Siapa sangka, penjual cilok berkostum Power Rangers yang kerap ditemui di Jalan Magelang adalah lulusan S2 Filsafat UGM. Sebelum jualan cilok di jalanan, dia sempat berbisnis minyak goreng dan punya puluhan karyawan.
***
Siang itu, pada Selasa (29/10/2024), saya menyusuri Jalan Magelang, sekadar untuk melepas rasa suntuk. Di padatnya jalanan itu, saya menepi sejenak di sebuah Indomaret untuk membeli air mineral. Cuaca terik di siang itu membuat tenggorokan saya kering.
Setelah membeli sebotol minum dan rokok, mata saya tertuju pada penjual cilok di depan Indomaret, Jalan Magelang KM 13,5. Ada yang unik dari penjual cilok itu. Dia terlihat memakai kostum Power Rangers warna biru. Saya mendekat, menyapa dan membeli cilok miliknya.
Saya cukup penasaran dengan ide penjual cilok ini yang berjualan sambil mengenakan kostum Power Rangers. Setelah membeli ciloknya, saya duduk dan mengobrol lebih lanjut soal penjual cilok ini.
Lulusan S2 UGM yang meneruskan bisnis temannya
Namanya Antok (44), warga Solo yang kini menetap di Jogja. Saya cukup terkejut ketika dia mengaku sebagai lulusan S2 UGM. Tak tanggung-tanggung: Jurusan Filsafat. Bahkan, dia mendapatkan beasiswa dari kampus dan swasta, sejak kuliah S1 jurusan Psikologi di UNS.
Soal bagaimana kisahnya sampai hari ini dia menjadi penjual cilok, ternyata sangatlah panjang. Yang jelas, saat ini dia hanya melanjutkan usaha temannya. Saya sebenarnya sempat menelusuri di berbagai sumber berita, bahwa cilok dengan kostum Power Rangers ini sudah banyak diliput media. Namun, penjual ini berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya.
“Saya di sini magang, Mas. Sebetulnya ini usaha teman saya. Idenya juga dari saya untuk jualan cilok pakai kostum ini,” ujar Antok, saat Mojok wawancarai, Selasa (29/10/2024).
Dari situ saya simpulkan, ternyata kisah penjual cilok berkostum Power Rangers yang saya baca dari kompas.com, adalah ide dari Antok ini. Temannya sewaktu itu kesusahan untuk mencari pekerjaan. Akhirnya, Antok memberi saran untuk berjualan cilok dengan memakai kostum unik.
“Karena kalau jualan cilok biasa sudah banyak, ya. Laku sih laku, tapi untungnya juga segitu-gitu aja,” ungkap Antok.
“Tapi ketika saya belajar manajemen risiko, teknik marketing ketika kuliah dulu, saya pikir di era digital ini orang lebih suka yang viral. Jadi saya menyarankan teman saya untuk berjualan cilok dengan cara unik. Nah, tercetus lah ide ini,” imbuh lulusan S2 UGM ini.
Dengan ide jualan yang seperti ini, Antok mengaku mendapat omset yang luar biasa. Sehari ia bahkan bisa mendapatkan Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per hari. Kalau hari Sabtu-Minggu, bisa lebih dari itu. Karena jika ditotal dalam sebulan berjualan, dia bahkan bisa mencapai Rp9 juta, melebihi gaji ASN.
Pernah merintis usaha minyak goreng sendiri
Antok bercerita, sejak 2009 dia bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi Minyak merek “Hemart”. Namun, setelah setahun di sana, dia memilih berhenti dari pekerjaannya itu. Padahal, jika ditotal, gajinya sudah mencapai Rp30 juta perbulannya.
“Tapi saya memilih untuk membuat merek sendiri. Minyak Kita,” ungkap penjual cilok ini.
