Mato Kopi, Juru Kunci Warung, dan Alasannya Memilih Tak Menarik Biaya Parkir

Mato Kopi, warung kopi terkenal di Yogya yang tak menarik biaya parkir

Mato Kopi, warung kopi terkenal di Yogya yang tak menarik biaya parkir

Bagi mahasiswa di Yogyakarta, Mato Kopi jadi tempat nongkrong yang cukup legenderis. Warung kopi ini membuat pelanggannya betah, layaknya di rumah sendiri. Kopi yang murah, harga makanan yang terjangkau, dan tidak ada biaya parkir membuat warung kopi ini jadi pilihan banyak mahasiswa untuk nongkrong atau mengerjakan tugas-tugas kuliah.

***

Buat Ghozi (23), Mato Kopi bukan sekadar tempat nongkrong sambil menyeruput secangkir kopi semata. Tempat ini adalah saksi perjalanan kuliahnya di Jogja. Siang itu, mahasiswa tingkat akhir salah satu universitas swasta di Jogja itu tengah serius menatap layar laptopnya. 

“Nggarap skripsi sama kerjaan,” ujar mahasiswa semester 11 ini.  Menjelaskan apa yang membuat laptopnya terus dipacu dari tadi.

Mato Kopi Cabang Selokan Mataram siang itu begitu ramai lantaran sedang ada mahasiswa baru dari suatu kampus yang sedang berkegiatan. Tampaknya sedang ada acara pengenalan jurusan. Di warung kopi, mereka saling teriak yel-yel. 

Homparahe..parehaho.. Ganteng-ganteng cowoknya, cantik-cantik ceweknya, solid-solid orangnya,” teriak sekelompok mahasiswa itu, semangat.

Namun, di tengah keramaian, tetap ada para pengunjung seperti Ghozi yang menyendiri dan sibuk dengan urusannya sendiri. Seakan-akan tak terganggu oleh kebisingan yang ada di sekitarnya.

Dulu Ghozi kerap ke sini bersama teman-temannya. Saking seringnya, ia sampai hafal nama beberapa pegawai di sini. Tetapi itu dulu. Kini waktu berlalu, hidup membuat setiap dari temannya punya jalan hidup berbeda-beda. Memaksa mereka tak lagi bisa bersama setiap hari. 

Menghabiskan cangkir demi cangkir kopi. Terkadang sambil mengobrol lepas penuh canda, kadang pula hanya diam meski bersama karena sama-sama mengerjakan sesuatu di laptopnya. Kini itu tinggal kenangan. Hari-hari belakangan ia hanya ngopi sendirian.

***

Berawal dari mahasiswa yang cari tempat nongkrong

Tahun 2001, sebelum Mato Kopi muncul di Jogja, seorang pemuda asal Sampang, Madura yang baru diterima jadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga -dulu IAIN-  juga menjadikan warung kopi sebagai tempatnya menghabiskan waktu luang. Mahasiswa bernama Hanafi Baedhowi itu hampir setiap hari ngopi. 

Belakangan, Jogja punya banyak sekali kedai kopi. Beragam rupanya. Namun dulu, tak banyak pilihan bagi Hanafi, terutama pilihan kedai kopi terjangkau dengan suasana yang nyaman untuk bercengkrama hingga berdiskusi perkara berat bareng teman-temannya.

Warung Mato Kopi (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Ia hanya punya satu warung kopi andalan yakni Blandongan yang letaknya di Sorowajan, Banguntapan, Bantul. Warkop milik Nasrudin atau akrab siapa Cak Badrun asal Gresik itu memang legenda yang menemani hidup mahasiswa generasi lama di Jogja -terutama UIN Sunan Kalijaga.

Blandongan jadi jujukan banyak mahasiswa. Jadi tak heran jika dulu tempat itu selalu ramai, bahkan nyaris penuh setiap hari. Hal itu membuat Hanafi dan teman-temannya yang kala itu sudah jadi mahasiswa tua gusar. Jika Blandongan sudah tak punya cukup tempat, ke mana mereka melabuhkan diri?

