Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang merupakan bank dengan nasabah terbanyak dan dikenal merakyat, ternyata dulunya dikhususkan untuk kalangan priayi atau golongan terhormat. Gara-gara suka pesta, orang-orang dari golongan terhormat itu banyak yang pinjam ke rentenir.
***
Di usia berapa kamu baru tahu kalau BRI ternyata mulanya merupakan bank priayi di Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas—kota kecil yang ada di kaki Gunung Slamet? Jika suatu saat kamu berkunjung ke Purwokerto naik kereta, keluarlah dari pintu stasiun dan jalan lurus ke selatan melewati Jalan Setasiun sampai mentok, kemudian belok kiri sampai melewati jembatan Kali Banjaran.
Dari situ kamu akan melihat lampu merah. Tepat di belokan, ada sebuah gedung biasa saja berwarna krem. Itulah Museum Bank Rakyat Indonesia (BRI). Di seberang Selatannya terletak Kodim 0701, seberang timurnya berdiri kantor BRI.
Bangunan itu selalu sepi setiap saya melewatinya. Berkali-kali rencana berkunjung ke sana gagal, terutama saat pemerintah memberlakukan PPKM level 3-4. Sudah begitu, tak ada pula media sosial yang menjelaskan dengan baik mengenai jam buka Museum BRI. Pernah juga saya ke sana hari Jumat sekitar pukul 1 siang mampir dari stasiun, ternyata katanya Jumat tutup pukul 12.00 WIB.
Suatu hari akhirnya saya berhasil ke sana ketika museum masih buka. Kamis (18/11/2021) pukul satu siang, ada dua pria paruh baya duduk berhadapan di depan pintu museum. Mereka berdebat entah tentang apa. Seorang di antaranya bertanya apa keperluan saya.
“Mau ke museum, Pak.”
“Oh, ya. Silakan diisi buku tamunya. Nanti langsung masuk saja. Ini lantai dua, ya, Mbak.”
Rupanya setelah masuk museum, ada tangga melingkar di sebelah kiri yang mengarah ke bawah. Museum itu cukup luas, sekira 20 x 20 meter persegi. Bayangan saya isinya hanya diorama sebagaimana museum pada umumnya.
Perkiraan saya salah. Bukan hanya diorama, ternyata di Museum BRI ini terdapat pula mata uang dari zaman VOC hingga mata uang RI pascakemerdekaan hingga mesin hitung uang yang sangat kuno.
Saya mulai menyusuri diorama. Baru satu diorama, tiba-tiba bapak penjaga buku tamu melongok dari balik pintu dan setengah berteriak, “Mbak! Nanti kalau mau foto, bilang saja, ya.” Saya terkejut dan mengucapkan terima kasih.
Sesungguhnya saya mengharapkan kehadiran satpam—yang saya kira akan menjadi guide karena si bapak penjaga buku tamu tadi mengatakannya seolah demikian. Tapi karena tak kunjung datang, ya sudah, saya berkeliling sendiri.
Diorama-diorama yang berderet di sana itulah yang menceritakan sejarah kelahiran Bank Rakyat Indonesia. Dalam kotak-kotak kayu dan kaca itu, tampak bentukan pertama kantor BRI—yang saat itu tentu saja belum bernama BRI.
Lalu, apa namanya dan bagaimana perjalanannya dari sebuah bank priayi hingga menjadi bank milik rakyat yang kini tersebar hingga ke pelosok desa?
Berawal dari pesta priayi
Saat ini, BRI dikenal sebagai bank penyalur Kredit Usaha Rakyat (KUR) terbesar di Indonesia. Selain KUR, produk BRI yang begitu terkenal dan lekat dalam ingatan saya adalah Simpedes (Simpanan Masyarakat Pedesaan). Bahkan, acara perayaan dan bagi-bagi hadiahnya bertajuk Pesta Rakyat Simpedes serta dirayakan di pasar rakyat. Artinya, BRI ini erat dengan rakyat kecil, sebutlah pedagang pasar, petani, sampai profesi informal lainnya.
Nah, siapa sangka akar dari bank yang begitu merakyat ini justru berasal dari kalangan priayi? Di Museum BRI cerita tentang pendirian bank ini tertulis jelas.
Jadi, ceritanya, seorang Patih Banyumas bernama Raden Bei Aria Wijaatmadja datang ke pesta khitanan seorang guru pada tahun 1894. Guru pada zaman dahulu masuk golongan priayi, karena merupakan pegawai yang bekerja di bawah pemerintah. Bahkan, sampai ketika saya sudah lahir pun, guru masih dianggap priayi, sekalipun gajinya relatif biasa saja dan seperti yang banyak dikatakan orang—menggadaikan SK PNS untuk hidup.
