Hardjanto (53) dikenal sebagai Lurah Offroad di Purworejo, Jawa Tengah. Pemilik bengkel mobil ini bukan hanya peka soal kemanusiaan, tapi juga memikirkan bagaimana menyelamatkan sapi yang jatuh ke dalam sumur tanpa luka berat.
***
Sapi yang tercebur sumur
Selasa 11 Januari 2022, warga Kelurahan Cangkrep Lor, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dilanda kehebohan. Seekor sapi simmental dewasa milik Baharuddin (50), tercebur sumur tua. Warga kemudian mengundang Hardjanto yang dikenal dengan sebutan Ki Lurah Offroad untuk membantu mengangkat sapi tersebut.
“Saya dihubungi warga Cangkrep Lor, katanya ada sapi masuk ke dalam sumur. Saya pikir, tidak mungkin kalau hewan itu ditarik warga. Akan butuh banyak orang dan pasti menyakitkan bagi Si Sapi,” kata Hardjanto saat saya temui di bengkel miliknya, Bengkel Double Gardan, Jalan Purworejo – Magelang Km 11, RT 03 RW 03, Desa Kaliboto, Kecamatan Bener, Purworejo, 19 Januari 2022.
Hardjanto berangkat ke Cangkrep Lor mengendarai mobil jip offroad 4×4 (double gardan) yang sudah dimodifikasi menjadi kendaraan rescuer atau penyelamat. “Sapi harus bisa keluar sumur dengan sekali tarikan. Jadi, ya bisanya pakai mobil penyelamat itu,” ujarnya sambil menunjuk mobil sangar berwarna merah, berbalut lumpur dan debu, yang terparkir sembarang di halaman bengkel spesialis jip offroad itu.
Benar saja, tali baja winch yang diulur ke dalam sumur berkedalaman delapan meter itu, sukses mengangkat sapi simetal muda berbobot lebih dari satu kuintal itu, hanya dalam sekali tarik. “Sapinya agak syok, tapi selamat dan kembali ke pangkuan pemiliknya,” katanya.
Sosok Hardjanto sebenarnya bukan sosok asing di Purworejo, bahkan di Indonesia, terutama dunia offroad. Meski tinggal di kota kecil, ia adalah salah satu orang yang membangun Indonesia Offroad Federation (IOF). Saat ini Hardjanto menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas IOF Pusat.
Meski kesehariannya bergelut dengan mobil-mobil offroad yang gahar, nyatanya Hardjanto nggak bisa lepas dari dunia kemanusian. Hatinya mudah jatuh iba.
Ketika saya ngobrol di bengkelnya itu, sembari ditemani segelas jahe hangat buatan karyawannya, sebuah mobil Toyota Avanza hitam perlahan masuk ke halaman samping rumah Hardjanto. Seorang perempuan tiga puluhan tahun dengan bayi di pangkuan, tampak duduk di kursi depan.
“Wah Satria sudah selesai operasi, ayo semua sini silakan masuk,” Hardjanto mempersilakan rombongan itu duduk di ruang tamu.
“Ini Si Satria, bayi yang lahir tanpa anus sudah selesai dioperasi di RSUD Tidar Magelang. Hari ini mau pulang dan barusan bilang, akan mampir ke rumah,” kata Hardjanto.
Relawan kemanusiaan
Nama bayi itu adalah Muhammad Satria Assidqi, usianya sembilan belas bulan. Satria merupakan anak tunggal dari Fitri Ana (16), seorang ibu muda yang mendadak jadi single parent setelah ditinggal pergi suaminya entah ke mana. Hardjanto adalah salah satu orang yang pertama memviralkan Satria, sehingga seluruh mata publik, termasuk birokrat Purworejo tertuju ke sana.
“Kalau tidak dikunjungi Hardjanto dan para jurnalis Purworejo, mungkin Satria belum tertangani,” kata Firdausi Irfan (29), tetangga yang peduli dan mengawal proses operasi Satria.
Firdausi mengatakan, awalnya ia dan istri melihat Fitri Ana termenung dan ketika ditanya ternyata ada masalah dengan kesehatan Satria yang sepintas tidak menunjukkan gejala sakit. Satria tanpa anus dan BAB lewat lubang yang dibuat di perut.
Sebelum viral, Firdausi Irfan mencoba mencarikan jalan untuk mengobati Satria. Tapi terkendala urusan birokrasi kependudukan. Fitri Ana ber-KTP Sampit Kalimantan Tengah. Padahal untuk proses pencabutan kependudukan di Kalimantan dan beralih menjadi warga Purworejo, dikatakan butuh waktu empat bulan.
