Kebahagiaan seorang ibu salah satunya adalah bisa mengantarkan anaknya menyelesaikan kuliah. Apalagi perjuangan tersebut harus dilalui sendirian setelah sang suami meninggal. Itulah yang penjual burjo gerobak, Masruroh (49) rasakan selama 9 tahun terakhir.
Memutuskan pindah ke Yogyakarta untuk mencari nafkah
“Suami saya meninggal tahun 2015, warisannya ya ini,” kata Masruroh menunjuk sebuah gerobak kecil untuk jualan burjo. Saya menjumpainya tengah duduk termenung di belakang gerobak burjonya, Rabu (6/3/2024) pagi.
Masruroh menceritakan, suaminya Saripin sudah berjualan burjo di kawasan tersebut sejak 1993. Ia dan suaminya pindah dari Serang Banten di tahun itu dan memutuskan Yogyakarta jadi tempat untuk membangun biduk rumah tangga dan tempat mencari nafkah.
“Saya asli Cilegon, suami saya asli Brebes, dan memutuskan cari nafkah di Jogja,” kata Masruoh. Sejak awal jualan burjo, gerobak tak pernah ganti. Selalu, menggunakan gerobak yang sama, hanya bergeser tempatnya. Burjo gerobak itu oleh suaminya diberi nama Burjo Barokah.
“Saya pindah ke depan masjid karena di tempat sebelumnya dimintai biaya sewa, padahal saya jualan di pinggir jalan dan gerobak pasti saya bawa pulang. Akhirnya oleh takmir masjid boleh jualan di sini, kalau bayar sewa tempat saya nggak mampu,” katanya.
Antarkan anak lulus cumlaude UNY dari jualan burjo gerobak
Berbekal gerobak warisan suaminya itulah ia berjuang memberi nafkah dua anak perempuannya, Rizki Riyanti dan Dwi Lestari. “Anak sulung saya sudah menikah sudah beri cucu, sekarang ikut suami di Tegalpanggung. Anak bungsu saya minggu lalu baru wisuda di UNY,” katanya.
Ia kemudian mengambil handphone dan menunjukkan foto keluarga saat anak bungsunya melakukan wisuda. Terlihat selempang bertuliskan cumlaude di dada anak bungsunya.
“Lho, anak njenengan cumlaude, Bu?” tanya saya memastikan.
“Cumlaude itu apa, Mas,” tanyanya polos.
Saya kemudian menjelaskan kalau cumlaude itu artinya anaknya pinter. Tampak binar matanya terlihat bangga dengan pencapaian anaknya. Apalagi setahu saya Jurusan Akuntansi di UNY punya tingkat persaingan tinggi.
“Saya bangga sama anak-anak saya, semua ya dari hasil jualan burjo ini,” kata Masruroh. Anak pertamanya dulu tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena tidak boleh oleh almarhum suaminya.
“Saat ini menikah, sudah kasih saya cucu. Suaminya itu aktif di sepak bola,” kata Masruroh. Saya mengecek nama suami anak pertamanya di Google. Nama Fandi Budiawan ternyata salah satu pengurus di Asprov PSSI DIY.
Burjo gerobak yang punya pelanggan-pelanggan setia
Ketika asyik ngobrol, datang salah seorang pelanggannya setianya. Namanya Dinda (32), seorang pegawai di Poltekkes Yogyakarta. “Saya langganan sejak masih SD, sampai sekarang menikah dan punya anak, Mas,” katanya tertawa.
Dinda mengatakan, suami dan anaknya bahkan sangat suka dengan burjo buatan bu Masruroh. “Anak saya kalau nggak burjo di sini itu nggak mau,” kata Dinda.
Menurut Dinda salah satu keistimewaan burjo Barokah adalah cita rasa dan teksturnya yang pulen. Selain itu tidak menggunakan pemanis buatan. “Deket sini ada burjo yang lebih murah, tapi nggak seenak milik Bu Masruroh,” kata Dinda pamit.
