Joko Pinurbo adalah sosok ayah yang hebat bagi Paska, anak sulung sang sastrawan. Ia kalem, tak pernah marah, dan selalu mendukung jalan yang diambil buah hatinya. Bahkan, ia juga mengabadikan kedua anaknya dalam puisi-puisi indahnya, Surat Malam Untuk Paska (1999) dan Bunga Azalea (2004).
***
Saya merinding saat menghadiri acara mengenang 100 hari wafatnya Joko Pinurbo, salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia. Pasalnya, banyak seniman terkenal, termasuk Butet Kertaradjasa, menghadiri acara yang sekaligus meresmikan nama “Gang Joko Pinurbo” tersebut.
Begitulah kira-kira, ketika saya mampir pada acara yang digelar pada Sabtu (27/7/2024) sekitar pukul 15.00 WIB kemarin di Kampung Wirobrajan, Jogja. Saya, sama antusiasnya dengan ratusan orang lain yang hadir.
Namun, di saat bersamaan, ada hal lain yang bikin saya kaget. Saat Pak Gatot, Ketua RW 04 Kampung Wirobrajan menyampaikan sambutan, beliau berkata bahwa tak menyangka Joko Pinurbo–atau akrab dipanggil Jokpin–adalah seorang penyair terkenal seantero Nusantara. Ia mengaku selama ini “tertipu” dengan penampilan Jokpin yang sederhana. Bahkan, masyarakat Wirobrajan baru mengenal Jokpin sebagai sastrawan nasional pada saat wafat.
“Baru sadar ketika pada saat berkunjung untuk memberikan penghormatan yang terakhir, karangan bunga yang diucapkan pejabat-pejabat yang luar biasa memenuhi sampai pemakaman,” tuturnya pada saat sambutan acara peresmian Gang Joko Pinurbo, Sabtu (27/7/2024).
Setelah beberapa saat saya menikmati penampilan pembacaan puisi, musikalisasi, hingga melukis on the spot, saya bertemu dengan sosok yang dekat dengan Joko Pinurbo tapi tak tersorot media. Ia adalah putra sulung, Paskasius Wahyu Wibisono (32).
Saya mendekat dan mencoba menyapa. Dengan ramah dia membalas sapaan saya. Lalu, saya bertanya mengenai ketidaktahuan warga RW 04 tentang Jokpin sebagai sosok sastrawan terkenal. Hal itu pun dibenarkan olehnya.
Jokpin adalah sosok yang kalem, sama seperti yang dikenal masyarakat
Saya menyingkir sejenak dari panggung untuk mengobrol lebih dalam dengan lelaki yang akrab disapa Paska itu dan menanyakan kesibukannya saat ini. Kami berjalan ke sebuah angkringan yang kebetulan disuguhkan kepada penonton untuk mengisi perut dan menikmati wedangan hangat.
“Saya sekarang ya di rumah sejak waktu bapak sakit untuk merawat, terus habis itu ya nemenin ibu lah sampai sekarang,” ucap Paska saat Mojok wawancarai pada Sabtu (27/7/2024) malam WIB.
“Sampai sekarang ‘kan masih banyak acara dari komunitas, 40 hari, 100 hari, jadi masih banyak kesibukan itu juga,” tambahnya.
Kemudian saya bertanya bagaimana Joko Pinurbo sebagai sosok ayah di mata Paska. Ia menceritakan bahwa Jokpin adalah orang yang kalem, sama seperti yang dikenal banyak orang.
“Jadi ya orangnya itu kalem, nggak pernah marah walaupun saya bikin salah atau apa gitu.”
Paska mengaku begitu bangga, bahwa ayahnya adalah sosok sastrawan yang menjadi panutan, bahkan memengaruhi perkembangan dunia sastra di Indonesia.
Tak cuma bikin dia bangga. Bagi Paska, Joko Pinurbo adalah sosok ayah yang suportif. Contoh paling kecil, ia tak pernah dipaksa untuk menjadi seorang sastrawan, seperti profesi ayahnya.
Tak pernah dipaksa untuk menjadi sastrawan, lebih mendalami bidang komputer
Sejak kecil, Paska sudah didoktrin buku oleh Joko Pinurbo agar memantik minat bacanya. Apalagi dari keluarga Ibunya–Nurnaeni Amperawati Firmina juga merupakan keluarga yang mendalami bidang bahasa.
“Saya pribadi juga penggemarnya puisi bapak, tapi untuk sebagai penulis mungkin belum ya. Tapi untuk minat sastra sebagai penikmat ya pasti ada,” ucap Paska sambil tertawa kecil.
