Suara Warga Malioboro di Hari Relokasi PKL

Relokasi PKL Malioboro mulai dilakukan. Seluruh PKL Maliboro akan dipindah secara bertahap hingga bulan depan. Mereka akan menempati kantong-kantong PKL yang telah disediakan oleh pemda. Di hari pertama relokasi, Mojok melakukan reportase lapangan dan meminta pendapat warga Malioboro. Berikut laporannya.

***

Bakda asar, Rabu (26/1), orang-orang menyemut  di depan lokasi bekas Bioskop Indra, Malioboro. Satpol PP dan petugas pemda berjaga di akses masuk tempat itu. Di lokasi itu berdiri gedung beraksen industrial. Fasad depannya kaca, berlantai tiga dilengkapi lift dan eskalator, hingga lampu-lampu yang membentuk tulisan “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan…”

Sentra PKL Malioboro mojok.co
Gedung eks Bioskop Indra yang kini jadi gedung sentra PKL Malioboro. (Arif Hernawan/Mojok.co)

Tertulis nama bangunan itu, termasuk dalam aksara Jawa, ‘Teras Malioboro’. Gedung ini merupakan satu dari dua tempat relokasi untuk para pedagang kaki lima (PKL). Sekitar 800 PKL yang tersebar di sepanjang Malioboro akan dikumpulkan di gedung ini secara bertahap hingga pertengahan bulan depan.

Hari itu, Teras Malioboro diresmikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam acara bertajuk ‘wilujengan’. Akses di acara itu hanya diberikan ke jajaran pemda dan sejumlah perwakilan pedagang yang bersedia pindah ke tempat itu.

Peresmian Teras Malioboro oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. (Arif Hernawan/Mojok.co)

“Kalau (PKL Malioboro) tidak diatur, saya ikut melanggar karena sebagian bukan aset pemda. Juni nanti UNESCO datang untuk melakukan verifikasi Malioboro sebagai heritage. Jangan sampai ini jadi temuan,” kata Sultan.

Dari Jalan Malioboro, orang-orang masih melongok ke arah gedung itu. Aparat masih berjaga. Langit gelap. Mendung menebal.

Pendapat warga

Dari andongnya yang mangkal di utara Pasar Beringharjo, Mujiran (71) sempat menengok sebentar ke keramaian itu. Namun dengan wajah acuh tak acuh, pak kusir yang sedang tak bekerja mengendali kudanya ini kembali menyandarkan punggung ke kursi dokarnya.

“Sehari ini belum narik. Kalau sekarang kerep blas ndak narik,” ujar warga Ngablak, Pleret, Bantul yang telah 40 tahun menjadi sais ini saat ditemui Mojok.

Sejak sekitar tujuh tahun silam, ia mangkal di Malioboro. Wisatawan biasa meminta putar-putar dari Malioboro, Keraton, Tamansari, lalu balik lagi ke Malioboro. Sekali putar tarifnya Rp100 ribu-Rp150 ribu untuk 2-5 orang penumpang. “Tapi sekarang sepi. Kalau dulu gayeng bisa sampai Gembiraloka,” katanya.

Mujiran saat ditemui Mojok. (Arif Hernawan/Mojok.co)

Mujiran tahu PKL bakal tak boleh jualan di jalan lagi dan akan dipindah di eks Indra dan sisi utara Malioboro. Tapi, ia belum tahu kalau sore itu hari H-nya dimulai relokasi yang membuat kehebohan di ujung Malioboro yang dilihatnya itu.

“Kalau saya terserah pemerintah. Mboten ngefek,” ucap bapak dua anak dan simbah tiga cucu ini.

Menurut dia, selama ini dia biasa pindah-pindah tempat mangkal dari Mal Malioboro hingga Hotel Inna Garuda. Namun, ia yakin relokasi membuat penumpang andongnya berkurang. Saat ini paling ramai andongnya bisa diorder dua hingga lima kali putaran dalam sehari.

