Pulang Kampung ke Wulunggunung Magelang dan Jadi Tukang Sayur Keliling, Keputusan Terbaik Mas Kris Pergi dari Jakarta yang Panas

Ilustrasi Pulang Kampung ke Wulunggunung Magelang dan Jadi Tukang Sayur Keliling, Jadi Keputusan Terbaik Mas Kris Pergi dari Jakarta yang Panas. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bertahun-tahun hidup di Jakarta, Mas Ngadeli pulang kampung ke Desa Wulunggunung Kabupaten Magelang. Ia memilih jadi tukang sayur keliling yang bangun tengah malam dan pergi ke Jogja untuk menjajakannya.

***

Bunyi klakson mobil membuat warga di perumahan mendekat ke sebuah mobil pick up di perempatan dalam komplek perumahan. Dengan sabar, Ngadeli (49) atau biasa dipanggil Mas Kris atau Mas Gondrong akan melayani satu persatu permintaan dan pertanyaan dari warga yang sebagian besar perempuan. 

Aktivitas padat yang menyenangkan sebagai tukang sayur keliling

Tawar menawar jadi hal yang pasti terjadi setiap ia berjualan. Tengah hari, Mas Kris akan bergegas pulang ke kampungnya, di Desa Wulunggunung, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. 

Ia lantas mencari rumput untuk dua sapinya. “Paling nggak sampai setengah jam. Setelah itu istirahat. Sore saya ngojek atau jadi porter untuk yang mau naik Gunung Merbabu lewat jalur Suwanting,” kata Mas Kris, Rabu (31/1/2024).

Habis ngojek atau jadi porter ia akan pulang, istirahat dan tengah malam sudah harus mencari sayuran untuk ia jual di Jogja. “Saya kulakan di tiga pasar, Pasar Muko, Pasar Suko, dan Pasar Muntilan. Carinya di tiga pasar biar komplit,” katanya. 

Bagi Mas Kris, rasa lelah tak jadi soal. Baginya bekerja di kampung halaman dan dekat dengan keluarga sudah jadi impiannya saat masih di Jakarta. 

Di usia remaja, Mas Kris merantau ke Jakarta. Sopir jadi pekerjaannya selama di ibu kota. “Pernah jadi sopir pribadi, sopir taksi, sopir metromini juga pernah,” ceritanya. 

Pergi dari Jakarta karena cuaca yang panas, pulang ke Magelang di kaki Merbabu

Lantas apa yang membuatnya memilih pulang kampung?

“Jakarta panas, Mas,” katanya serius. 

Saya yang mendengarnya tertawa.

“Lah bener kan, Mas Agung. Wulunggunung jauh lebih dingin, lah di kaki gunung,

je,” kata Mas Kris.

Salah satu alasan warga perumahan di tempat saya tinggal suka dengan Mas Kris adalah karakternya yang humoris. Suka guyon. Ia juga jadi andalan saya untuk mencari duren nikmat dari kaki Merbabu dengan harga murah. 

Tahun 1996 ia memutuskan pulang kampung. Setahun kemudian ia menikah dan tahun 1999 ia dikaruniai anak pertama. “Saya kemudian jadi sopir untuk truk pasir, dari kaki Gunung Merapi dibawa ke depo pasir di Muntilan,” katanya. 

Lama kelamaan, Mas Kris ingin mandiri. Ia ingin jadi bos bagi dirinya sendiri. Tukang sayur keliling jadi pilihannya. Ia melihat jadi tukang sayur itu enak, bisa kerja semaunya. Kalau kecapekan tinggal tidur, nggak dikejar-kejar bos seperti saat kerja sama orang lain. 

“Paling jadi tukang sayur ditelepon sama pelanggan kok nggak muncul,” katanya. 

tukang sayur keliling dari kaki Gunung Merbabu MOJOK.CO
Mas Ngadeli dengan salah seorang pelanggannya. Setiap hari sayuran yang ia bawa dari kaki Gunung Merbabu pasti habis terjual. (Agung P/Mojok.co)

Mas Kris, membuka usaha jualan sayur mulai dari nol. Bermodal sepeda motor ia kulakan sayuran dan kebutuhan memasak di beberapa pasar di Magelang setiap jam 3 pagi. Bukan hanya sendiri, tapi ada juga kawan-kawannya sesama warga Wulunggunung yang punya pekerjaan serupa. 

Selepas kulakan mereka akan menuju Yogyakarta. Mas Kris dapat wilayah di sekitaran Sedayu atau perbatasan Kabupaten Sleman dan Bantul. Rekan-rekannya ada yang sampai wilayah Jalan Parangtritis dan Pantai Samas. 

Baca halaman selanjutnya

Suka duka jadi tukang sayur keliling

Suka duka jadi tukang sayur keliling

Jualan sayur pakai motor tentu saja banyak dukanya. “Kalau ban bocor sama paling sedih ya pas hujan deras,” kata Mas Kris. Dari kampungnya di kaki Gunung Merbabu, ia harus melewati jalanan berliku dan naik turun sebelum sampai di jalan yang bagus menuju Yogyakarta. 

“Tapi ya tetep senang karena demi anak istri, sama nggak dikejar-kejar bos,” katanya. Uang hasil jualan sayur ia tabung. Sebagian ia belikan tanah dan sebagian untuk beli mobil keluarga. 

Baru tiga tahun terakhir dia menggunakan pick up. “Ini kredit di BRI, udah jalan dua tahun, kurang satu tahun lagi,” katanya.

Rupanya Mas Kris ini merendah, di rumahnya ada satu mobil pick up yang jadi klangenan. Mobil yang ia bawa ini tergolong baru karena sebelum pandemi seingat saya dia juga sudah pakai pick up. 

“Hahaha, ya lumayan lah, Mas. Bisa untuk menghidupi keluarga. Aku sudah punya cucu satu lho, Mas,” katanya merendah ketika saya tanya pendapatannya sebagai tukang sayur keliling. 

Saat ini tak kurang dari Rp3 juta sampai Rp4 juta ia butuhkan untuk modal setiap hari belanja sayur dan bahan pokok yang akan ia jual lagi. Mas Kris juga bilang, semua barang jualannya apakah sayur atau bahan untuk memasak pasti habis setiap harinya. “Untung sedikit yang penting laris,” katanya tak mau menjawab keuntungan yang ia dapat setiap hari.

Pandangan penjual sayur soal pesta demokrasi

Ketika ditanya soal politik, Mas Kris rupanya mengikuti semua calon presiden dan wakil presiden. Di tempat tinggalnya suasana juga gayeng. Masyarakat punya jadi pendukung masing-masing. 

“Tapi nggak sampai musuhan kok, kalau saya sih sudah punya pilihan, tapi kalau nggak menang ya nggak papa. Saya akan ikut presiden yang terpilih,” katanya.

Terpenting ia ingin harga bahan pokok bisa stabil, sehingga ia mencarinya mudah dan saat menjual juga tidak kesulitan.

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA Iwak Kali Bu Jasman, Warung Langganan Emha Ainun Najib yang Ramainya Pernah Kalahkan Soto Kadipiro

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version