Pada zaman Raden Bei Aria Wirjaatmadja pun, tak masuk akal apabila seorang guru bisa menggelar pesta besar-besaran. Raden Bei Aria Wirjaatmadja pun terheran-heran pada pesta yang dihadirinya itu. Barangkali dalam pikirannya, “Ini guru korupsi dana apa, ya, kok bisa bikin pesta semewah ini?”
Seandainya saat itu sudah ada KPK, mungkin sesaat sebelum tengah malam sang guru akan terjaring OTT. Pesta itu begitu mewahnya: dihadiri oleh para pembesar, penuh hidangan lezat, dan bahkan ada tayuban—pertunjukan tari tradisional yang merupakan simbol kemewahan bagi pesta masyarakat Banyumas kala itu.
Raden Bei Aria Wirjaatmadja tak sembarangan berburuk sangka. Alih-alih suudzon, ia langsung bertanya kepada sang guru. Rupanya, uang untuk menyelenggarakan pesta itu bukan dari korupsi, melainkan hasil pinjaman dari rentenir dengan bunga yang sangat tinggi, di luar kemampuan guru untuk melunasi.
Raden Aria jatuh iba kepada sang guru, lalu memberikan pinjaman dengan bunga rendah untuk membantu melunasi utangnya. Jadi, ternyata konsep gali lubang tutup lubang juga sudah ada sejak abad ke-19.
Setelah memberikan pinjaman dengan bunga ringan kepada sang guru, Raden Aria rupanya menemukan bahwa bukan hanya satu orang yang bermasalah, tetapi ada banyak lagi priayi dengan persoalan serupa. Kebetulan, Raden Aria saat itu sedang mengelola uang kas masjid. Dari jiwa suka menolongnya itu timbul ide untuk mengelola uang sebanyak f.4000 dari kas masjid untuk menjadi dana bantuan pinjaman berbunga ringan.
Niat itu baik, memang, tapi keliru caranya. Alhasil, ia dilarang oleh Asisten Residen E. Sieburgh. Pokoknya, kas masjid hanya boleh untuk keperluan masjid. Begitu. Tapi, pelarangan ini berbuntut manis. Sebab setelahnya turun surat resmi untuk mendirikan bank perkreditan rakyat pertama bagi pribumi. Niat baik rupanya berbuah baik kali ini.
Tanggal 16 Desember 1895, Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan Pribumi) akhirnya beroperasi untuk pertama kalinya.
De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouw Credietbank
Mungkin karena namanya yang panjang dan berbahasa Belanda, Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren lebih dikenal sebagai Bank Priayi oleh masyarakat luas. Rakyat jelata tidak berhak menyimpan dan meminjam uang di sini, sesuai namanya: untuk Pangreh Praja. Jadi, intinya buat mencegah Pangreh Praja jatuh ke cengkeraman rentenir saja.
Proses kreditnya juga jauh berbeda dengan masa kini. Kalau sekarang, peminjam langsung berhubungan dengan bank. Dulu, calon peminjam Bank Priayi harus mendaftar terlebih dahulu kepada kepala desa. Selanjutnya, baru tahap wawancara oleh petugas bank.
Peran kepala desa sangat penting di sini, kaitannya dalam memberikan rekomendasi atas calon peminjam. Nah, pengumuman pinjaman disetujui atau tidak juga disampaikan melalui kepala desa. Bayangkan jika hal itu masih terjadi di masa sekarang. Mau ditaruh mana muka kita, Bun?
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1898 Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren mengalami reorganisasi dan namanya berubah jadi De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouw Credietbank (Bank Bantuan, Simpanan dan Kredit Usaha Tani Purwokerto). Nah, di sini sudah mulai terlihat keberpihakannya kepada rakyat kecil, yaitu petani. Bank ini beroperasi di bawah pengawasan Asisten Residen Banyumas W.P.D. de Wolff van Westerrode.
Sebagai informasi, Banyumas saat itu merupakan wilayah karesidenan yang terdiri atas lima kabupaten, yaitu Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Kebumen. Dengan kata lain, karesidenan Ngapak.
Setelah berganti nama jadi De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouw Credietbank, sebutannya di kalangan masyarakat umum pun berubah dari sebelumnya Bank Priayi menjadi Bank Rakyat. Bank ini diproyeksikan menjadi sentral dari bank-bank koperasi di pedesaan.
Menjadi BRI bersamaan dengan kemerdekaan RI
Bank Priayi yang lalu jadi Bank Rakyat masih tetap dengan nama Belanda lantaran saat itu Indonesia masih berada dalam cengkeraman pemerintah kolonial Hindia Belanda. Keadaan berubah saat orang-orang yang mengaku saudara dari Timur datang ke Indonesia pada tahun 1942, yaitu Jepang.
Pendudukan Jepang di Indonesia—meskipun hanya tiga tahun (1942-1945)—meninggalkan bekas luka yang mendalam. Pemerintah pendudukan Jepang mengambil alih lembaga-lembaga vital, termasuk bank. Bank Priayi/Bank Rakyat kembali berganti nama menjadi Syomin Ginko. Syomin berarti rakyat dan Ginko berarti bank. Jadi tetap, Bank Rakyat.
