Kisah Tukang Gigi Madura, Lawan Permenkes Demi Pekerjaan Warisan

tukang gigi madura

Tukang Gigi Madura. (Ilustrasi Ega Fansuri)

Salah satu pekerjaan yang identik dengan orang Madura adalah tukang gigi. Pekerjaan turun temurun yang hampir saja hilang gara-gara terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 187 Tahun 2011. Demi pekerjaan untuk anak cucu, mereka melawan. 

***

Seorang lelaki telentang di dental unit yang sebagian sisinya tampak sudah dipreteli. Mulutnya terbuka lebar saat mesin gerinda berukuran mini berbunyi zinggg..zinggg. Gigi palsu yang sudah terpasang dirapikan satu persatu. Disempurnakan bentuknya agar tertata rapi dalam frame gusi.

Subur Adicahyono (47), sang tukang gigi, dengan teliti memperhatikan susunan gigi atas yang sudah hampir tertata sempurna. Tangannya cekatan mengoles perekat pada gigi palsu yang hendak dipasang. 

Selang lima belas menit, pasien bernama Tejo yang menggunakan kemeja abu-abu itu bangkit dari rebahnya. Sekitar kerahnya dipenuhi serpihan pecahan gigi palsu yang digerinda. Ia kebaskan bajunya. Lalu sang tukang gigi menyapu dan merapikan serpisah yang berserak di lantai.

Pasien beranjak ke kamar mandi. Berkumur. Lalu kembali duduk di dental chair tadi. Mengambil cermin kecil yang sudah diletakkan Subur di sampingnya. Bercermin, meringis, wajahnya seperti lega. Giginya barunya sudah rapi, putih, dan tentu kinclong.

“Langsung nggo mangan mboten nopo-nopo niki? (Langsung untuk makan tidak apa-apa ini?),” tanya sang pasien.

“Aman Pak. Silahkan langsung mawon,” jawab Subur.

Pasien itu lalu beranjak menuju kursi tunggu. Duduk di samping saya. Saya lantas menanyakan perasaannya setelah pasang gigi palsu.

“Rasanya enteng, walaupun kerasa kayak ngemut sesuatu. Tapi mending daripada sebelumnya yang terasa nggedibel,” katanya.

Tak selang lama, setelah berpamitan dengan Subur, pasien itu langsung pergi. Ternyata bapak berusia sekitar 60-an tahun baru saja kontrol, setelah pekan sebelumnya memasang gigi palsu di Safari Dental milik Subur. 

Tahapan dalam pemasangan gigi tiruan diawali dengan konsultasi. Pelanggan datang menyampaikan keluhan dan keinginannya. Setelah dicek oleh Subur, berlanjut pada proses pemilihan bahan untuk frame gigi palsu. Harganya beragam, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp1 juta per giginya termasuk pemasangan.

“Paling murah yang bahan akrilik, lalu ada porselen, paling mahal itu varvlas yang lentur dan fleksibel. Bisa sampai Rp1 juta,” jelasnya.

Subur, keluarganya turun temurun menjadi tukang gigi. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Setelah memilih bahan, pelanggan kemudian melakukan pembayaran. Lalu menunggu proses pencetakan yang paling cepat berkisar tiga hari. Baru setelah itu gigi palsu siap dipasang. Jika ada keluhan, bisa kembali sewaktu-waktu. Namun rata-rata menurutnya, langsung beres.

“Ya sekali pasang itu awet. Apalagi kalau yang giginya sudah ompong. Itu biasanya nanti masalahnya bukan rusak tapi hilang. Kadang lupa naruh dan sebagainya,” ujarnya tertawa.

Perjuangan mempertahankan pekerjaan

Tejo jadi pasien pelanggan pertama di tempat Subur hari ini. Praktik tukang gigi yang sudah buka sejak tahun 2001 ini beberapa tahun belakangan bisa berjalan normal. Padahal, satu dekade lalu, nasibnya sempat di ujung tanduk lantaran terbitnya Permenkes No.187 Tahun 2011.

Aturan itu melarang sepenuhnya aktivitas praktik tukang gigi. Padahal, profesi ini sudah turun temurun beberapa generasi oleh orang dari Madura dan sejumlah daerah di Jawa Timur seperti Jember. 

“Masa itu jadi masa yang berat,” kenang Subur.

Ia ingat, pada masa-masa itu Satpol PP bahkan sampai hendak menurunkan papan-papan nama tukang gigi yang biasanya terpasang di depan tempat praktik. Hal itu menyulut kekhawatiran para tukang gigi di Jogja.