“Blandongan sering penuh. Tiba-tiba kami kepikiran untuk membuat warung kopi sendiri. Teman-teman nunjuk saya, katanya Hanafi aja yang buat,” kata Cak Hanafi kepada Mojok dalam perbincangan malam di Mato Kopi Kaliurang. Warung kopi ini adalah warung terbaru milik Hanafi, baru buka tahun 2021.

“Nah sejak saat tahun 2005, saya akhirnya beranikan diri buka warung. Modalnya tiga setengah juta,” ucapnya, lalu kembali menyesap rokok yang nyaris tinggal sisa filternya. Malam itu, Cak Hanafi mengenakan jaket dan sarung, outfit santainya sehari-hari. Seperti slogan Mato Kopi, “Senyaman Rumah Sendiri”.

Mato menurutnya berasal dari bahasa Madura yang artinya candu. Nama itu diberikan dengan harapan orang yang datang bisa nyaman dan ingin kembali datang lagi.

Saat hari pertama buka, Mato Kopi yang hanya mengandalkan kios yang lebarnya sekitar tiga kali lima meter itu dipenuhi kawan-kawan Cak Hanafi. Seingatnya, ada sekitar seratus orang yang datang.

“Dulu awal buka itu sampai diusir-usir tetangga karena ramai. Mato Kopi awalnya hanya kopi hitam, beberapa minuman sachet, dan mie instan,” kenangnya.

Belum ada konsep baku yang ditonjolkan saat awal mendirikan Mato. Semuanya berjalan perlahan. Buat Cak Hanafi hal terpenting adalah berkembang. Ia mengaku banyak mendapat inspirasi dari Blandongan soal warung kopinya.

“Makannya, saya menganggap diri saya ini muridnya Cak Badrun. Nggak tahu beliau mengakui atau tidak  kalau saya ini muridnya. Tapi saya belajar banyak dari beliau,” ujarnya tertawa.

Tahun 2008, lokasi awal Mato Kopi berdiri kena gusur karena pelebaran jalan. Sehingga ia memutuskan menyewa lokasi baru di tempat yang kini jadi Mato Kopi Selokan Mataram. Di sana pun Cak Hanafi hanya membangun warung kopi yang ia sebut ala kadarnya.

“Yang penting pengunjung bisa berteduh kalau hujan. Tempatnya luas. Begitu saja,” tuturnya.

Dua tahun berselang, Cak Hanafi membuka warung kopi baru bernama Secangkir Jawa yang letaknya di barat Stadion Maguwoharjo. Sekilas bentuk warungnya memang sama dengan Mato. Hanya beda nama. Penamaan yang menurutnya terinspirasi dari buku otobiografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams berjudul Penyambung Lidah Rakyat.

“Di buku itu ada tulisan, kalau kopi yang ada di Indonesia itu disebut orang luar itu dengan sebutan Secangkir Jawa. Saya punya ngen-ngenan bikin warung kopi lagi pakai nama Secangkir Jawa,” jelasnya.

Selepas mendirikan Secangkir Jawa, fokus bisnis Cak Hanafi justru teralihkan dari dunia kopi. Ia mencoba-coba beragam bisnis mulai dari properti, ternak burung, hingga usaha kayu. Bertahun-tahun, satu cabang Mato Kopi dan Secangkir Jawa yang ia punya jarang dikunjungi.

“Bahkan saya pernah setahun hanya sekali ke Mato. Memang lagi coba-coba bisnis lain,” ucapnya sambil sedikit menggelengkan kepala.

Cak Hanafi, pendiri Mato Kopi. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Baru tahun 2018, Cak Hanafi memutuskan kembali benar-benar fokus mengurus warung kopinya. Ia melihat banyak sesama pengusaha dari Madura di Jogja yang berkembang pesat karena fokus menjalankan bisnis. Salah satu yang menginspirasinya adalah Cak Edi Mulyono, pemilik Basabasi Kafe yang saat itu sedang kencang membuka cabang.

Akhirnya 2018 ia kembali fokus mengurus Mato Kopi. Hingga 2022 ini, sudah ada cabang baru Mato Kopi 2 di Maguwoharjo, Mato Kopi 3 di Condongcatur, dan Mato Kopi Kaliurang. Secangkir Jawa juga menambah cabang barunya di Sorowajan, Banguntapan, Bantul. Semua ini berkat keputusannya untuk kembali fokus mengembangkan usaha warung kopi.