“Tidak bisa dapat bantuan operasi kalau bukan warga Purworejo, untuk beralih kependudukan, butuh waktu empat bulan. Padahal dokter bilang Satria harus segera dioperasi untuk membuat lubang pada anus, selain itu luka pada lubang anus sementara di perut Satria juga sudah mulai infeksi,” terangnya.
Kondisi Satria tercium oleh Hardjanto. Ia didampingi relawan IOF Purworejo, unsur TNI, Polri, dan jurnalis, datang ke rumah kos Fitri Ana di Kelurahan Sindurjan Kecamatan Purworejo. Setelah memastikan dan menyimpulkan Muhammad Satria Assidqi butuh bantuan cepat, informasi pun disebar.
Hardjanto menginisiasi penggalangan dana bantuan untuk operasi. Seluruh komunitas mobil ekstrem ia hubungi, dan bantuan pun cepat terkumpul. Hanya butuh beberapa hari, nilainya sudah mencapai dua puluhan juta rupiah. Sudah lebih untuk biaya operasi yang kira-kira nilainya sekitar lima belas juta rupiah.
Tidak hanya itu, berkat viralnya pemberitaan Satria di media massa, Hardjanto pun mendapat kontak dari RS Elisabeth Semarang. Rumah sakit itu siap mengoperasi Satria secara gratis, yang penting anak itu diantar ke Semarang. Hardjanto pun menyanggupi dan menghubungi sopir ambulans rekanannya.
Gayung lain juga bersambut, apa yang menjadi harapan terdalam Hardjanto pun terjawab ketika pemerintah kabupaten bertindak dengan membawa Satria ke RSUD Dr Tjitrowardojo Purworejo untuk mendapat penanganan. “Senang rasanya akhirnya Satria ditangani dan ketika itu saya yakin bahwa penanganannya pasti bakal sampai tuntas. Pihak RS Elisabeth Semarang juga tidak masalah,” ungkapnya.
Kendati demikian, penggalangan donasi tetap dipertahankan dan rencananya akan diserahkan kepada Satria setelah anak itu selesai operasi. “Nanti akan kita buatkan rekening tabungan atas nama ibunya Satria, lalu kita pantau bersama perkembangan selanjutnya,” ucapnya.
Sosok Hardjanto ternyata memang sudah malang melintang di dunia kemanusiaan. Tidak hanya soal sapi masuk sumur dan bayi lahir tanpa anus, Hardjanto juga memfasilitasi beberapa keluarga tidak mampu memiliki rumah layak huni. Ia bekerja sama dengan Kodim 0708 Purworejo, komunitas pegiat otomotif, dan beberapa organisasi relawan.
Mbah Paisah (85) nenek renta warga Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Joyo (80) kakek sebatang kara di Desa Ketangi, Kecamatan Purwodadi, dan Mujiati (60) janda warga Desa Kaliurip, Kecamatan Bener, adalah contohnya. Sekarang mereka tinggal di rumah layak huni, tidak lagi kehujanan dan pengap.
Aksi sosial dan hajat politik sesaat
Soal kebencanaan pun Hardjanto sigap. Lima mobil penyelamat ia bangun untuk mengantisipasi berbagai bencana atau evakuasi kendaraan yang kecelakaan. Kecelakaan maut truk trailer di tanjakan Desa Kalijambe Kecamatan Bener dan truk masuk jurang di Desa Durensari Kecamatan Bagelen, keduanya ‘selesai’ berkat bantuan Hardjanto.
Ia juga memberangkatkan anak sulungnya Djihantama Hardjanto ke Semarang ketika banjir melanda kota itu beberapa waktu lalu. Djihan membawa satu mobil rescue untuk mengevakuasi warga dan mengirimkan bantuan logistik ke wilayah yang terisolasi akibat banjir.
“Kalau urusan bencana, saya persiapkan betul, mobilnya juga khusus, pakai ban raksasa berdiameter satu meteran. Saya juga siapkan dua puluh jaket pelampung untuk antisipasi banjir,” tuturnya.
Bagi orang yang paham politik, barangkali memaknai apa yang dilakukan Hardjanto sebagai aksi politis. Hardjanto bakal dianggap punya hajat tersembunyi untuk mendapatkan sesuatu. Entah jadi lurah, anggota legislatif, bupati, gubernur, bahkan presiden.
Tawaran itu, diakui Hardjanto memang ada. Ia pernah dirayu tokoh politik untuk terjun ke dunia tersebut. Tidak heran memang kalau ada banyak ajakan. Lingkaran pertemanan Hardjanto di dunia offroad Indonesia yang begitu luas. Ada banyak relasinya yang petinggi parpol atau menduduki jabatan mentereng di tingkat kabupaten hingga pusat.