Sebelum Permenkes diketok palu, Subur yang juga menjadi Ketua Ikatan Tukang Gigi Yogyakarta berusaha menenangkan rekan seprofesinya. Ia berpesan supaya mereka tetap bekerja seperti biasa. Meski dinas kesehatan sudah mulai melakukan sosialisasi terkait aturan tersebut.

Namun Subur juga menegaskan pada rekan seprofesi agar tidak melakukan praktik-praktik di luar wewenang. Seperti mencabut gigi, memasang behel, dan hal-hal lain yang masuk koridor medis. Hal-hal tersebut, jika tetap dijalankan, justru akan menghambat perjuangan mereka.

“Kalau sudah seperti itu tapi nanti ada dari instansi yang datang mengganggu, saya akan turun. Bantu memediasi bersama tim hukum yang kami punya,” ujarnya.

Namun, akhirnya aturan itu pun diresmikan. Para tukang gigi ini semakin terdesak. Subur menginisiasi aksi bersama seluruh tukang gigi di Jogja. Aksi di depan gedung DPRD hingga akhirnya berlanjut ke proses audiensi.

“Menggugat Permenkes itu lah intinya. Sebab profesi kami diberhentikan sepihak,” tuturnya.

Seingat lelaki ini, gerakan aksi tukang gigi di Jogja termasuk yang awal. Hingga aksi itu menjadi gerakan yang menyebar ke berbagai penjuru tanah air, termasuk di Jakarta. Aksi tersebut kemudian berlanjut lewat perjuangan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Kebetulan pada masa itu Mahfud MD yang juga putra kelahiran Madura menjabat sebagai Ketua MK.

Perlu waktu hingga 2014, sebelum akhirnya terbit Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 yang membawa nafas lega bagi para tukang gigi. Mereka bisa kembali bekerja seperti biasa. Meski dengan penegasan pembatasan wewenang yang hanya untuk pembuatan gigi tiruan lepasan yang terbuat dari bahan heat curing acrylic. Proses pemasangan juga dilakukan  tidak menutupi sisa akar gigi.

Subur mengakui bahwa sebelumnya para tukang gigi kerap melakukan praktik yang di luar kewenangannya. Terkadang, di tempat kerja ada jarum suntik dan sejumlah peralatan medis. Sekarang, hal itu jadi benda haram bagi mereka.

“Dulu sering ada benda-benda medis itu di tempat praktik mereka. Kadang kan dulu alat itu digunakan untuk mengatasi pendarahan dan sebagainya. Sekarang, jangan sampai ada lagi,” katanya.

Dental unit di tempat Subur bahkan beberapa bagiannya sengaja dilepas. Terutama bagian-bagian yang berkaitan dengan alat medis. Ia mengaku hanya butuh bagian kursinya.

“Apalagi saya harus memberikan contoh bagi yang lain. Tapi ada sebagian yang masih pakai, saya bilangin, kalau ada apa-apa ya silahkan kamu atasi sendiri,” keluhnya.

Subur juga berujar praktik-praktik ilegal tentang gigi bukan hanya dilakukan tukang gigi. Pemasangan behel misalnya, malah banyak dijajakan di salon-salon kecantikan. Harganya terjangkau, tapi tidak ada garansi dan bisa membahayakan gigi dan rahang.

“Bahkan sekarang Rp500 ribu saja ke salon dapet. Masalah memasang breket saja memang mudah. Tapi risikonya itu. Ini kan masalah struktur rahang dan segala macam,” terangnya.

Subur menunjukkan alat-alat yang biasa ia gunakan sebagai tukang gigi. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Mengenai itu. drg. Widya Apsari, Sp. PM, spesialis penyakit mulut memberikan penjelasan risiko perawatan ortodonti yang dilakukan di tukang gigi maupun salon kecantikan. Dari pemakaian behel misalnya, para tukang gigi tak mengetahui hitungan pasti kekuatan kawat gigi yang dipasang. Akibatnya, gigi dapat melenceng, bahkan lepas, dan membuat bentuk rahang jadi tak proporsional.

“Tidak tepatnya penanganan dapat terlihat dari bentuk rahang yang miring, terlihat monyong, atau mulutnya seperti tidak bisa menutup,” ujarnya dilansir dari Tirto.id.

Sejarah panjang profesi tukang gigi

Profesi yang digeluti Subur saat ini sudah berlangsung tiga generasi. Diturunkan sejak kakeknya yang berasal dari Sumenep, Madura. Hingga kini profesi ini sudah jadi mata pencaharian banyak orang Madura di tanah perantauan.

Namun, menurut penuturannya, sejarah awal kemunculan tukang gigi sebenarnya datang dari Jember. Sosok bernama Marginten disebut Subur sebagai tokoh generasi awal tukang gigi dari Jember. Kesuksesan Marginten di sekitar tahun 1940-an membuat banyak saudara hingga kerabatnya terjun di bidang yang sama.

