Hari-hari Abu Nafi (Mbah Abu): Pikirkan Nasib Getir Warga Desa Blora, Haramkan Diri Praktik Kotor seperti Jual Beli Perangkat Desa

Ilustrasi - Abu Nafi (Mbah Abu) ingin hidup menjadi pelayan warga desa Blora. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Persinggungan Abu Nafi dengan warga-warga desa di Blora membuatnya merasa sangat prihatin. Kondisi mereka selalu memenuhi pikiran dan hati Mbah Abu, sapaan akrabnya. Ia mengaku memikirkan betul hajat hidup mereka.

***

Persis setelah salat Subuh, sebelum sinar matahari meyemburat di timur, Mbah Abu akan langsung berangkat ke desa-desa di Blora. Beberapa kali menggunakan mobil, tapi tak jarang pula ia mengendarai motor.

Usia Mbah Abu memang sudah tak muda lagi. Namun, ia menyebut masih punya banyak energi untuk berkunjung ke desa-desa di Blora. Sekalipun di desa pelosok yang jalannya rusak parah.

“Naik motor itu kalau misalnya lagi ke desa yang jalannya rusak parah, yang mobil gangsur kalau lewat,” ujar Mbah Abu saat saya temui, Minggu (15/9/2024) sekitar pukul 11.00 WIB.

Malam hari sebelumnya, Mbah Abu berada di sebuah desa di Kecamatan Japah, Blora. Menjelang tengah malam ia baru pulang ke rumah. Lalu Subuh harinya, ia berangkat lagi sebelum akhirnya mengambil jeda di siang hari.

Orang desa yang tak mau lupa asal

Tapi begitulah Mbah Abu. Sudah sejak berdinas di Blora per 1985 (sebagai PNS), ia memang suka berkunjung di desa-desa.

“Saya pernah masuk ke Alasmalang (Kecamatan Jati) pada 2010. Itu masuk saja pakai offroad saking sulitnya jalan ke sana. Saya tidur di sana, makan nasi kerupuk bareng warga,” kenang Mbah Abu.

Sebenarnya saat itu ada warga yang panen lele dan masak-masak lele. Namun, karena Mbah Abu tak doyan lele, ia tak masalah makan nasi dengan kerupuk saja.

“Saya itu ayem kalau di desa. Bila perlu, saya jadi pejabat kabupaten ngantor dari desa pun nggak apa-apa. Saya orang desa, anaknya orang desa,” tegas pria yang kini sudah memiliki lima cucu dari dua anaknya tersebut.

Untuk diketahui, Abu Nafi lahir di sebuah desa di Pucakwangi, wilayah Pati Selatan. Ia berangkat dari keluarga kiai kampung yang amat sangat sederhana: sehari-hari bertani dan berdagang.

Orang tuanya juga bukan orang dengan latar pendidikan formal: tak bisa baca tulis latin, hanya bisa baca tulis Arab dan Arab Pegon, karena memang hanya lulusan pesantren. Meski begitu, didikan orang tua dan lingkungan di desa, tentu menjadi salah satu faktor yang membentuk sosok Abu Nafi menjadi seperti sekarang.

Hal-hal itulah yang membuat Mbah Abu punya perhatian khusus kepada warga desa. Dalam hal ini adalah Blora, daerah tempatnya berdinas selama bertahun-tahun.

“Di desa saya di Pati, saya sekarang punya pondok pesantren. Jumlah santri mukimnya 110-an,” akunya sebagai gambaran kalau terhadap desa, ia memang punya perhatian khusus.

Ikhtiar untuk warga desa Blora

Angin semilir siang itu, saat kami bertemu di sekitaran Blora Kota, membuat saya berkali-kali menguap diserang kantuk. Namun, tidak demikian dengan Mbah Abu. Ia masih punya energi besar untuk njagongi saya.

Padahal, sebelum menghabiskan seharian penuh di Japah sebelumnya, Mbah Abu baru saja motoran melewati trek sulit di Bangklean-Doplang, sama-sama di Kecamatan Jati, Blora.

Mbah Abu menunjukkan video momen saat ia motoran menyusuri jalanan dua desa tersebut dengan waktu tempuh 40 menit. Kondisi jalannya, dari melihat videonya saja, saya sudah ikut merasa capek dan badan sakit semua. Ia memutuskan motoran karena memang mobil pribadinya sudah dipastikan sulit lewat. Jalanan tersebut, kata Mbah Abu, hanya bisa dilewati mobil tinggi.

Abu Nafi (Mbah Abu) Ingin Layani Warga Desa Blora MOJOK.CO
Mbah Abu saat mengendarai motor menunu Bangklean-Doplang melalui jalanan rusak parah. (Dok. Abu Nafi)

“Ini yang saya prihatin, soal infrastruktur jalan di Blora. Saya nelangsa lihat warga desa seperti nggak diperhatikan seperti ini,” tutur Mbah Abu.

Sebab, bagaimanapun, jalan punya dampak ke banyak sektor: pendidikan, kesehatan, ekonomi, pokoknya menyeluruh.

“Kalau jalan tidak baik, itu anak-anak sekolah susah, perputaran ekonomi tersendat, orang mau ke rumah sakit itu gimana. Umpama orang mau melahirkan lewat jalan rusak ya bahaya kan,” lanjut Mbah Abu.

“Dulu jika dibandingkan, Grobogan itu tertinggal dengan Blora (soal jalan). Beberapa tahun terakhir, Blora malah jauh tertinggal dari Grobogan,” sambungnya.

