Mbah Wek, sosok penuh teka-teki yang pernah jadi penyanyi profesional, tour guide berlisensi, terakhir menjadi guru sekolah internasional di Bandung. Ia menolak untuk mengelola indekos keluarganya di Jogja, atau menjual tanah warisan ayahnya. Ia justru memilih hidup lagi dari nol dan mencari nafkah dengan ngamen di jalanan Malang.
Kontributor Mojok di Malang, Ussy Sara Salim berjumpa dan ngobrol dengan Mbah Wek yang mewanti-wanti untuk tidak menuliskan nama lengkap dan gambar wajahnya. Hidupnya kini bukan lagi untuk diri sendiri.
***
Seorang pengamen mencuri perhatian saya ketika sedang asyik mengetik. Saya langsung mengalihkan perhatian saya saat itu dari laptop ke suara seseorang yang melantunkan tembang Perfect milik Ed Sheeran dan dilanjutkan Everything’s Gonna Be Alright milik Sang Legenda, Bob Marley. Pria bertopi dan berjanggut putih di depan saya mengakhiri permainan musiknya usai empat lagu dan bercakap-cakap dengan pengunjung warkop pakai bahasa Inggris.
Kalau diperhatikan, bukan hanya saya yang menghentikan gerak untuk mengalihkan perhatian padanya. Juga ada yang ikut bernyanyi dan merekam. Secara sabar saya nantikan ia menyelesaikan cakap-cakapnya dengan bahasa Inggris itu.
Lama saya menunggu di luar warung kopi. Begitu dia keluar, langsung saya dekati dengan senyum paling sumringah. Saya perkenalkan diri sebagai reporter magang Mojok.co dari Yogyakarta. Tidak saya sebut Sleman karena takut dia bingung sebab umumnya orang tahunya DIY, ya, Jogja saja. Namun, dia ternyata orang asli Gunungkidul, hahaha.
Esoknya, kami bertemu di Kayutangan Malang. Ia menenteng gitar kesayangannya. Rupanya pekerja kafe tempat kami janji temu sudah akrab dengannya. Pelayan itu memanggilnya Pak De. “Saya pesan seperti biasa yang ada lukisannya, ya,” katanya.
“Oke,” pekerja tersebut menjawab dengan santai
Ia sejurus melirik saya yang sudah pesan duluan sebelum ia datang. Mungkin membaca kebingungan saya kenapa bisa akrab sekali sampai mas pelayan tahu menu ‘seperti biasa’ yang ia maksud.
“Oh, kami sudah kenal,” katanya. Oh iya, saya memanggilnya mbah karena di kontak WhatsAppnya bernama Mbah Wek. Kami duduk di lantai paling atas seraya mendengar dan melihat lalu lalang kendaraan di Jalan Kayutangan yang baru saja menerapkan satu arah. Selama mengomunikasikan duduk di mana, selama itu pula Mbah Wek bicara dengan bahasa Inggris fasih.
Mantan guru sekolah internasional, guide, dan penyanyi profesional
Saya tetap akan menyebutnya Mbah Wek (55) sebab sampai akhir teka-teki soal nama sebenarnya itu tak pernah terjawab. Ia bilang namanya tidak dipublikasikan untuk alasan tertentu, jadi orang-orang memanggilnya Pak De, Pak Tuwek, atau Mbah Wek seperti yang saya panggil.
Salah satu alasan saya ingin ngobrol dengan Mbah Wek karena dia bernyanyi dan bicara bahasa Inggris dengan fasih. Intuisi saya yakin bahwa ada cerita di balik semangatnya bernyanyi dan beramah-tamah dengan orang-orang yang ditemuinya.
Benar saja intuisi saya, dia adalah mantan guru sekolah internasional di Bandung selama 20 tahun. Dia juga tak mau menyebut nama sekolah internasional itu.
Akan tetapi, sebelum jadi guru di sana. Mbah Wek adalah seorang tour guide berlisensi Jakarta yang pernah bawa tamu duta besar dua kali. Jauh sebelum itu lagi, dia adalah seorang penyanyi profesional yang mengisi acara-acara pernikahan.
