Vihara Karangdjati di Yogyakarta menerima siapa pun yang ingin mencarai kedamaian hati dengan cara meditasi. Di vihara paling tua di Yogyakarta ini banyak anak muda dari berbagai latar belakang dan lintas iman, melakukan healing sejenak menepi mencari ketenangan batin.
***
Vihara Karangdjati, berdiri sejak 1962 dan menjadi tempat peribadatan umat Buddha tertua di Jogja yang masih terus memancarkan kedamaiannya. Bangunannya sederhana dan nyaris tak terlihat dari badan jalan utama. Letaknya nyempil di area dengan pepohonan rindang di sisi Jalan Monjali.
“Tapi meski kecil, yang terpenting adalah kegiatannya. Pendasaran agama Buddha-nya kuat dan memberikan kebermanfaatan,” kata Totok Tejamano, Ketua Vihara Karangdjati.
Kebermanfaatan yang diberikan, luas, tidak terbatas pada kalangan umat Buddha saja. Ketenangan yang terpancar dalam ritus peribadatan, terkhusus meditasi, bisa dirasakan oleh beragam kalangan lintas kepercayaan.
Jumat (6/1) malam, saya menyaksikan kehangatan puluhan para pencari kedamaian hati yang berkumpul di Vihara Karangdjati yang terletak di Jl. Monjali No.78, Gemawang, Sinduadi, Kecamatan, Mlati, Kabupaten Sleman. Setiap Jumat malam tempat ini menggelar sesi meditasi umum. Dihelat pada pukul 19.30 sampai selesai.
Saya tiba di halaman vihara lima belas menit sebelum acara dihelat. Malam itu, saya ditemani Iqbal, rekan dari Mojok yang kebetulan ingin merasakan pengalaman meditasi untuk pertama kalinya.
Kami melangkah masuk ke dalam area yang dikelilingi pagar beton yang tak terlalu tinggi ini. Suasana malam di luar begitu tenang, suara kendaraan dari jalan yang tak sampai seratus meter di seberang tersamarkan oleh nyanyian jangkrik dan katak dari sawah.
Di dalam, suasana terasa ramai. Para peserta sudah saling berkumpul di berbagai sisi vihara. Berbincang dan bertukar kabar. Sebagian di antara mereka sudah lama mengikuti sesi meditasi rutin di tempat ini.
Setiap ada yang baru datang, termasuk kami berdua, beberapa orang yang duduk di dekat pintu masuk langsung memberikan sambutan hangat. Bersalaman lalu mengajak bergabung dalam suasana bercengkerama menunggu dimulainya acara.
Perbincangan mengalir hangat sampai akhirnya, Totok, memanggil peserta untuk memulai meditasi. Tepat pukul 19.30. Satu per satu peserta masuk ke dalam bangunan vihara dan menempati matras persegi yang telah ditata. Malam tempat meditasi penuh, kiranya ada sekitar 40 orang yang ikut serta.
Lampu pun kemudian dipadamkan untuk mendukung suasana meditasi. Aroma dupa menguar di udara memenuhi bangunan yang bentuknya seperti Joglo ini. Hening, semua fokus pada suara Totok yang memandu di depan.
Totok mengajak peserta untuk melakukan peregangan badan. Tegang dan kaku di badan bisa menjadi penghalang meraih tujuan meditasi.
Setelah itu ia mengarahkan posisi kami. Para peserta duduk bersila dengan kedua tangan di depan dada. Jembol kedua jari saling bersentuhan untuk menghubungkan energi. Mata terpejam dan atau sedikit terbuka namun fokus pandangan tepat ke area hidung.
Kami diajak merasakan satu per satu bagian tubuh bagian luar. Kepala, hidung, bibir, hingga tubuh bagian bawah. Lalu beralih merasakan bagian dalam tubuh. Fokus diuji untuk betul-betul merasakan dan membayangkan bagian-bagian itu.
Totok menuntun kami untuk memiliki kesadaran penuh atas apa yang kami rasakan saat itu. Ketika kaki mulai kesemutan, sadari dan rasakan. Ketika kantuk datang di tengah upaya untuk fokus, sadari dan rasakan. Saya mencoba untuk menghindari pikiran-pikiran yang berkelindan di kepala namun tidak saya sadari sepenuhnya.
Proses itu berjalan sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit. Hingga perlahan, kami diajak untuk kembali membuka mata dan meregangkan kaki yang sedari tadi bersila. Pengalaman pertama, tiga puluh menit meditasi terasa cukup lama.
Selepas itu, Totok mengajak para peserta berbagi cerita. Banyak di antara peserta baru yang berbagi kesannya, mulai dari rasa kesemutan karena posisi duduknya kurang ideal hingga perasaan bingung menentukan fokus pikiran selama proses meditasi.
“Terkadang, kita terbebani ekspektasi tinggi saat pertama kali meditasi. Ingin langsung merasakan sesuatu hal yang besar. Padahal ini semua butuh proses. Intinya saat meditasi kita coba memiliki kesadaran penuh,” ucap Totok pada para peserta.
Iqbal Yusuf, seorang peserta yang sudah cukup rutin mengikuti sesi meditasi di sini, turut membagikan kesannya. Sudah setahun ini, meditasi dirasa membantunya untuk mengurai pikiran-pikiran berat yang datang.
“Dulu 2020 aku sempat mengalami depresi. Rutin ke psikolog juga. Setelah setahun belakangan rutin ikut meditasi, aku merasa ketika pikiran berat atau trauma masa kecil datang, aku bisa lebih tenang. Aku rasakan lalu perlahan pikiran itu hilang sendiri,” ujar mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tersebut. Pertengahan Januari ini jadi penanda setahun ia mengikuti meditasi di Karangdjati.