Sering ketika singgah di desa-desa yang akses jalannya rusak parah, warga desa akan mengadukan kondisi jalan kepada Mbah Abu dengan penuh harap: agar Mbah Abu membantu memperbaiki. Sebab, kondisi tersebut sudah berlarut-larut, seolah tak tersentuh oleh pihak yang punya kewenangan.

Mbah Abu terus terang tak mau mengumbar janji-janji. Akan tetapi, ia menjamin satu hal: ia dengan segenap daya upaya akan berikhtiar membereskan hal-hal yang berkaitan dengan hajat hiudp warga Blora.

Menjadi abdi atau pelayan warga Blora

“Intinya saya mau jadi abdi atau pelayan yang baik bagi warga Blora,” tegas Mbah Abu.

Itulah kenapa, di Pilkada Blora 2024, Mbah Abu yang maju sebagai Calon Bupati menggandeng Andika Adikrishna sebagai Calon Wakil Bupati menggunakan nama ABDI (akronim Abu Nafi-Andika).

Tak Cuma soal jalan, sejak 2021, Mbah Abu sebenarnya memperhatikan juga keresahan warga Blora yang merasa dicurangi dalam pengisian Calon Perangkat Desa. Mereka yang tergabung dalam Capraga (Calon Perangkat Desa Gagal) hingga saat ini masih konsisten menyerukan kekecewaan pada Pemkab Blora. Sebab, keresahan mereka bertahun-tahun seperti tak didengar.

Abu Nafi (Mbah Abu) saat ditemui dalam jeda kunjungannya di desa-desa pelosok Blora. (Ahmad Effendi/Mojok.co)

“Konsep saya ke depan, saya berharap jabatan Bupati (misalnya saya pegang) menjadi penguat akhirat saya. Insyaallah saya akan memberi contoh, tidak ada yang namanya jual beli jabatan, memberi contoh pemimpin yang teladan,” beber Mbah Abu sungguh-sungguh.

“Saya juga akan perkuat ke teman-teman birokrasi agar tidak punya pikiran ingin dilayani, tetapi kita harus melayani. Karena sumpah Pegawai Negeri itu kan pelayan, pengabdi,” tegasnya.

Nulungi warga Blora yang susah cari rezeki

Mbah Abu tak memungkiri, tak cuma persoalan jalan, dalam sektor lapangan kerja Blora pun kini tertinggal dari Grobogan.

“Saat jadi DPRD Jawa Tengah (2019), saya pernah kunjungan ke Pungkook, sebuah pabrik di Grobogan. Itu terima 12.000 karyawan. Banyak orang Blora lari ke sana,” kata Mbah Abu.

Temuan Mbah Abu itu juga terkonfirmasi dengan sejumlah anak muda yang ngopi di sekitaran tempat kami berbincang. Saya sempat wawancara tiga anak muda di sana. Ketiganya lulusan SMP. Mereka lalu merantau untuk cari kerja. Ada yang ke Semarang, ada juga yang bahkan ke Rembang, daerah asal saya. Mengingat, di Rembang sekarang juga tengah menjamur beberapa pabrik.

Abu Nafi (tengah) saat bercengkeram dengan warga Blora peternak lele. (Dok. DPRD Jateng)

Anak-anak muda itu mengatakan, tidak ada pilihan lain. Karena cari kerja di Blora sendiri rasanya sulit sekali.

“Saya dan Mas Andika itu pengin sekali mengusahakan datangnya investor untuk nulungi Blora dalam soal lapangan kerja, biar anak-anak muda seperti ini bisa cari hidup di daerah sendiri,” tekan Mbah Abu.

Tak bakal salahgunakan jabatan

Di sisa waktu ngobrol kami, Mbah Abu bercerita, bahwa saat memutuskan maju di Pilkada Blora 2024 ini, ia mendapat dua syarat dari sang istri. Dua syarat yang, kalaupun tak diberikan oleh sang istri, sebenarnya sudah terpatri di hatinya.

Sang istri memberi syarat, Mbah Abu boleh maju menjadi Bupati Blora. Namun, tidak boleh melakukan praktik jual beli jabatan dan tidak boleh main proyek.

“40 tahun lebih dengan istri (menikah 1984), kami nggak pernah marahan. Keluarga kami ayem. Istri khawatir kalau saya salahgunakan jabatan untuk jual beli atau proyek, itu merusak rumah tangga dan akhirat kami,” terangnya.

Kata Calon Bupati Blora itu, dalam banyak kesempatan menemaninya, sang istri selalu mengingatkan bahwa apapun yang Mbah Abu kerjakan harus berorientasi pada akhirat.

Bismillah ilang donya, akhirat teka (Bismillah hilang dunia, datang akhirat).” Begitu kira-kira yang sering sang istri gumamkan.

Selain itu, sejak kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) per 1978, Abu Nafi muda sangat mengidolakan seniornya, Artidjo Alkostar. Sosok yang kokoh integritasnya, bahkan hingga ia meninggal. Sosok yang, ketika menjadi Hakim Agung, dikenal berdiri teguh memberantas kebatilan, tak silau mata pada godaan uang.

“Saking saya mengidolakan gerakannya, dulu waktu kuliah saya berkecimpung di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UII. Kang Artidjo jadi salah satu pembimbingnya,” jelasnya.

Mbah Abu menegaskan, menyalahgunakan jabatan, silau pada uang, bukan gayanya. Ia memegang betul syarat dari sang istri, di samping juga meneladani secara serius sosok idolanya: Artidjo Alkostar. Waktu akan menjawab.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Ironi Blora: Bukan Lumbung Pangan, tapi Jadi Lumbung Utang  

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version