Mojok bertemu dengan Asihono atau Mbah Asih, sosok juru kunci Merapi yang menjabat sejak 2011 silam. Anak keempat mendiang Mbah Maridjan ini mengaku mendapat pesan dari ayahnya. Pesan yang ia pegang teguh sepanjang mengemban amanah dari Keraton Yogyakarta untuk menjaga Merapi.
Kepada Mojok ia menceritakan bagaimana tantangan menjadi juru kunci di era digital saat ini. Juga soal juru kunci yang identik memiliki kemampuan spiritual.
***
Sepanjang perjalanan menuju kediaman sosok juru kunci Merapi, saya terbayang bangunan tradisional dengan nuansa Jawa yang kental. Gelar tersebut memang tampak sakral mengingat gunung api teraktif di Indonesia ini punya peran sentral bagi aspek budaya dan spiritualitas Keraton Yogyakarta.
Usai melewati jalanan desa yang berkelok, tibalah saya di gerbang Huntap Karangkendal, Padukuhan Pelemsari, Cangkringan, Sleman. Sebuah permukiman yang berjarak delapan kilometer dari puncak Gunung Merapi.
Rumah-rumah di permukiman ini tampak baru dengan warna cat yang terang dan belum pudar. Maklum, kawasan ini menjadi tempat relokasi warga yang rumahnya terdampak erupsi Merapi 2010. Termasuk keluarga mendiang Mbah Maridjan.
Masuk ke dalam, rumah sosok yang saya cari terletak di sisi utara kampung. Rumah berlantai dua yang cukup besar di antara yang lain. Warnanya cerah dan jauh dari kesan yang saya bayangkan sebelumnya.
Pintu saya ketuk dan lelaki paruh baya yang menggunakan kaos oblong berlogo Kraton Jogja menyapa saya. Ia adalah Asihono, sosok juru kunci Merapi yang saya cari.
“Monggo masuk. Saya baru pulang kerja bakti dari Keraton,” katanya membuka perbincangan.
Duka di keluarga Mbah Maridjan
Ia mempersilakan saya duduk di ruang tamu. Di dinding, lukisan mendiang ayahnya terpajang dengan latar belakang gambar kokohnya Gunung Merapi.
Selain itu, ada lukisan raja-raja Keraton Yogyakarta. Di tengah itu, ada sebuah partisara atau piagam penanda abdi dalem Keraton.
Sebenarnya, duka belum lama menyelimuti rumah ini. Mbah Ponirah istri Mbah Maridjan baru saja meninggal pada Senin (1/5/2023) lalu di usia 93 tahun.
Pada akhir April lalu, sejatinya saya sudah berencana untuk menghubungi Mbah Asih untuk wawancara. Sepenggal kisah tentang keluarga Mbah Maridjan sempat saya dengar dari sosok bernama Miskam.
Salah satu kisahnya tentang dinamika suksesi posisi juru kunci pasca meninggalnya Mbah Maridjan. Kala itu, Mbah Asih bukan satu-satunya calon pengganti. Sehingga ada proses panjang hingga pelantikannya.
Miskam merupakan keponakan Mbah Maridjan. Saya berjumpa dengannya saat sedang melakukan liputan terkait erupsi Merapi di markas SAR DIY. Kebetulan, Miskam juga salah satu relawan di sana. Hasil liputan soal SAR DIY bisa dibaca, di sini, Malam Bersama SAR DIY di Tengah Erupsi Merapi, Bertahun-tahun Menjaga Warga Tanpa Gaji.
Namun, rencana itu sempat saya tunda lantaran mendengar kabar meninggalnya Mbah Ponirah. Sampai akhirnya, kesempatan untuk berjumpa dengan sosok yang dituakan di kawasan Merapi ini tiba.
Mengenang perjumpaan terakhir dengan Mbah Maridjan
Berbeda dengan ayahnya yang merupakan petani, Mbah Asih sejak muda sudah bekerja di sektor pendidikan. Lulusan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) ini sempat menjadi pengajar sekolah di Wonosobo pada 1986.
Sepuluh tahun kemudian, ia pindah bekerja lebih dekat dengan rumah, sebagai salah satu staf di Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia. Profesi itu ia jalani sampai akhirnya pensiun pada September 2022 lalu.
Mbah Asih, melirik sekilas lukisan mendiang ayahnya. Sebelum mulai menceritakan perjumpaan terakhirnya di situasi mencekam erupsi Merapi Oktober 2010.