Tapi, Hardjanto bergeming. Tidak mau. Ia mengaku tidak memiliki secuil pun pikiran untuk memanfaatkan aksinya demi suatu hajat politik. “Tidak punya pamrih sedikit pun, saya sudah melakukan aksi ini sejak dulu, dan baru dikenal akhir-akhir ini setelah membangun relasi dengan para jurnalis di Purworejo. Mereka memviralkan, bukan saya yang ingin terkenal, tapi dengan diviralkan, maka semakin banyak peluang donasi,” tuturnya.
“Aku tulus kok, ora (tidak) modus,” tegasnya.
Hardjanto juga enggan berpolitik yang disebutnya dunia abu-abu. “Yang jelas, dunia politik bertentangan dengan nurani saya, meski sebagian besar kawan di komunitas adalah orang politik,” ucapnya.
Suami dari Atik Tumiyati dan ayah dari Djihantama Hardjanto, Figa Laksmana Hardjanto, dan Bonanta Ramadan Hardjanto itu mengaku sudah nyaman dengan kondisinya sekarang. Secara ekonomi bisa dikatakan lebih dari cukup, kawannya pun banyak, dari Sabang sampai Merauke. “Sudah Mas, saya sudah nyaman seperti ini. Ditambah lagi bisa berbagi dengan sesama mahluk, tidak hanya manusia tapi juga binatang dan lingkungan,” katanya.
Jungle Man dan Ki Lurah Offroad
Hardjanto amat sangat lekat dengan dunia olahraga otomotif ekstrem offroad. Ia bergulat dalam dunia mobil berpenggerak 4×4 itu sejak tahun ’90-an, terutama setelah Hardjanto khatam belajar mesin dari teknisi khusus jip yang tenar kala itu.
Ia membuka usaha bengkel sendiri dan terjun langsung membangun komunitas offroad, tidak di Purworejo, tapi berskala nasional. Kawan dekatnya kala itu adalah legenda offroad Indonesia macam Alex Pri Bangun, Syamsir Alam, dan Yuma Wiranatakusumah. Dua nama terakhir yang pernah mendapat program Thousand Miles di Trans 7 itu, hingga saat ini terus mewarnai dunia ‘mobil pacul’ Indonesia. Ya bersama Hardjanto membangun organisasi induk IOF selama hampir tiga puluh tahun ini.
Bengkel yang dibuka Hardjanto juga laris manis. Pelanggannya dari penggemar biasa hingga politisi kelas wahid. Sudah ratusan mobil yang dibangun. Mobil-mobil itu kini menjelajah belantara, menjajah jalanan non-aspal di seantero negeri.
Soal prestasi dalam kejuaraan, juga sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Sejak pertama kali bermain kubangan, sudah banyak kejuaraan yang diperoleh. Sampai-sampai Hardjanto tidak ingat semuanya. Ia, baru ingat setelah saya menanyakan foto wajah berukuran 12R, yang di bawahnya ada tulisan Jungle Man.
“Oh itu, Jungle Man itu anugerah yang didapat ketika ikut kejuaraan internasional Rainforest Challenge di Malaysia tahun 2015, pesertanya offroader dari sekitar empat puluh negara. Ketika itu saya finis nomor sembilan dan mendapat sebutan Jungle Man,” terangnya.
Lantas kalau Ki Lurah Offroad? Hardjanto menjelaskan bahwa anugerah itu bukan berkat keikutsertaannya dalam sebuah kompetisi. “Itu nama yang saya buat sendiri. Mengapa Ki Lurah? Karena terinspirasi dengan Ki Lurah Semar, tokoh wayang idola saya. Adapun ada tambahan kata offroad, terkandung maksud bahwa saya yang orang tua ini berharap bisa membimbing para offroader muda, seperti Semar mengasuh para Pandawa,” terangnya.
“Urip iku Urup” atau hidup itu menghidupi, adalah filosofi dari Ki Lurah Semar, yang menurut saya juga dilakukan Ki Lurah Offroad Hardjanto. Ada lagi pitutur luhur Ki Semar yang berbunyi “Kang sinebut ing gesang ambeg linuhung, kang wus tanpa sama, iya iku wong kang bangkit, amenaki manahing sasama-sama.” Artinya hidup yang luhur, tanpa tandingan, adalah orang yang mampu membahagiakan sesama. Kata-kata mutiara barusan juga sekiranya seirama dengan apa yang dilakukan oleh Hardjanto.
Filosofi Ki Semar yang diejawantahkan Hardjanto menjadi sikap ‘tandang’ atau cepat bergerak, begitu mengendus ada persoalan yang dihadapi orang biasa seperti dirinya. Sebab bagi Ki Lurah Offroad ini, berbuat kebaikan itu harus sederhana, harus cepat, jangan pakai rumit.
Reporter : Sarwo Sembada
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Tobeko dan Anak Muda yang Memilih Melinting Tembakau Sendiridan liputan menarik lainnya di Susul.