Sejatinya bagi Mbah Wek, saat ini ia kembali lagi kepada pekerjaan pertama, bedanya sekarang ia berkiprah di jalan dan tetap menyebutnya ‘profesional’.
“I do sing for life, this is my survival,” ujarnya. Menyanyi merupakan hobinya sejak lama, sejak masa mudanya. Saya bertanya, apa memang ia selalu menyanyikan lagu barat. Ia menjawab, “Most of time saya nyanyi barat.”
Sebenarnya ia ikut selera anak-anak muda saja yang jadi pengunjung warkop hari-hari. Jadilah Mbah Wek menyanyikan lagu-lagu Ed Sheeran atau ‘Rumah Singgah’ Fabio Asher buat memanjakan telinga pendengarnya.
Obrolan kami yang ringan dan menyenangkan terhenti karena sekelompok pengunjung laki-laki muda ingin meminjam gitar yang dibawa Mbah Wek. Ia langsung mengerti maksudnya dan memberikan dengan senang hati.
“Sorry ya,” katanya pada saya, meminta maaf karena terdistraksi. Saya tersenyum dan bilang gapapa. Obrolan dilanjutkan kembali.
Lulusan S2 Ilmu Komunikasi
“Malu saya kalau ditanya background,” katanya sembari memberi senyum penuh misteri. Mbah Wek berupaya sekali buat tidak memberi tahu latar belakang yang sejelas-jelasnya dan ia mengakui itu sejak awal kami ngobrol.
Soal keluarga, ia lima bersaudara, lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Katanya ia paling bandel di antara semuanya. Saudara-saudaranya mencicipi kuliah di Amerika dan Jerman.
“Mestinya saya S3 kalau tidak ada sesuatu luar biasa yang menganggu perjalanan saya,” katanya. Di sini saya mulai memahami kehati-hatiannya meski tetap tak mengerti seutuhnya. Selama menempuh pendidikan itu, ia juga seorang asisten riset dosen yang baginya hanya sebagai ‘kuli’ saja dan dosen numpang nama. Ini salah satu ironi yang ia singgung dari sekian banyak yang disampaikannya.
Ia merupakan lulusan S1 Sastra Inggris meski tak belajar bahasa Inggris dari sana. Kemudian menempuh S2 Ilmu Komunikasi. Uniknya, dia baru mengambil sarjananya di usia 47 tahun. Namun, bukan berarti ia tak kuliah di usia muda. Ia pernah kuliah teknik dan ekonomi secara bersamaan di salah satu kampus ternama di Jogja, meski sekali lagi dia tak bersedia menyebutkan.
“Kalau saya sebutkan Anda bisa cari alumninya,” kata Mbah Wek. Saya hanya tertawa menanggapinya.
Di salah satu jurusan Fakultas Teknik itu ia sudah masuk tahun kedua. Ketahuan oleh dosennya mengambil kuliah di Ekonomi dan disuruh melepaskan salah satunya.
“Akhirnya saya lepas dua-duanya,” ia tertawa.
Mbah Wek, jadi tempat konsultasi pejuang skripsi
Pengalamannya di bidang akademik itu membuatnya punya kemampuan untuk memberi nasihat kepada para pejuang skripsi yang keliatan stress di pinggir jalan. Kalau sudah begitu, biasanya Mbah Wek ajak ngobrol dan terbukalah masalah-masalah penelitian mahasiswa yang diajaknya bicara.
Ia menunjukkan kepada saya salah satu kontak yang dinamai ‘Hayuu Skripsi’ yang mengiriminya chat panjang di Whatsapp. Mahasiswa tersebut bertanya beberapa pertanyaan tapi salah satunya mengenai rumusan masalah penelitian.
“Kalau saya bilang satu mungkin kebetulan tapi ini ada beberapa orang yang konsultasi skripsi,” kata Mbah Wek. Ia pernah bertemu para pejuang skripsi hampir depresi di sepanjang Kayutangan juga daerah Suhat. Tak jarang peretemuan itu melahirkan percakapan-percakapan selanjutnya, dimana Mbah Wek jadi dosen pembimbing kedua.
