TikTok-nya.
Semua penjual makanan memberikan daftar harga agar pengunjung dapat menghitung banyaknya pengeluaran untuk makan. Kalau dirasa harga makanan terlalu mahal, pengunjung bisa langsung berganti ke tempat lain yang harganya lebih pas di kantong masing-masing. Tetapi ya itu tadi, kalau memang harus ada yang dikomplain, itu adalah minumannya yang masih tergolong mahal jika dibandingkan dengan minuman sejenis di tempat lain.
Sampai akhirnya saya tertegun. Sialan, wedang ronde yang saya beli tanpa tanya harga kan termasuk minuman. Saya jadi lumayan was-was dengan harga minuman hangat yang sudah mulai tandas tak bersisa di depan saya. Lantas, dengan sedikit gelagapan, saya bertanya berapa harga wedang ronde kepada bapak penjualnya.
“Sepuluh ribu rupiah, Mas.”
Oh ya benar, memang lebih mahal. Total perjalanan malam itu, saya menghabiskan uang sejumlah enam puluh dua ribu rupiah untuk seporsi nasi pecel telur burung puyuh, es jeruk, sate ayam, pecel lele, teh hangat, dan wedang ronde. Itu semua terlepas dari recehan yang saya keluarkan untuk para pengamen yang suaranya terdengar di sepenjuru jalan Malioboro ya.
Berdasarkan hasil eksperimen makan sampai terlampau kenyang di berbagai penjual makanan, saya tidak bisa tidak, langsung bertanya-tanya, sebenarnya mbak-mbak yang videonya viral itu makan di mana sih? Masa iya di area Malioboro?
Belakangan ternyata diketahui bahwa lokasi tempat si mbak-mbak yang videonya viral itu ada di sekitar Jalan Perwakilan yang memang tidak jauh dari area Malioboro. Pun seperti yang dilaporkan Detik tempat makan yang harganya tidak lumrah tersebut tidak termasuk Pedagang Kaki Lima dan lebih layak disebut restoran karena berlokasi di ruko, sehingga aturan kesepakatan para PKL dan Pemkot Yogyakarta mengenai penetapan harga dan kewajiban memberikan daftar harga tidak berlaku.
BACA JUGA Mitos Cerita Seram Sekolah Angker yang Ada di Jogja dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.