Kini, Cak Hanafi punya lebih dari dua puluh karyawan yang mengurusi semua cabang warung kopinya. Kebanyakan karyawan sesama orang Madura. Tetapi ada juga yang berasal dari Jogja. Ada alasan tersendiri mengapa lebih banyak orang Madura yang bekerja di tempatnya. 

“Alasannya sederhana. Ini yang sudah kerja di sini pada bahasa Madura semua. Jadi kalau ada orang luar, bingung kan nanti komunikasinya,” ujarnya tertawa.

Sejak 2017, saya sudah familiar dengan Mato Kopi dan Secangkir Jawa. Beberapa cabangnya pernah saya kunjungi. Ada sejumlah hal yang mudah ditandai dari tempat-tempat tersebut. Meski sebagian tidak memiliki plang penanda nama, saya bisa mengerti itulah Mato Kopi ketika menjejakkan kaki di dalamnya.

Pertama tentu dari segi menu. Terutama kopinya yang khas. Cangkir kecil dengan kopi hitam pekat yang bisa ditemui di Blandongan hingga Kafe Basabasi.

Urusan kopi ini, sebagaimana diceritakan bapak empat anak ini sebelumnya, memang terinspirasi dari Blandongan. Hanafi memesan biji kopi dari Jombang untuk memenuhi kebutuhan warung-warungnya.

Selain itu, setiap warung milik Cak Hanafi punya tempat luas. Bangunan semi permanen yang didominasi kayu bergaya limasan. Ada musala dan setiap waktu salat semua karyawannya jeda tiga puluh menit.

“Kalau konsep kayu ini memang baru saya terapkan 2018. Sebelumnya saya main di bisnis kayu jadi seneng dan pengen saya terapkan di warung-warung saya. Sebelum itu saya bangun warung itu asal-asal saja yang penting iyup (teduh)” ujarnya terkekeh.

Alasan tidak mau ada biaya parkir

Pengunjung juga pasti tidak dikenakan biaya parkir di Mato Kopi maupun Secangkir Jawa. Di beberapa cabang, ada tukang parkir yang menata kendaraan. Namun, tidak pernah meminta uang kepada pelanggan. 

Siang di bagian depan Mato Kopi Selokan Mataram. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Berbekal uang enam ribu rupiah saja, pengunjung sudah bisa dapat secangkir kopi hitam pekat dan koneksi internet yang bisa dibilang lumayan untuk browsing secara cuma-cuma. Tanpa perlu khawatir ada biaya parkir.

“Lha gimana Mas, wong pelanggan saya itu kebanyakan mahasiswa. Sehari bisa ke sini bolak-balik tiga kali. Sebelum kuliah ngopi, jeda kuliah balik ke sini lagi, pulang kuliah ya di sini lagi. Kasihan kalau ada biaya parkir terus. Uang parkirnya mending buat ngeteng rokok,” jelasnya sambil tertawa terbahak.

Demi membuat pelanggan tak harus membayar parkir, Cak Hanafi perlu membuat kesepakatan sebelum menyewa lahan. Semua cabang Mato dan Secangkir Jawa menggunakan lahan yang disewa dari desa atau kelurahan. Menurutnya durasi sewanya beragam, mulai dari lima hingga dua puluh tahun.

“Sebelum sewa saya bilang. Saya maju (menyewa) kalau nanti tidak ditariki biaya parkir. Kalau ada warga yang mau menarik parkir, masuk saja ke warung, saya gaji tapi tidak narik dari pelanggan,” ujarnya.

Setiap hari di cabang-cabang, ratusan motor hilir mudik mengisi ruang-ruang parkir. Jika dinominalkan tentu biaya parkir jadi pendapatan yang lumayan. Cak Hanafi perlu menegosiasikan itu dengan pemilik lahan sejak awal.

Selain itu, di era serba modern, warung-warung milik Cak Hanafi juga tidak menyediakan bill bahkan nomor antrean pelanggan. Karyawan akan berkeliling membawa pesanan lalu menyebut nama pesanan.