Sesi meditasi dan berbagi cerita usai sekitar pukul sembilan malam. Tidak langsung beranjak, para peserta lalu kembali bercengkerama di sekeliling vihara.
Ada teh hangat dan makanan berat yang disiapkan oleh pihak vihara. Semuanya peserta dipersilakan menyantap secara gratis. Tersedia semacam kotak bagi mereka yang hendak menyumbangkan dana, seikhlasnya.
Meditasi untuk semua
Sore hari, sebelum sesi meditasi, sejumlah kru Mojok memang sudah mengunjungi Karangdjati untuk melakukan shooting program PutCast yang diampu kepala suku Puthut EA. Totok yang menjadi narasumber berbagai banyak hal tentang meditasi dan ajaran Buddha secara umum.
Totok menjelaskan bahwa meditasi merupakan salah satu metode yang diajarkan Sang Buddha untuk melenyapkan penderitaan. Inti ajaran agama ini adalah upaya untuk melepaskan segala penderitaan dalam hidup manusia.
“Ada tiga cara melepaskan diri dari penderitaan. Pertama melalui moral atau sila yakni dengan berperilaku baik. Tapi sila saja tidak cukup, perlu ditambah dengan melatih mental salah satunya lewat meditasi. Kemudian ditambah lagi dengan prasna atau kebijaksanaan dan pengetahuan,” terangnya.
Meditasi digunakan untuk melepaskan penderitaan secara mental. Maka dari itu, banyak datang untuk melakukan meditasi karena saran dari psikolog atau psikiater.
“Dari pengalaman ngobrol bareng peserta, banyak yang terbantu menjadi lebih tenang, punya kontrol diri, setelah melakukan meditasi,” ujar lelaki kelahiran Kulon Progo ini.
Penderitaan baginya merupakan jarak antara keinginan dan kenyataan. “Maka kunci kebahagiaan adalah berdamai dengan keadaan,” cetusnya.
Prosesi meditasi yang dibuka untuk umum tidak jauh berbeda dengan yang biasa dilakukan saat ritus peribadatan di vihara. Salah satu kegiatan meditasi lain yang biasa dilakukan adalah meditasi Uposatha Purnomoshiden. Prosesi itu biasanya dilakukan saat bulan purnama. Durasinya sedikit lebih lama, namun secara teknis sama saja.
“Meditasi di ajaran Buddha memang terbuka untuk siapa pun. Tidak pernah dibedakan. Hasil meditasinya pun dianggap sama. Di vihara Indonesia lain juga banyak yang membuka untuk umum,” paparnya.
Karangdjati mulai membuka meditasi untuk umum sejak awal 2000-an. Dulunya, mereka terinspirasi dari kegiatan serupa yang dilakukan di Vihara Mendhut, Magelang. Di sana, meditasi untuk umum dilakukan beberapa kali dalam setahun. Para pengelola Karangdjati akhirnya menerapkan hal serupa tapi lebih rutin.
Sejak dahulu, para peserta memang didominasi anak muda. Totok melihat hal itu wajar karena masa muda sedang ingin mengeksplorasi banyak hal. Selain itu, belakangan anak muda dianggap mengalami tekanan mental yang jauh lebih besar dengan banyaknya distraksi dalam kehidupan.
Sejarah panjang Vihara Karangdjati
Kegiatan meditasi untuk umum memang jadi salah satu upaya Vihara Karangdjati untuk menyemai kebermanfaatan bagi sesama. Geliat aktivitas di tempat ini, sudah ada sebelum bangunannya diresmikan sebagai vihara pada 1962.
Bangunan ini diperkirakan sudah ada sejak era kolonial Belanda. Konon, dahulu difungsikan sebagai kandang sapi perah. Area sekitarnya pun masih berupa perkebunan tebu yang jadi komoditas besar Jogja di masa silam.
Pada masa pasca-kemerdekaan, bangunan dan tanah di sekitarnya beralih kepemilikan kepada sosok bernama Romo Among Pradjarto. Pada tahun 1958, seorang bikhu bernama Jinapatra yang sedang melakukan tugas di Jogja, diberikan kepercayaan untuk mengelola bangunan ini untuk beragam kegiatan keagamaan.
Lambat laun, bangunan itu menjadi tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan layaknya vihara, sebelum akhirnya benar-benar dibenahi dan resmi menjadi tempat peribadatan umat Buddha. Geliat itu pun terus berlanjut. Vihara ini menjadi salah satu vihara berpengaruh yang turut memberikan pembinaan ke sejumlah daerah dengan basis umat Buddha di Jawa Tengah.
Di era 1990-an, Vihara Karangdjati sempat mengalami situasi sulit lantaran generasi awal perintisnya mulai lanjut usia. Regenerasi belum terbentuk sempurna sehingga kegiatan keagamaan pun jadi berkurang.
Namun situasi itu perlahan teratasi ketika wajah-wajah baru mulai mengisi Karangdjati di akhir 90-an. Akhirnya, sampai saat ini, Vihara Karangdjati terus bergeliat menebar manfaat.
“Letaknya memang nyempil. Orang bahkan kadang ngiranya ini area kuburan karena dari luar hanya terlihat pohon besar. Tapi seperti yang dibilang romo pendahulu, vihara ini mungkin pucuknya terlihat kecil, tapi yang penting kegiatannya hidup,” pungkas Totok.
Selengkapnya tentang Vihara Karangdjati bisa disaksikan di YouTube Mojok.co
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono