Kuliahnya di sekolah penerbangan. Sudah pernah kerja di luar negeri, tapi Sriyono malah pilih pulang kembali ke kampung halamannya untuk beternak sapi perah.
***
Ada ribuan peternak sapi di Boyolali, yang setiap harinya masuk kandang dan memerah susu. Kebanyakan dari mereka memang menggantungkan hidup dari hasil memerah susu sapi. Banyak yang sukses, tapi tak sedikit juga yang memerah susu sekadar untuk pekerjaan sampingan alias samben.
Mojok menemui Sriyono (40), salah satu peternak sukses asal Desa Madu, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Senin (13/11/2023). Meskipun sukses sebagai peternak, lelaki yang tiap harinya bisa menyetorkan ratusan liter susu sapi ini punya latar belakang yang unik. Ia adalah lulusan sekolah penerbangan, pernah kerja di luar negeri, tapi malah kepincut dengan sapi-sapi di kandang.
Siang itu, tim liputan Mojok menemui Sekretaris KUD Mojosongo, Heni Prihatiningsih. Awalnya, melalui salah satu koperasi susu sapi terbesar di Boyolali ini, kami berusaha menggali bagaimana geliat industri susu sapi yang menjadi bagian dari hidup masyarakat kota tersebut.
Di sela-sela obrolan kami, Heni memperkenalkan Sriyono yang juga merupakan anggota KUD Mojosongo. Lelaki yang akrab disapa “Bonggol” itu memang belum lama gabung ke koperasi. Namun, kata Heni, Bonggol adalah peternak paling legend di Mojosongo.
“Beliau ini peternak paling sukses di sini. Apapun soal peternakan, Mas Bonggol ini ahlinya,” kata Heni memperkenalkan Bonggol.
Kami pun cukup penasaran untuk mengulik “perjalanan karier” lelaki yang konon sudah masuk kandang sapi sejak kecil itu. Bonggol, yang sejak perkenalan kami kerap melempar lelucon, terlihat antusias untuk membagikan kisahnya.
Sudah masuk kandang sejak masih SD
Kepada Mojok, Bonggol bercerita bahwa dirinya sudah dikenalkan dengan dunia peternakan sejak 1987-an. Saat itu, ia masih sangat kecil, kira-kira lima tahun usianya.
Akan tetapi, yang ia ingat betul, kali pertama dirinya “masuk kandang” adalah sejak SD. Kala itu, dirinya sudah mulai mengakrabkan diri dengan aroma lethong alias kotoran sapi. Ia juga mulai membantu membersihkan kandang, mencari rumput pakan ternak, hingga memerah susu.
“Tiap pagi sebelum berangkat sekolah, praktik dulu, merah susu. Pulang sekolah, praktik lagi,” kisahnya kepada Mojok, Senin (13/11/2023).
Bonggol mengaku bahwa ayahnya memang peternak legendaris di Kecamatan Mojosongo. Bahkan, ia mengatakan kalau orang tuanya adalah peternak perintis di wilayah tersebut. Sebagai buktinya, Bonggol menunjukkan kepada kami sebuah monumen sapi di halaman rumahnya di Desa Singosari, Mojosongo.
Katanya, itu adalah patung sapi pertama yang ada di Boyolali.
“Jauh sebelum ada patung-patung sapi yang besar itu, monumen kecil ini sudah dibangun di sini,” jelasnya sambil menunjuk sebuah monumen yang sudah terkikis itu.
Periode akhir 1980-an hingga awal 2000-an memang menjadi masa kejayaan bagi industri susu sapi di Boyolali. Terlebih sejak munculnya KUD-KUD di berbagai kecamatan untuk mewadahi hasil perah masyarakatnya. Ayah Bonggol adalah satu dari sekian banyak peternak yang menikmati dampak dari munculnya berbagai KUD ini.
Meskipun sudah akrab dengan kandang sapi sejak kecil, Bonggol malah sempat diarahkan ke “dunia lain”. Ia mengaku pernah bekerja di berbagai bidang. Namun, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sejak 2004, tepatnya setelah menikah, Bonggol memantapkan tekad untuk melanjutkan jalan ninja ayahnya itu.
Lulusan penerbangan dan sempat kerja di luar negeri
Bonggol bercerita bahwa kemampuan beternak, sebenarnya ia peroleh secara otodidak. Semua skill tersebut merupakan hasil amati, tiru, dan modifikasi alias ATM dari sang ayah. Bahkan, ketika berkuliah pun ia mengambil jurusan penerbangan. Tentu ilmu yang ia dapat selama kuliah jauh dari dunia perkandangan.
Namun, kata Bonggol, antara dirinya dan kandang seolah tak terpisahkan. Peternakan seolah sudah jadi jalan hidup yang sudah menjadi garis hidupnya. Kemanapun dan sejauh apapun dirinya pergi, bau khas lethong dari kandang sapi seolah mengikuti.
“Lulus kuliah, saya itu sempat lho kerja di luar negeri. Di Malaysia tepatnya. Tapi ya cuman dua bulan saja karena selain cukup berat, saya merasa bahwa passion saya memang berada di kandang,” ujarnya dengan serius meski diiringi tawa kecil.
Akhirnya, pulanglah Bonggol ke kampung halaman di Boyolali. Tekadnya pun makin mantap untuk meneruskan garis takdir dari ayahnya sebagai seorang peternak. Meski punya sedikit ilmu hasil mengamati sang ayah, Bonggol mengaku awalnya cukup survive karena industri peternakan tak semudah yang dibayangkan sebelumnya.
Jadi peternak sapi perah itu butuh ilmu
Awal merintis karier di dunia perah-memerah susu sapi, banyak halangan ia hadapi. Termasuk fakta bahwa sapi perah ternyata lebih rentan sakit, nutrisi sapi yang tak boleh sembarangan, serta fakta-fakta lain di luar perkiraannya. Maka, seiring dengan bisnis yang berjalan, ia juga mulai rajin mengikuti seminar-seminar soal peternakan untuk membekali pengetahuannya.
“Jangan pikir kalau beternak itu nggak ada ilmunya. Beternak itu nggak cuma soal ngasih makan ternak, tapi juga ada manajemen kandang, mengatur nutrisi yang pas buat ternak, dan sebagainya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bonggol juga bersyukur, sebab selain dirinya yang rajin mengikuti seminar-seminar, Dinas Peternakan di wilayahnya juga andil dalam memberikan pendampingan bagi para peternak. Baik itu yang masih pemula, hingga peternak yang sudah senior.
Katanya, pendampingan dinas terkait ini sangat membantu. Bagi peternak pemula, ini bisa menjadi motivasi sekaligus pembekalan pengetahuan. Sementara bagi peternak senior, pendampingan ini bisa menjadi transfer ilmu baru yang lebih maju bagi mereka.
“Karena kan biasanya peternak yang sepuh-sepuh itu mulai ketinggalan zaman cara beternaknya. Padahal, dalam peternakan kan ada banyak inovasi yang semakin maju,” katanya.
Pada 2016, para peternak di Boyolali juga mendapat pendampingan dari Selandia Baru dengan program bertajuk “IDEA Project”. Program ini cukup membantu para peternak karena memberi mereka pengetahuan baru soal nutrisi ternak, pemerahan dengan mesin, hingga pembuatan pakan alternatif saat terjadi krisis.
“Ada yang bisa kami terapkan di Indonesia, tapi juga ada hal-hal yang tidak mungkin, kami terapkan, misalnya di sana sapinya nggak nggak di kandang,” kata Bonggol.
Tak lupa, di sela-sela obrolan kami, Bonggol juga mengajak tim liputan Mojok untuk mengunjungi dua kandang sapi miliknya. Ia punya dua kandang sapi perah yang lokasinya cukup berdekatan.
Sapi sakit, tantangan peternak sapi perah
Satunya berada di Dusun Singosari, berjarak sekitar 10 menit perjalanan darat dari KUD Mojosongo. Di sini, terdapat belasan sapi perah milik Bonggol. Sementara satunya lagi berada di rumah utamanya, di Dusun Madu. Sapi perah di kandang kedua ini jumlahnya lebih banyak ketimbang kandang sebelumnya.