“Ada yang pesen makan? Ada yang pesen minum?” ucap karyawan sambil membawa baki penuh kopi dan makanan mengitari meja-meja pelanggan.

“Kami sejak awal tidak pakai bill dan nomor antrean. Memang begini ini yang sudah jadi ciri khas. Eman-eman kalau dihilangkan,” katanya tertawa.

“Walaupun kadang-kadang ada pelanggan yang protes. Terutama di cabang ini (Kaliurang). Kenapa ini kok saya pesan duluan tapi datangnya belakangan,” sambungnya.

Setiap cabang memang punya rupa-rupa pelanggan yang berbeda. Mato Kopi Kaliurang misalnya, menurut Cak Hanafi kebanyakan pelanggannya mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII). Daya belinya tinggi dan terbiasa dengan kedai-kedai kopi modern sehingga kadang tak kaget dengan sistemnya yang tanpa bill dan nomor antrean.

Suasana Mato Kopi Kaliurang di malam hari. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Di sini memang kami sering dapat protes tentang bill. Tapi alhamdulillah mereka jajannya banyak. Sekali duduk pesan kopi dan makan. Nanti habis beli lagi,” katanya.

“Tapi, kalau di cabang dekat UIN. Itu sekali pesan kopi, duduk, wah itu kayak kena lem pantatnya. Dari pagi sampai malam di situ,” sambungnya terbahak.

Selain urusan protes pelanggan, tidak adanya bill dan nomor antrean memang kerap membuat ada perhitungan-perhitungan yang kurang. Pembeli nakal yang mengaku pesan padahal sebelumnya tidak membayar. Tapi itu tak menghentikan Cak Hanafi untuk mempertahankan sistem yang sudah berjalan ini.

“Asal masih bisa berputar. Saya pertahankan sistemnya,” celetuknya.

Para juru kunci Mato Kopi

Dua kali mengunjungi Mato Kopi Selokan Mataram, tanpa janjian, saya berjumpa dengan Ghozi. Beberapa kali mengunjungi ulang cabang Mato Kopi lain, ada juga beberapa pelanggan yang tampak selalu di sana saat saya tiba.

Bagi beberapa orang, Mato bak jadi rumah kedua. Warung kopi ini memang punya slogan “Senyaman Rumah Sendiri”. Frasa senyaman rumah sendiri ini memang begitu melekat. Saking nyamannya, kadang ada orang yang ke sini untuk sekadar memesan secangkir kopi lalu ditinggal rebahan tidur siang.

Bagi Cak Hanafi, itu bukan persoalan. Ia ingin warungnya jadi tempat yang nyaman. Kadang, ketika harus menaikkan harga, ada rasa berat, mengingat orang-orang yang disebutnya “juru kunci” setiap cabang.

“Kadang kalau mau menaikkan harga kepikiran. Aduh nanti itu yang biasanya di pojok itu gimana. Keberatan nggak ya,” tuturnya.

“Tiap warung itu ada juru kuncinya. Oh itu-itu mesti yang di Selokan, itu mesti yang di Condongcatur. Memang kaya gitu di warung saya itu. Mungkin nyaman ya. Harga saya rasa sama lah dengan yang lain juga. Tapi saya lebih senang kalau buat nyaman,” lanjutnya.

Cak Hanafi ingat, pernah suatu ketika ada karyawannya yang mengeluh karena banyak rombongan yang datang. Namun pesan kopinya hanya beberapa cangkir kopi saja.

“Kalau kamu lihat yang seperti itu. Nah dulu aku juga kaya gitu pas jadi mahasiswa,” ucapnya. Menirukan jawaban yang ia lontarkan pada karyawannya.

Cak Hanafi melihat warung kopi miliknya sebagai gambaran dirinya di masa lalu. Ia ingin punya tempat yang nyaman untuk bercengkrama, berdiskusi, dan melepas penat. Maka ia ingin Mato selalu bisa menjadi tempat yang nyaman bagi para pelanggannya, terutama mahasiswa.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Warung Kopi Blandongan, Merevolusi Sajian Kopi di Yogyakarta

Exit mobile version