Hobi fotografi punya bonanza atau sumber kebahagiaan dan keuntungan tersendiri. Salah satu genre yang menarik dan unik adalah fotografi miniatur. Di Makassar, Sulawesi Selatan, pencintanya sudah meraup untung dari hobi ini. Terlebih ia melakukannya cukup dari rumah.
***
Mojok menemui Wahyudi atau kerap disapa Chala mendekati petang pertengahan Desember 2021. Ia mengenakan kaos o-neck putih dan celana cingkrang krem duduk di teras rumahnya kawasan perumahan yang letaknya di pinggir Tol Ir. Sutami, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di atas meja kotak tertata kopi hitam dan bungkusan tembakau pabrikan Taru Martani, jemarinya sibuk melinting. Suara air mancur menemani pertemuan kami, ada enam ekor burung bergantian bersaut.
Wahyudi masuk ke rumah berganti baju. Ia keluar dengan membawa beberapa miniature figure berukuran 2-10 cm berskala 1:87, mobil-mobilan yang dicat, pohon-pohonan berukuran 15 cm dan rumah-rumahan. Itu masih segelintir dari ratusan koleksinya. “Kurang lebih 500 an ada kalau mobil ada puluhan, rumah-rumah 10 ada, pohon dua,” kata lelaki 38 tahun itu.
Sudah lima tahun Chala mengoleksi miniatur itu sebagai pegiat miniatur fotografi; genre fotografi yang menggunakan miniatur sebagai objek pemotretan. Jenis fotografi ini diperkenalkan oleh fotografer Tatsuya Tanaka dan Slinkachu.
Chala menjadikan lingkungan rumahnya jadi tempat berkarya: taman, trotoar, kamar bahkan persawahan. Pekerjaannya sebagai seorang redaktur di sebuah media membuatnya punya waktu luang. Ia mengaku hobi fotografi miniaturnya ini dilakoni untuk mengisi waktu luang bersama anak dan istrinya.
Chala mengajak Mojok ke depan rumahnya, mengambil bongkahan batu berlumut lalu ditaruh di dekat jejeran tamannya. Ia masuk mengambil kamera Sony A6000 dan lensa super Takumar 50mm F1/4, keduanya terpasang di tripod. Mulai menyusun diorama, pohon mini serupa beringin di tata paling awal, ayunan ditempel memakai isolasi karet pun dengan figur anak-anak. Mobil van coklat mini terparkir di samping kedua ornamen lainnya.
“Kalau teman-teman bilang, jika foto saya tidak ada mobilannya itu bukan saya,” imbuhnya sambil menaruh figur wanita di depan anak itu.
Butuh waktu 30 menit untuk mengeset objek-objek mini itu. Agar mendapat cerita yang hidup beberapa benda pembanding seperti mur, tumpukan kulit kacang, uang koin, biji-bijian. “Jadi orang bisa berpikir ternyata ini kecil. Jadi tidak menipu. Kadang beberapa fotografer genre ini mulai mengedit dengan Photoshop. Saya selalu usahakan untuk tidak membuat manipulasi, jadi real. Makanya saya tidak pernah memainkan teknik levitasi (objek foto seolah-olah melayang) sampai hapus-hapus background,” tutur Chala.
Bermula dari mainan anaknya yang menumpuk
Ayah dua anak ini berkisah, ketertarikannya dengan fotografi miniatur bermula dari mainan anak laki-laki pertamanya yang menumpuk sampai tiga boks. “Tiap hari saya lihat-lihat (mainan anaknya) tapi kebanyakan Lego. Awalnya itu saya foto-foto baru upload di Instagram, tapi kurang sreg saya rasa, terlalu kental mainannya,” ucapnya.
“Tidak lama ada yang tag saya dengan akun instagramnya Tanaka sama Slinkachu. Saya lihat keren juga kalau foto begini. Di situlah saya mulai belanja miniature figure satu-satu.”
Karakter pertama yang dibeli yakni pemadam. Merk-merk seperti Preiser, Noch, Marklin, Busch didapatkan lewat transaksi jual beli online dan situs lelang, terkadang barter dengan teman sesama pegiat fotografi miniatur. Umumnya koleksinya dibuat di Jerman. “Kalau di Indonesia memang sudah ada yang buat lewat printer 3D itu, tapi tidak detil. Kalau dari luar negeri itu lebih nyata,” jelas Chala.
Dua tahun pertama menggeluti hobi itu, ia lebih banyak membeli karakter. Koleksi paling langka yakni satu set Tour The France, karakter pembalap sepeda internasional. Urusan budget ia masih irit bicara. Namun jika dipesan dari eBay satu set kecil berisi 6 karakter harganya mencapai Rp250.000, super set isi 60-80 karakter sampai Rp2 juta.
“Ada juga satu karakter saja, itu harganya Rp100-150 ribu itu mahal karena lebih detail,” ucapnya. Karakternya beragam mulai dari keluarga, profesi pemadam, fotografer, petugas kesehatan, astronot, kuli bangunan, olahragawan dan macam lainnya.