Paska mengenang saat ia ditanya ayahnya tentang minatnya. Ia mengaku tak pernah sekalipun dimarahi dan dipaksa untuk menjadi seorang sastrawan sepertinya. Bahkan ketika akan masuk sekolah SMP, SMA, bahkan kuliah ia selalu diajak berdiskusi untuk menentukan pilihan. Di setiap momen itu, Jokpin cenderung membebaskan Paska untuk memilih bidang apa yang diminati.
“Pas ditanya bapak minat di mana, saya jawab kalau minat di komputer. Bapak justru mendukung, bahkan bapak bilang kalau lahir di era sekarang pasti dia juga mendalami komputer, bukan sastrawan,” kenang Paska sambil tertawa mengingatnya.
Kebanggaan Paska sebagai seorang anak, berterima kasih kepada para penggemar Jokpin
Setelah berbincang-bincang dengan Paska, ia sangat bangga dengan sosok ayah yang menginspirasi banyak seniman di Indonesia. Bahkan ia baru menyadari setelah wafatnya Joko Pinurbo pada 27 April 2024 lalu, banyak sekali teman-teman seniman dan komunitas yang merasa kehilangan.
“Saya pengen bilang terima kasih ya [kepada penggemar], karena ‘kan bapak kalau di rumah itu nggak pernah banyak membahas tentang pekerjaannya,”
Paska sangat mengapresiasi acara-acara mengenang Jokpin dari berbagai komunitas sastra, yang bahkan sampai di luar pulau pun juga ikut mengadakan acara mengenang ayahnya.
“Saya tentunya berterima kasih kepada penggemar Jokpin, sudah mengabadikan karya beliau, dan semoga tetap menginspirasi banyak seniman-seniman di Indonesia, dan dapat mengembangkan dunia sastra Indonesia,” ungkapnya dengan ekspresi bangga.
Jokpin mengabadikan kedua anaknya dalam puisi
Sesaat sebelum saya berpamitan, saya bertanya kepada Paska apakah pernah Jokpin menuliskan puisi tentangnya.
“Ada,” jawabnya dengan sumringah.
Saat diperlihatkan kepada Mojok, rupanya ada dua karya puisi yang Joko Pinurbo yang diciptakan untuk Paska dan juga adiknya, Maria Azalea Anggraeni.
“Puisi untuk saya, berjudul Surat Malam untuk Paska. Kalau untuk adik saya, judulnya Bunga Azalea,” ungkapnya sembari memperlihatkan puisinya kepada saya.
Berikut adalah Puisi Jokpin untuk kedua buah hatinya yang telah Mojok rangkum.
Surat Malam untuk Paska
Masa kecil kaurayakan dengan membaca.
Kepalamu berambutkan kata-kata.
Pernah aku bertanya, “Kenapa waktumu
kausia-siakan dengan membaca?” Kaujawab ringan,
“Karena aku ingin belajar membaca sebutir kata
yang memecahkan diri menjadi tetes air hujan
yang tak terhingga banyaknya.”
Kau memang suka menyimak hujan.
Bahkan dalam kepalamu ada hujan
yang meracau sepanjang malam.
Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja
dan bertanya minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang,
“Kasih saja saya beragam bacaan, yang serius
maupun yang ringan. Jangan bawakan saya
rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan.”
Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama
sebuah roman yang sering luput dan tak terkisahkan,
kosong tak terisi, tak terjamah oleh pembaca,
bahkan tak tersentuh oleh penulisnya sendiri.
Sesungguhnya aku lebih senang kau tidur
di tempat yang bersih dan tenang. Tapi kau
lebih suka tidur di antara buku-buku
dan berkas-berkas yang berantakan.
Seakan mereka mau bicara, “Bukan kau
yang membaca kami, tapi kami yang membaca kau.”
Kau pun pulas. Seperti halaman buku yang luas.
Dalam kepalamu ada air terjun, sungai deras
di tengah hutan. Aku gelisah saja
sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan.
1999.
Bunga Azalea
Bunga azalea
tumbuh liar di bawah jendela.
Mekar, segar, dan bercahaya
Bunga paling pacar,
paling disayang waktu.
Bunga yang kubawa
dari lembah Maria.
Bunga azalea
tumbuh liar di rimbun aksara.
Mekar, segar, dan bersahaja.
2004.
Puisi itu dituliskan Joko Pinurbo saat Paska masih kecil. Meskipun tak terlalu ingat, namun itu menjadi salah satu puisi yang Paska dan Azalea kenang, dan menjadi puisi favoritnya.
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News