Bu Masruroh mengatakan, selama 30 tahun jualan burjo, ia memiliki pelanggan-pelanggan setia yang membeli burjo buatannya. Selepas Dinda pergi, pembeli lain berdatangan. Saya menunggu hingga suasana kembali sepi.
Menurut Masruroh karena anak bungsunya sudah lulus, praktis penghasilan dari jualan burjo bisa ia fokuskan untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti bayar kontrakan rumah. “Belum diizinkan Allah punya rumah, masih ngontrak, tapi sudah bersyukur anak sudah lulus kuliah,” kata Masruroh.
Anak pertamanya juga sudah hidup nyaman dengan suaminya. Bahkan kerap memberi kejutan yang tidak disangka. “Misalnya, membelikan kulkas, tapi nggak bilang. Tiba-tiba dari toko datang menghubungi mau antar kulkas, saya tolak karena nggak membeli. Eh ternyata kejutan dari menantu dan anak saya,” kata Masruroh.
Begitu juga saat menantu dan anak sulungnnya membelikan gerobak burjo yang baru. Namun, sayangnya gerobak itu tidak bisa ia pakai. “Terlalu tinggi, Mas, Masya Allah, aku kan pendek. Ya seperti itu kalau ngasih kejutan, karena nggak tahu ukuran gerobak malah jadi terlalu tinggi,” katanya tertawa.
Baca halaman selanjutnya
Gerobak warisan suami yang memberi barokah
Gerobak warisan suami yang memberi barokah
Gerobak yang ia pakai saat ini adalah warisan suaminya yang dibuat tahun 1993. Meski terlihat kecil dan sederhana, gerobak tersebut jadi saksi perjuangan sekaligus memberi barokah untuk keluarga Masruroh. “Ini masih awet Mas, karena suami saya berpesan, gerobak itu harus masuk rumah. Kita tidur di dalam rumah, maka gerobak juga dimasukan ke dalam rumah,” kata Masruroh.
Suaminya menganggap gerobak burjo bukan sekadar gerobak, sehingga sangat diperhatikan dan disayang. Maka meski sudah berusia lebih dari 30 tahun, gerobak itu masih awet. “Paling kemarin saya cat dan perbaiki sendiri, kalau lagi di rumah, gerobak ini nggak boleh kehujanan atau kepanasan, harus ada di dalam rumah,” kata Masruroh.
Masruroh menceritakan suka dukanya jualan burjo selama lebih dari 30 tahun bersama suaminya. Ia biasa bangun pukul setengah dua malam. “Pertama saya curhat sama Allah segala hal, jam dua baru mulai masak bubur, jam 5 mulai jualan,” ujar Masruroh.
Semangkuk burjo ia jual Rp5.000. Rata-rata Masruroh menghabiskan 1 kg bahan baku kacang ijo dalam sehari. Angka itu sama dengan sekitar 100-200 bungkus burjo.
“Jam setengah sebelas saya harus sampai rumah, jadi kalau misal jam 10 belum habis, biasanya saya kasih ke ojek online atau orang-orang,” kata Masruroh.
Berharap punya kios burjo
Khusus hari Jumat, Masruroh menyiapkan bahan lebih banyak, sekitar 1,5 kg kacang ijo. Ini untuk ia gunakan program Jumat berkah. “Jadi saya jualnya Rp10 ribu dapat tiga bungkus,” katanya.
Masruroh mengatakan, ia tidak punya hari libur dalam berjualan. Hampir setiap hari ia menjual bubur kacang ijo di tempat yang sama. Kalau sampai libur artinya ada keperluan yang mendesak. “Kalau cuma sakit ringan, saya usahakan jualan, nggak ada hari libur,” katanya ceria.
Masruroh masih punya angan-angan bisa sewa kios untuk jualan burjo sekaligus ia ingin jualan makanan yang ia masak sendiri. Namun, ia menyadari hal itu tidak mudah, sehingga ia merasa bersyukur dengan apa yang ia dapatkan saat ini.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
Cek berita dan artikel lainnya di Google News