Selebihnya, ya itu tadi, tak ada penumpang sekali. Apalagi jika pengunjung wisata nglumpuk hanya di dua lokasi PKL. “Paling mundak sepen. Sepi dalane nek (relokasi) ngono kui. Bayangan kulo njih sepi,” ujarnya.

Sore itu, di bawah mendung, di hari pertama pencanangan relokasi oleh pemda, aktivitas Malioboro tetap berdenyut  seperti biasa. Pengunjung lalu lalang, sekadar lihat-lihat, mampir menawar, atau bahkan memborong ‘produk’ Malioboro. Para penjual, yang ada di emperan atau di dalam toko, pun siaga menjajakan dagangan

Namun sejumlah pemilik dan pengurus toko yang ditemui Mojok, enggan menyampaikan pendapatnya soal relokasi PKL. “Maaf ndak komentar dulu. Nanti takutnya ada yang salah,” kata seorang bapak pemilik toko busana. “Kami cuma kerja di sini mas. Ndak tahu soal relokasi,” jawab laki-laki di toko makanan.

Para pemilik toko  sebenarnya tak memasalahkan kehadiran PKL di trotoar Malioboro selama ini. Namun dengan catatan, para PKL tersebut berlaku tertib. Hanya saja, masih ditemui pedagang kaki lima yang melanggar ketentuan, seperti ukuran dan posisi lapak jualan mereka. Selain itu, soal kebersihan, seperti sisa air dan makanan yang kadang tak diberesi.

Owner sebenarnya tidak terlalu (memasalahkan) PKL. Dari dulu sudah ada, Kami juga tidak pernah langsung menyuruh PKL pindah. Owner, Pak Herry, dulu kan mantan wali kota, jadinya paham,” kata Astuti, pimpinan unit Batik Margaria 1, usaha batik milik Herry Zudianto, eks Wali Kota Yogyakarta.

Saat menemukan PKL yang kurang, pengelola toko biasanya langsung akan menegur. PKL pun bersedia membenahi. Namun tak jarang kejadian tersebut terulang lagi. Hal ini diduga karena sejumlah lapak PKL itu disewakan oleh pemiliknya.

“Karena mungkin orang banyak ya. Kadang di depan (lapak PKL) sampai setengah etalase (toko) jadi menutupi. Harusnya enggak seperti itu. Harusnya juga ada penggerak dari koperasi (PKL) untuk mengatur,” ujarnya.

Batik Margaria di Malioboro. (Arif Hernawan/Mojok.co)

Kendati relokasi sudah ditentukan, pemilik toko belum menentukan langkah selanjutnya  dan akan mengikuti arahan pemda. Yang jelas, area bekas jualan PKL tak boleh digunakan secara sembarangan pemilik toko.

“Kami mengikuti alur saja. Putusan pemerintah kami hargai. Dalam pembahasan terakhir, toko juga tidak boleh menggunakan trotoar semau kita,” katanya.

Manager Starbucks Malioboro, Rizky Anugerah, menyebut PKL telah menjadi ciri khas Malioboro. Meski membuat area itu jadi rapi, pemindahan PKL bakal mengurangi karakter jalan ini. “Dari dulu sini memang pasar kan. Mungkin (cirinya) akan sedikit hilang,” ujarnya.

Menurutnya, sejak dibuka di Malioboro pada 2016, gerai kopi Starbucks tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran PKL. “PKL ciri Malioboro dan jadi partner kami karena saling melengkapi, Pedagang sekitar juga support kita. Ngotori nggak. Enggak ganggu sama sekali,” tuturnya.

Dengan relokasi PKL, area depan Starbucks jadi terbuka. Kedai kopi asal Amerika Serikat ini juga bakal lebih rapi. “Kami akan rapikan tempat lagi, dicat lagi, karena biasanya tertutup. Tapi enggak akan nambah tempat,” kata Rizky.