Tahun berikutnya ia mulai membeli kendaraan mini. Koleksinya paling langka yakni dua set kendaraan antik kerajaan merk Marklin, tiap kotaknya berisi tiga mobil. Di luar koleksi tersebut umumnya mobilannya dicat ulang dan sengaja dirusakan. “Biar lebih hidup, estetika kelihatannya. Dibikin kelihatan kumuh, ringsek,” tuturnya.
“Rumah saya bikin sendiri. Bikin gambarnya dulu modelnya saya bandingkan dengan ukuran asli, misalnya tinggi rumah itu 4 meter, saya bagi 87 terus dirakit. Dari pada beli lumayan juga harganya bisa Rp400.000 sampai jutaan. Sebisa mungkin saya pakai bahan-bahan yang mudah didapatkan, waktu (pengerjaan) seminggu. Modelnya ada yang bengkel, kamar mandi, termasuk rumah Toraja. Yang itu rumah Toraja saya bikin sampai 2 bulan.”
Ide dan imajinasi jadi aspek penting fotografi miniatur
Kemampuan fotografi Wahyudi alias Chala didapatkan dari materi kuliah. Dia belajar 2 semester bidang itu di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Fajar Makassar pada 2002. “Dan dosen saya melarang kami pakai kamera digital. Jadi kami pakai kamera manual yang pakai rol. Waktu ujian satu jepretan satu orang, karena pakai rol. Kalau dibilang otodidak tidak juga, karena itu,” katanya.
Menurut Chala, ide dan imajinasi adalah aspek penting untuk mendapatkan foto yang ciamik. Ide didapatkan dari keseharian orang-orang dan isu yang sedang tren di masyarakat. “Seperti kejadian Setya Novanto, anggota DPR RI itu yang kecelakaan, fotonya itu meledak. Jadi saya buat paku itu bengkok terus saya kasih perban lumuri darah sedikit. Terkesan tiangnya yang luka parah, bukan si Setnov itu. Saya bikin sekuelnya ada 5 foto itu,” ungkapnya diiringi tawa kecil.
Hobi yang datangkan rezeki
Genre fotografi ini mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 2013. Di beberapa negara genre fotografi ini bisa jadi prospek cuan. Chala termasuk penggiat pertama di Makassar. Ia memamerkan karya-karyanya di Instagram @wahyudichala. Dia mengatakan sudah banyak kerjasama brand luar negeri untuk memakai jasanya keperluan komersial. Salah satunya brand pasta gigi asal Italia: Marvis.
“Jadi Marvis ini mengumpulkan seniman foto di dunia untuk kerjasama tematik, dulu beberapa kali event ulang tahun brand itu. Foto-fotonya dimuat di majalah dan kalender. Marvis kirim produknya, dulu dibayar dolar, kalau di rupiah kan itu bisa sampai Rp15 juta.”
Lalu brand permen asal Amerika Bubble Gum. “Ada juga warung makan, brand minuman, roti,” ucapnya.
“Jangan salah banyak brand dan fotografer luar negeri yang puji fotografer Indonesia, karena kita memanfaatkan alam. Itu kelebihannya. Tapi kan ini hobi, kalau ada yang bayar karya kita itu bonus apa lagi sampai dibayar dolar begitu. Orang senyum-senyum lihat foto kita, sudah senang sekali,”
“Kalau seni itukan tidak bernilai. Saya rasa mengoleksi ini tidak rugi, bisa jadi investasi juga,” ungkap pria kelahiran Makassar ini.
Instagram adalah ladang, menurut Chala. Ia mulai mempelajari algoritma platform yang dibuat oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger tersebut. “Memperhatikan jam-jam orang aktif Instagram. Kalau malam itu jam setengah 10-an. Kalau pagi jam 11-an,” katanya. Instagram pulalah wadahnya berjejaring sesama pegiat, pun tempatnya menjual koleksinya. “Kadang ada yang DM berapa mobil-mobilannya. Saya kan memodifikasi ini (mobil-mobilan) dengan teknik pelapukan. Nah itu banyak yang tertarik.”
“Kalau menurut kawan saya yang juga fotografer miniatur, Cak Soekir, orang Semarang, dia bilang saya konsisten dengan konsep dan ide, tema-tema alam. Makanya banyak yang tawar karya fotoku dari luar negeri ditambah tidak banyak edit. Sebatas cropping, saturasi, BW (Black and White) itu saja,” ungkapnya.
Chala punya impian untuk menggelar pameran tunggal, namun mentok di pendanaan. Tujuannya untuk memberitahu banyak orang bahwa fotografi miniatur bisa jadi ladang cuan. “Mudahan-mudahan ada yang berminat jadi sponsor. Meskipun pameran kecil. Saya mau kasih lihat, di rumah pun kita bisa usaha, kita bisa jualan, kita bisa berkarya.”
“Nanti konsepnya saya bikinkan diorama, di atasnya ada fotonya. Orang yang datang mau lihat saja, mau ikut coba memfoto bisa. Itu cita-cita saya: pameran.”
BACA JUGA Pluralisme Songkok dan Alkitab Bahasa Madura Satu-satunya dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.
Reporter : Faisal Mustafa
Editor : Purnawan Setyo Adi