Masih tergambar jelas di ingatan Asih, saat itu, ia baru saja pulang bekerja menjelang waktu magrib. Belum sempat beristirahat, azan telah berkumandang. Ia pun menuju ke musala terdekat.
“Bapak dulu juga ke musala untuk salat magrib,” terangnya.
Di tengah salat magrib, gemuruh dari puncak gunung mulai terdengar kencang. Sebuah pertanda erupsi besar segera datang.
Usai salat, Asih tidak punya banyak waktu. Dua anak perempuannya sudah menangis ketakutan. Di sisi lain, bapaknya, masih khusuk merapal doa di tempat bersembahyang.
“Saat itu ada Miskam juga. Dia sudah ngajak bapak untuk turun. Tapi bapak malah kembali ke rumah,” terangnya.
Di tengah panik, anak perempuannya bahkan sudah ketakutan untuk sekadar naik mobil. Mbah Asih akhirnya memapahnya naik ke motor lalu melaju kencang menjauhi puncak Merapi. Hanya dalam hitungan menit, awan panas telah melibas Kinahrejo.
“Kami sudah nggak bisa menyelamatkan barang-barang di rumah. Yang bisa saya selamatkan hanya anak dan keluarga,” kenangnya.
Jadi juru kunci Merapi di usia relatif muda
Kepergian Mbah Maridjan pada 26 Oktober 2010 menjadi pukulan bagi keluarga. Setelah itu, sebagai anak lelaki tertua, Mbah Asih mendapat kepercayaan untuk menjadi penerus sang ayah. Asih merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
“Kakak saya perempuan semua. Mereka abdi dalem juga, tapi nggak bisa menjadi juru kunci,” kata Asih.
Lelaki yang perawakannya mirip sang bapak ini mengaku juga mendapat kepercayaan dari sejumlah rekan-rekannya. Namun kala itu, bursa calon juru kunci Merapi tidak hanya menjadi miliknya semata.
Mbah Asih mengaku sempat merasa berat untuk mengembang amanah tersebut. Salah satu alasannya, ia masih tergolong muda, usianya masih 45 saat itu. Jenjang kepangkatan sebagai abdi dalem juga belum terlalu tinggi.
Akhirnya, Keraton mengambil kebijakan untuk melakukan tes wawancara terhadap sejumlah calon juru kunci. Saat itu, seingat Mbah Asih ada sembilan orang yang melalui proses wawancara. Proses wawancara kebanyakan mempertanyakan perihal kesiapan untuk mengabdi.
“Akhirnya saya yang lolos,” kata Asih. Ia resmi dilantik pada April 2011 dan menyandang gelar Mas Kliwon Surakso Hargo.
Soal kemampuan supranatural juru kunci Merapi
“Pesan dari Keraton ya jabatan ini artinya saya sudah jadi orang tua. Kudu hati-hati dalam berbicara dan juga bertingkah laku,” imbuhnya.
Setelah resmi menjabat, Asih mengaku tugas utamanya hanya satu yakni memimpin prosesi Labuhan Merapi yang dihelat setiap Bulan Rajab. Agenda tahunan itu, merupakan prosesi spiritual Keraton sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki bagi masyarakat sekitar Merapi.
Selain itu, Mbah Asih juga turut terlibat ketika ada kejadian khusus terjadi di sekitar sana. Ketika ada pencarian orang hilang misalnya, ia akan ikut menilik dan memberikan bantuan jika diperlukan.
“Saya ya ikut nggoleki. Kadang orang minta pertimbangan, ya saya kasih pertimbangan untuk mencari bersama-sama,” ujarnya tertawa. Orang kadang menganggap ia punya kemampuan khusus untuk memberikan penerawangan pada hal-hal yang tak kasat mata.
Asih berulang kali tertawa saat memberikan penjelasan seputar hal-hal supranatural yang identik melekat pada sosok juru kunci suatu tempat. Ia mengaku tidak punya kemampuan pada hal-hal tersebut.
“Aku ki ning kene mung abdi. Udu kyai, udu dukun, utowo paranormal. Mung pembantune Keraton. Kalau ada perintah ya saya jalankan. Kalau nggak ada ya artinya menunggu ada perintah,” ujarnya tertawa.
Mengenai kondisi terkini gunung Merapi, Asih mengaku hanya membantu apabila instansi terkait seperti Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) memerlukan bantuan. Utamanya untuk memberikan sosialisasi mitigasi bencana.