Penyanyi jalanan yang punya prinsip
Maret lalu menjadi penanda setahunnya Mbah Wek di Malang. Memulai hidup kembali melalui nyanyian dari satu warkop ke warkop lain, dari kafe ke kafe. Meski melakoni sebagai penyanyi jalanan untuk berjuang hidup, tetapi Mbah Wek punya prinsip yang unik.
Mbah Wek tak memasuki warkop atau kafe yang ia lihat sudah dimasuki pengamen lain. Ia biasanya tak mau menyanyi di dalam, paling dari akses masuk kafe saja. Kenyamanan pelanggan atau pengunjung jadi pertimbangannya.
“Saya tak mau memberi pressure kepada orang yang datang, saya nyanyi nggak pernah minta,” katanya. Ia tak mau orang menjadi terpaksa saat memberi. Menurut prinsipnya, kalau orang ingin memberi, meski dari luar pintu, mereka akan tetap memberi.
Suara dan pesonanya yang unik membuat ia pernah mendapat tawaran untuk mengurus kafe dan menjadi penyanyi tetap kafe tersebut. Ia akan mendapat upah Rp150 ribu per malam. Mbah Wek menolak. Baginya semua itu akan membatasi ruang gerak, juga menurunkan pendapatannya.
Kadang ia hanya nyanyi di dua kafe di sepanjang jalan Kayutangan saja bisa menghasilkan Rp400 ribu. Suatu waktu ia pernah menghasilkan hampir Rp800 ribu semalam. Jadi bagi Mbah Wek, tawaran jadi penyanyi tetap kafe tak menggiurkan.
Tiba-tiba di tengah percakapan ini, sekelompok pemuda yang meminjam gitar Mbah Wek tadi mengembalikan gitar dengan ragu-ragu. Rupanya senar gitar putus.
“Ngga papa, ojo wedi, wayahe harus ganti,” ia masih dengan ramah seraya mengecek salah satu senar yang putus. Ia bilang selalu bawa cadangan tali senar, buat jaga-jaga saat sedang ngamen, jadi tidak ada masalah kalau pun putus.
Mereka yang meminjam akhirnya rileks, terlihat dari raut wajah yang tadinya tegang. Sebab Mbah Wek bukannya marah tapi justru menenangkan.
Kota Malang dan hidup Mbah Wek yang tak lagi untuk diri sendiri
Hidup di jalanan membuat Mbah Wek punya segudang pengalaman yang unik. Termasuk saat ada orang-orang yang butuh pertolongan bertemu dengannya. Mulai dari residivis sampai pekerja seks komersial (PSK).
Ia pernah menampung residivis selama satu bulan di kos. Mbah Wek bilang permainan gitar orang tersebut lebih baik darinya. Ia membekali dengan gitar. Akhirnya orang tersebut memilih jadi pengamen juga di daerah Sigura-gura.
Selain itu, Mbah Wek juga pernah menolong seorang PSK yang terluka. Membantu membersihkan lukanya. Menariknya dari pertemuan ini, si PSK meminta didoakan agar tamunya banyak, sedangkan Mbah Wek merasa tak seharusnya ia berdoa begitu.
“Banyak yang minta didoain sama saya, tapi kalau minta ‘tamunya’ banyak, bingung juga, itu kan dosa,” katanya. Iya, menurut cerita Mbah Wek, banyak orang yang minta didoakan olehnya. Mulai dari angkringan sampai warung kelontong.
Sekali waktu ia juga pernah membayar SPP seorang siswa yang terkendala biaya. Walaupun tak selalu bisa memenuhi saat itu juga, Mbah Wek tak sungkan minta waktu dulu dan kemudian saat ia mampu, barulah ia menolong.
“Apapun dan siapapun yang muncul minta tolong di hadapan saya, tidak pernah saya tolak,” prinsipnya. Ia pun tak lupa menawarkan saya sekiranya ada yang bisa dibantu.
Sebagai pengamen yang sering dipandang sebelah mata. Mbah Wek pun pernah diberi ide oleh kakaknya mengurus kos-kosan ibunya di Yogyakarta atau menjual warisan ayah saja. Dengan segenap kerendahan hati, Mbah Wek menolak. Saat ini ia ingin tetap di jalan. “Mau nyari apa?” tanya kakaknya.