Total ada 40-an sapi yang Bonggol miliki. Satu per satu, ia pun juga menjelaskan kepada kami jenis sapi-sapinya. Mulai dari FH atau Friesian Holstein yang ia sebut jenis sapi perah terbaik, kemudian sapi tipe Jersey yang punya tanduk lebih panjang dari FH, serta jenis Canadienne yang berwarna dominan coklat.
Bonggol menyebut, dari total sapi yang ia punya, lebih dari separuhnya sudah bisa produksi susu. Sementara sisanya masih ada yang pedhet atau anakan sapi dan juga dara alias sapi remaja.
“Satu lagi sedang sakit, nggak bisa diperah. Setelah melahirkan malah ambruk, lumpuh seperti itu. Kemungkinan survive-nya juga kecil,” jelasnya menunjukkan salah satu sapi miliknya yang tergeletak lemah. Bonggol mengakui salah satu tantangan dari beternak sapi perah adalah rentan terhadap sakit.
Kata Bonggol, untuk satu ekor sapi rata-rata menghasilkan 10-15 liter susu sapi per harinya. Semua susu hasil perahan ia kirimkan ke KUD Mojosongo, tiap liter harganya Rp7.100. Artinya, tiap hari Bonggol bisa mengantongi rata-rata Rp70-100 ribu untuk seekor sapi.
“Tapi juga ada biaya pakan, yang mana satu ekor sapi rata-rata habis Rp55-60 ribu. Artinya, per ekor sapi kita ngantongin penghasilan bersih Rp10-12 ribuan,” jelasnya.
“Nah, jadi buat jangka pendek tiap peternak bisa langsung menikmati hasilnya di hari itu juga. Tapi yang lebih menguntungkan itu sebenarnya adalah jangka panjangnya, karena sapi perah ‘kan juga menghasilkan pedhet-pedhet yang dalam satu tahun saja nilainya bisa mencapai Rp3-3,5 juta. Itu aset jangka panjang, ibaratnya celengan kami,” ia menyambung.
Jadi peternak sapi perah itu butuh “passion” dan rasa cinta
Bonggol tak bisa menutup mata bahwa susu sapi perah berhasil mengubah hidupnya, termasuk banyak orang lain di Mojosongo, Boyolali. Kata dia, ada banyak orang tua bisa menyekolahkan anaknya hingga sarjana berkat sapi perah. Ada pula yang bisa membeli sepeda motor, hingga membangun rumah dari ketelatenan memerah sapi-sapi di kandang.
Namun, ia juga tak bisa memungkiri bahwa beternak itu tidaklah mudah. Selain cara kerjanya yang dianggap “kotor”, ada waktu dan tenaga yang harus ia korbankan untuk pekerjaan ini.
“Memerah sapi itu nggak boleh libur, sehari dua kali itu wajib,” katanya. Sebagai informasi, sapi perah memang harus diperah dua kali sehari. Jika tidak, maka sapi bisa sakit.
“Jadi ya bagi peternak sapi perah itu nggak ada tanggal merah. Orang hari raya lebaran saya kita tetap harus memerah sapi,” tegasnya.
Alhasil, meski sangat menyayangkan, ia tetap bisa memahami mengapa banyak generasi muda yang memilih bekerja di pabrik daripada beternak. Kata Bonggol, walaupun memerah sapi lebih menghasilkan, kerja di pabrik itu orang-orang anggap pasti. Pasti hari kerjanya, pasti liburnya, dan pasti tanggal gajiannya.
“Jadi, kalau bukan dilandasi passion ya beternak sapi perah itu sulit. Memang semua itu butuh cinta, harus punya pandangan bahwa melihat sapi peliharaan itu sama senangnya dengan melihat kekasih kita,” pungkasnya.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Tulisan ini merupakan bagian dari Ekspedisi Kota Susu Boyolali
BACA JUGA Peternak Sapi Perah Samben, Menopang Industri Susu Boyolali hingga Kuliahkan Anak di UNS