Ketika pada akhirnya Jepang kalah dan menyerah pada Sekutu tahun 1945, Syomin Ginko kembali ke pelukan rakyat Indonesia dan akhirnya berganti nama secara resmi pada Februari 1946 menjadi Bank Rakjat Indonesia (BRI). Inilah BRI yang kita kenal sampai sekarang.
Tahun 1960, BRI juga pernah melebur bersama Bank Tani dan Nelajan (BTN) serta Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi, Tani, dan Nelajan (BKTN). Hal ini dilakukan karena pemerintah prihatin terhadap nasib petani dan nelayan kala itu.
Lima tahun kemudian, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelajan (BIUKTN) diintegrasikan ke dalam BNI Unit II hingga tahun 1968. Sayangnya, tak ada penjelasan kapan BRI kembali jadi unit terpisah dari BKTN.
Uang kuno zaman VOC dan Majapahit hingga mesin hitung
Selain diorama yang menceritakan sejarah panjang BRI, ada banyak lagi benda-benda menarik yang terdapat di Museum BRI. Di lantai atas yang sejajar dengan pintu masuk, terdapat diorama, uang kuno dari zaman Majapahit yang berupa kepeng (uang dengan lubang di tengah), uang zaman VOC, zaman Belanda, sampai zaman kemerdekaan.
Rupanya, saking daruratnya keadaan pasca kemerdekaan RI, pemerintah sempat merilis uang darurat yang berlaku secara khusus di daerah, misalnya di Banten, Jawa, Palembang, Lampung, dan lain-lain.
Selain itu, di museum ada pula pakaian Raden Bei Aria Wirjaatmadja di lantai atas yang terdiri dari pakaian sehari-hari hingga pakaian dinas.
Turun ke lantai bawah, terdapat puluhan mesin hitung dan mesin tik serta brankas dan peti besi tempat menyimpan uang pada zamannya. Setiap mesin dan brankas serta peti memiliki keterangan tersendiri yang mencakup nama dan tahun penggunaan. Rasanya bisa membayangkan bagaimana pegawai BRI bekerja menggunakan alat-alat itu. Apalagi, ada diorama yang menggambarkan keramaian suasana BRI zaman dulu.
Di sisi kiri Museum BRI, terdapat satu bangunan yang masih berada dalam satu kompleks. Bangunan itu kecil saja, sekitar 30 meter persegi, kira-kira. Hanya terdiri atas satu ruangan. Warnanya krem, dengan tulisan HULP EN SPAAR BANK PURWOKERTO anno – 1895. Menurut keterangan satpam yang saya temui setelah ia selesai beristirahat, bangunan ini merupakan replika dari kantor BRI pertama.
Di dalam kantor terdapat pula replika Raden Bei Aria Wirjaatmadja yang sedang memeriksa berkas dua calon peminjam yang duduk di hadapannya. Di sisi kanannya terdapat meja yang dikelilingi empat alas duduk lesehan.
Masih dalam satu kompleks yang sama, terdapat patung besar Raden Bei Aria Wirjaatmadja yang dikelilingi air mancur dan taman yang terawat rapi.
Nama Raden Aria Wirjaatmadja pada akhirnya diabadikan menjadi nama jalan di sisi Timur museum ini berdiri, yaitu Jl. RA Wiryaatmaja atau yang lebih sering disebut sebagai Jalan Bank.
Info lokasi
Jika suatu saat kamu berkesempatan datang ke Purwokerto dan ingin mengunjungi Museum BRI, kamu bisa jalan kaki atau naik becak dari stasiun ke sini. Naik ojek online boleh saja, tapi tidak disarankan karena kamu tetap harus berjalan ke arah Underpass Soedirman, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari Museum BRI. Tanggung.
Museum ini berlokasi di Jl. Jend. Soedirman No. 57, Pesayangan, Kedungwuluh, Purwokerto Barat. Jam bukanya Minggu – Kamis 08.00-14.00. Selain itu libur.
Museum ini sebenarnya potensial untuk jadi tempat wisata alternatif selain Baturaden, karena letaknya yang begitu dekat dengan stasiun dan pusat kota. Sayangnya, tidak ada media sosial miliknya yang aktif. Bahkan, pemandu wisata pun tidak ada.
Ketika saya bertanya kepada satpam yang bertugas, rupanya ketiadaan pemandu museum ini sudah lama, sejak sebelum pandemi. Kira-kira tahun 2019, kata dia.
“Dulunya ada, Mbak, tapi lalu keluar karena diterima CPNS. Lalu tidak pernah ada pengadaan atau bukaan lagi untuk guide.” (*)
BACA JUGA Jualan Mie Sapi Banteng, Satria Tinggalkan Sekolah Kuliner di Singapura dan liputan menarik lainnya di Susul.