Dengan modal yang sudah dikumpulkan hingga mencapai Rp408 juta, dia mengambil keputusan untuk memproduksi minyaknya sendiri. Sebab, dia yakin dengan modal pendidikannya hingga S2 UGM serta pengalaman di perusahaan sebelumnya, dia pasti bisa untung. Sayangnya, dalam kurun waktu enam bulan, dia menemui kegagalan.
“Saya pikir dalam pengalaman saya belajar manajemen risiko hingga teknik marketing saya sudah bisa membuat produk sendiri. Tapi, saya kewalahan ketika tidak menguasai pasar ketika ada barang yang rusak dan perlu retur.” kata Antok.
Dari situ lah, lulusan S2 UGM ini berusaha mengevaluasi usahanya. Dia mulai mempelajari lagi tentang hal-hal yang diluar kalkulasinya seperti meretur barang yang rusak, dan semacamnya. Hingga akhirnya, pada 2014 dia berhasil menguasai pangsa pasar.
Tak pelit ilmu ke teman-temannya
Setelah sempat merasakan masa kejayaan, bisnisnya mulai goncang saat Covid-19 melanda. Dia harus menghidupi ratusan pegawainya yang ingin terus dia pertahankan; tak mau mem-PHK mereka. Sebab, bagi Antok, usaha itu bisa melejit juga berkat pegawai-pegawainya itu. Dia pun tak sampai hati untuk PHK karyawannya.
“Jadi biaya produksi itu akhirnya saya pakai untuk menghidupi karyawan pabrik saya, Mas,” ujar Antok.
Lekas itu, pabrik yang hampir saja tumbang dia serahkan ke temannya untuk dikelola. Dia akhirnya kembali menjajaki kehidupan sebagai orang biasa. Di kesempatan itulah, dia bertemu temannya, Juwanso. Dia mengajak Juwanso untuk bekerja sama mendirikan usaha cilok dengan kostum Power Rangers itu.
Dua tahun berjalan, akhirnya Juwanso berhasil membuka cabang. Jualannya pun semakin laris dan omzet semakin naik. Melihat hal itu, Antok berinisiatif untuk menggantikan Juwanto berjualan mengenakan kostum Power Rangers.
“Awalnya saya malu, Mas. Biasanya saya kerja di ruangan, rapat, ketemu orang penting. Tapi setelah mencoba ‘magang’ jualan cilok, saya jadi tahu nikmatnya bersyukur,” kelakar Antok.
Penjual cilok lulusan S2 UGM belajar banyak dari jalanan
Baru satu bulan lebih dia menjajal jadi penjual cilok di pinggir jalan. Di situ dia bertemu dengan teman-temannya di perusahaan dulu. Banyak perubahaan yang dia rasakan dari situ. Teman yang dia kenal awalnya punya ekonomi menengah ke atas, sekarang jadi melarat. Di situ dia belajar banyak tentang mensyukuri nikmatnya kehidupan.
Saya tertegun, berbicara dengan Antok begitu mengasyikkan. Memang, terlihat betul background pendidikannya dari cara dia berkomunikasi. Saya bahkan diberi wejangan untuk menjalani hidup dengan penuh rasa syukur.
Kata lulusan S2 Filsafat UGM ini, “hidup itu hanyalah fatamorgana”. Semua yang diberikan hanya titipan dari sang pencipta. Dia sendiri mengakui bahwa pendidikannya hingga S2 UGM belum cukup untuk bisa dipraktekkan. Semua butuh pengalaman.
“Manusia itu, segala hal yang dilalui tidak perlu disesali. Itu adalah bagian dari belajar, pengalaman. Sebab pengalaman adalah guru terbaik,” tandasnya kepada saya.
Dua jam kami berbincang, terik matahari sudah berada di atas ubun-ubun. Azan Dzuhur berkumandang, Antok pun pamit untuk pergi salat. Saya pun juga beranjak pamit. Berharap, suatu saat saya akan bertemu dan belajar darinya lagi tentang kehidupan.
Penulis: Muhammad Ridhoi
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News