Percaya dengan teknologi untuk deteksi gejala gunung api
Sudah dua tahun kondisi Merapi berada di level siaga. Namun, menurutnya, itu gejala yang normal bagi salah satu gunung api teraktif di dunia tersebut. Warga bisa menjalankan aktivitas seperti biasa. Hanya saja, perlu sedikit lebih waspada di radius tiga kilometer dari puncak.
Buat Asih, teknologi dari badan resmi jelas lebih mumpuni untuk mendeteksi gejala gunung api. Sedangkan ia hanya bisa melihat gejolak yang tampak dengan mata.
“Aku yo ming sak isone wae. Mengamati dan memberikan jawaban kalau ada yang bertanya,” cetusnya.
Jika situasi Merapi sedang seperti belakangan, status siaga berkepanjangan, maka ia mengimbau para warga untuk mawas diri. Terutama bagi mereka yang sering merumput di lereng Merapi.
“Nek ngarit ki yo ora gur ndeloki suket. Tapi pisan-pisan karo ngeling-ngeling nduwur (Kalau merumput ya jangan melihat rumputnya saja. Sesekali melihat ke Merapi),” terangnya.
Di luar tugas seputar Merapi, sebagai abdi dalem, Asih juga menjalankan pekerjaan rutin di lingkungan Keraton. Seperti hari ini ia melakukan kerja bakti di pagi hari.
Belakangan ini ia juga rutin melakukan jaga malam di lingkungan istana. Ia mendapat jadwal sekitar dua kali setiap bulan. Hal-hal ini menjadi rutinitasnya setelah menjalani komitmen untuk mengabdikan hidup bagi Keraton.
Tugas sebagai abdi dalem bagi Asih adalah panggilan hati. Urusan gaji nyaris tidak ia perhitungkan. Ia enggan menyebut nominalnya namun yang jelas jumlah itu tidak cukup jika menjadi sumber penghidupan.
Mbah Maridjan di mata Mbah Asih
Jalan hidup yang Asih tempuh saat ini, tak mungkin terlewati tanpa bapaknya. Bahkan hingga jelang kepergian Mbah Maridjan, Asih mengaku belum terpikir akan terpilih menjadi sosok pengganti.
Sepanjang menjalani hidup bersama sang bapak, meski menyandang nama dan gelar yang membuatnya dikenal banyak orang, Mbah Maridjan tetaplah sosok yang bersahaja. Meski di luar sana, banyak kisah mengenai kesaktian sosok tersebut.
Pada suatu kesempatan saat berkunjung di POS SAR DIY, beberapa relawan juga menceritakan kisah yang pernah mereka dengar tentang Mbah Maridjan. Mulai dari kemampuan membaca gejala tak kasat mata dari Merapi hingga pengalaman tiba-tiba bertemu sosoknya di jalur pendakian Kinahrejo di masa silam.
“Tapi buat saya, bapak ini biasa-biasa saja. Nggak pernah saya melihat atau mendapat cerita dari beliau tentang kemampuan supranatural,” terangnya.
Setiap hari, saat badan Mbah Maridjan masih kuat, ia akan pergi mengurus ladang. Bagi Asih, bapaknya merupakan sosok yang rajin. Terutama perihal membersihkan lingkungan lereng Merapi.
Pesan khusus Mbah Maridjan untuk Mbah Asih
Saat hendak ada Labuhan, Mbah Maridjan akan menyisir jalur pendakian yang digunakan untuk ritual. Ia akan membersihkan dan menata jalan. Bahkan di luar momen khusus itu, bapaknya masih sering memperbaiki jalan setapak.
“Bapak itu rajin macul dan dandani dalan rusak. Padahal itu bukan jalur pendaki dan area tempat bapak ngarit. Tapi bapak seneng nek dalane mayar, nek lewat do gampang,” kenangnya.
Semasa hidup, mendiang bapaknya pun tidak pernah memberikan petuah khusus pada anak lelaki tertuanya ini. Mbah Asih hanya ingat satu pesan bapaknya. Pesan yang selalu berusaha ia terapkan sepanjang sisa hidupnya.
“Mbah Maridjan pernah bilang, ‘mengko yen wes titi wancine, nek seumpama koe dibutuhke sopo wae ojo pilih kasih. Ojo mbedak-mbedakke. Mbuh kui konco dewe, lurahe, utowo wong biasa liane’,” pungkas sang juru kunci.
Reporter: Hammm Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Seorang Kakek 73 Tahun di Solo yang Setia Jualan Kliping Sumber Ilmu Pengetahuan
Cek berita dan artikel lainnya di Google News