Relokasi jalan terus

Pemda DIY menyediakan dua tempat relokasi. Jika eks bioskop Indra adalah Teras Malioboro 1, lokasi kedua, Teras Malioboro 2, berada di eks lahan Dinas Pariwisata, sisi utara Malioboro. Teras Malioboro 2 berupa los atau selter dengan kapasitas sekitar 1000 PKL.

Dari seberang jalan, Jono (72) menatap hampa ke selter yang masih kosong itu. “Kalau becak njih mboten wonten pengaruhe. Podo wae,” kata tukang becak onthel ini, datar.

Warga Pandak, Bantul, ini sudah 20 tahun lebih menarik becak di Malioboro. Ia satu dari segelintir tukang becak onthel yang masih bertahan saat kini didominasi becak motor alias bentor.

Jono saat berbincang dengan Mojok. (Arif Hernawan/Mojok.co)

Ia bilang tak masalah jika PKL dan pengunjungnya tersebar atau terpusat di satu tempat seperti di Teras Malioboro ini. Yang penting mau naik becak, wong ya cuma Rp10 ribu. Rezeki itu kan sing mbagi sing Kuwasa,” ucapnya

Jono hanya berharap tempat relokasi itu ramai dan banyak pula yang naik becaknya. Sekarang itu dapat Rp40 ribu-Rp50 ribu sehari itu sudah bagus,” ujar bapak dua anak itu.

Siang itu, lima jam sebelum Teras Malioboro 1 diresmikan, tak jauh dari Teras Malioboro 2 dan tempat Jono menunggu penumpang, suasana juga ramai oleh rombongan. Bukan oleh wisatawan, melainkan oleh ratusan PKL yang berduyun-duyun datang ke gedung DPRD DIY.

Mereka membentangkan poster sederhana—dari kertas karton putih polos dan tulisan dari spidol. ‘Malioboro indah tanpa dipindah’, ‘tunda relokasi’, ‘lapak kecilku sumber penghasilanku’, ‘tolong kami rakyat kecil’, begitu sebagian bunyi poster-poster itu.

Protes relokasi PKL Malioboro oleh sejumlah PKL di Gedung DPRD DIY. (Arif Hernawan/Mojok.co)

Mereka berunjuk rasa di depan gedung DPRD saat perwakilan PKL beraudiensi dengan Panitia Khusus Relokasi DPRD Kota Yogyakarta dan DPRD DIY yang mengundang jajaran Pemda DIY.

Selain tak bakal menunda relokasi, pemda menjelaskan tak akan memenuhi tuntutan jaminan hidup, bahkan dari Dana Keistimewaan—yang besarnya Rp1,3 triliun per tahun itu, sesuai tuntutan PKL. “Seratus persen PKL sudah mendaftar untuk relokasi,” klaim Sekda DIY Kadarmanta Baskara Aji di dalam gedung.

Di luar gedung, sedikitnya 300 orang PKL menyerukan relokasi setidaknya ditunda. Mereka ingin ekonomi tetap berputar tanpa harus lewat kemewahan di tempat relokasi. “Semoga Sultan terketuk hatinya pada kami rakyat kecil,” seru salah satu PKL yang berorasi.

Mengenakan batik, peci, dan pantofel terbaiknya, Sogi Wartono (64) meninggalkan warung angkringan yang dibukanya sejak 1987 di Malioboro dan memilih bergabung di demo. Ia orator tertua yang terlihat di unjuk rasa siang itu.

“Kalau nanti di tempat baru nombok, kami minta siapa. Semua di sini merasa keberatan, Relokasi sebaiknya ditunda. Pemerintah bisa memperbaiki lapak kami dulu biar layak dulu. Ditunda, paling sedikit habis Lebaran. Tapi kalau saya (ditunda) 1-3 tahun. Jadi kami bisa menabung dulu. Dapat modal lah. Kami masih berbenah, punya utang, cicilan numpuk, apalagi ini habis pandemi…”

Reporter : Arif Hernawan
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Tengkleng Bu Edi, Sepincuk Kehangatan dari Pasar Klewer Solo dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version