“Saya juga tidak tahu. Tapi tujuan manusia itu apa, toh? Hidup mulia itu apa, toh? Saya di sini hidup saya bukan lagi untuk saya,” kata Mbah Wek seraya menyeruput minumnya.
Titik balik, keluarga, dan hidup kedua
Mungkin sejak tadi, perihal mengapa Malang dan menjadi pengamen belum terjawab. Namun, cerita Mbah Wek yang satu ini mungkin bisa menjembatani rasa penasaran itu.
Mbah Wek baru saja membayar UKT semester 7 ketika ia dihadapkan pada kenyataan bahwa putranya tak akan pernah bisa sarjana. Anak sulungnya ditemukan meninggal dunia di kamar kos.
Peristiwa kehilangan anak sulung kebanggaan di tahun 2018 silam pernah membawa Mbah Wek pada depresi dan pertanyaan akan eksistensi Tuhan. “I had traumatic thing that ruined my life,” katanya. Dulu ketika mengingat anaknya, Mbah Wek masih menangis. Kini ia jauh lebih tegar.
Ketika Covid, Mbah Wek juga harus legowo kehilangan pekerjaan dan ‘reputasi’. Karena peristiwa kehilangan itu, ia kehilangan fokus dalam bekerja.
Selain itu, Mbah Wek juga harus merelakan kerugian ratusan juta rupiah karena salah investasi. Hal ini memperburuk hubungannya dengan sang istri. Ia pun menunjukkan dinginnya room chat Whatsapp dengan istrinya yang tidak akan saya bicarakan di sini.
Pahitnya, bagi Mbah Wek inti semuanya adalah ia kehilangan keluarga. Ia pernah dua kali pulang ke Bandung untuk bertemu anak istri. Meski ia akui, sekarang ini adalah titik terendah dalam hubungannya dengan keluarga.
“Sekarang titik terendah dengan my family, tapi masih kontak-kontakan,” katanya.
Namun, keluarga tetaplah keluarga meski berada di titik apapun. Tahun lalu Mbah Wek menjalani sebuah prosedur operasi. Ia sendirian tapi tak perlu mengeluarkan biaya karena istrinya masih membiayai BPJS kelas 1. Untuk mengenang itu, Mbah Wek memanjangkan janggutnya yang telah memutih sebagai tanda hidup kedua.
Alasan memilih Malang
Bukan tanpa alasan Mbah Wek memilih Kota Malang. Berani meninggalkan rumah dengan berbekal 3 baju. Alasan pertama, kampus-kampus di Malang terpusat dan secara ekonomi ini menguntungkan. Kedua, apresiasi terhadap musik baik. Ketiga, di tempat ini kecil kemungkinan untuk bertemu dengan orang-orang yang dikenal dan mengenalnya.
Dua atau tiga tahun lagi, Mbah Wek ingin punya rumah di Malang. Dia punya target secara finansial.
“Apakah saya punya uang? Sekarang saya tidak punya, tapi pasti ada jalannya,” ucap Mbah Wek optimis.
Ia meyakini ada sesuatu yang bisa dipegang. Sama seperti saat ia jadi penerjemah, tour guide, atau penyanyi sekalipun, semuanya mulai dari nol. Baginya profesi apapun adalah pilihan masing-masing.
“Nyanyi ngga akan lepas, saya hobi. Ini bukan soal finansial, ini napas saya dan saat ini jadi profesi. Saya ngalir saja,” pungkasnya saat saya tanya apakah akan terus jadi pengamen.
Kami saling berpamitan setelah 2,5 jam lamanya ngobrol. Saya undur diri dan minta maaf karena telah mengambil waktunya, tapi ia bilang sudah biasa keluar ngamen se-mood-nya saja. Mungkin karena menyanyi adalah hobi, Mbah Wek tetap ingin mempertahankan ini sebagai hal menyenangkan di hidup meski musim kehidupan datang silih berganti.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Muhammad Tri, Lulusan Sejarah UGM yang Merawat Ratusan ODGJ dengan Salat dan Ziki dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.