“Pak Marginten itu orang Jember tapi keturunan Madura. Dia pencetus pertama, kemudian diikuti keluarga besar, sampai akhirnya menyebar,” jelasnya.

Subur menyebut kalau dulu generasi awal keturunan Madura itu menimba ilmu pada ahli gigi beretnis Tionghoa. Sebelumnya memang ada banyak orang Tionghoa yang terlebih dahulu menggeluti profesi ini.

Kakek dan ayah Subur pun, sempat belajar langsung ke Jember bersama Pak Marginten. Serta merintis karir awal sebagai tukang gigi di kota tersebut. Di sanalah, Subur lahir dan besar, sebelum akhirnya hijrah ke Jogja tahun 1994.

Kemampuan yang diwariskan turun temurun ini tak serta merta membuat proses belajar berjalan cepat. Subur sendiri mengaku perlu waktu tujuh tahun, membantu ayahnya, sebelum akhirnya bisa dan berani membuka praktik sendiri tahun 2001.

Hal senada juga disampaikan Na’am (53) tukang gigi keturunan Madura asal Jember yang membuka praktik di Jalan Wates. Ia mengaku perlu waktu enam tahun untuk belajar, hingga akhirnya dapat kepercayaan dari keluarganya.

“Proses belajarnya tidak mudah. Ikut saudara dulu. Belum puas, sampai saya sempat ke Purwokerto lalu ke Bandung untuk belajar dengan saudara-saudara saya,” ujar Na’am lewat sambungan telefon.

Setelah proses menimba ilmu yang panjang, Na’am akhirnya mengantongi kepercayaan dari kakaknya. Sebelum membuka praktik sendiri, terlebih dahulu ia belajar memasarkan jasa dari rumah ke rumah. 

“Jadi selain kemampuan harus mendapat kepercayaan,” ucapnya.

Dengan wewenang yang terbatas, tukang gigi menawarkan layanan yang memanjakan para pelanggan. Subur mengaku selalu siap sedia 24 jam apabila ada panggilan maupun keluhan dari pelanggan. Begitu pula Na’am, yang selalu siap dipanggil ke rumah untuk melayani pemasangan gigi.

“Sebagian orang pilih tukang gigi karena fleksibilitasnya. Bisa dipanggil sesuai kebutuhan, tidak antre panjang, dan cepat,” papar Na’am.

Tukang gigi tidak lagi menggunakan peralatan medis dan dilarang melakuan tindakan medis. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Kadang Na’am menghadapi tantangan kurang menyenangkan di lapangan. Suatu hari pernah ada seorang ibu yang memanggilnya datang untuk memasang gigi tiruan. Namun, suami ibu tersebut ternyata tidak percaya pada tukang gigi. Akhirnya ia pulang dengan tangan hampa.

“Begitu ya pernah beberapa kali. Tapi ya memang itu risiko pekerjaan, dihadapi saja,” curhatnya.

Lelaki yang sudah merantau ke Jogja sejak tahun 1990 ini mengaku sejak awal hanya melayani pembuatan dan pemasangan gigi palsu. Tidak pada tindakan-tindakan lain. 

“Dari awal saya tidak melakukan pencabutan gigi dan semacamnya. Kalau memang ada yang butuh tentu saya arahkan ke dokter,” ujarnya.

Untuk segmen pelanggan, kebanyakan memang datang dari para lansia yang giginya sudah banyak tanggal. Namun, baik Subur maupun Na’am bercerita kalau kini pemasang gigi palsu datang dari beragam rentang usia. Paling muda, anak SMP.

Rusaknya gigi sekarang nggak kenal faktor usia. Saya pernah masang anak SMP juga. Bisa karena perawatan yang gigi yang buruk. Bisa juga karena kecelakaan,” tuturnya.

Profesi tukang gigi digeluti oleh ribuan orang di Indonesia. Tahun 2018, jumlah tukang gigi asal Madura diperkirakan ada sekitar 30 ribu orang. Diturunkan turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya.

Na’am misalnya, sudah berupaya menawarkan anaknya untuk meneruskan profesi yang ia geluti. Meski akhirnya anak-anaknya memilih jalan lain untuk masa depan mereka.

Kalau menurut Subur, sebagian tukang gigi yang mapan secara ekonomi justru menyekolahkan anaknya ke jalur medis formal. Meneruskan warisan orang tuanya mengurusi tukang gigi dengan cara yang berbeda.

“Sekarang malah banyak. Anak tukang gigi yang dikuliahkan di kedokteran gigi, ada yang pendidikan tehniker gigi yang khusus untuk buat gigi palsu. Kami ingin meneruskan tradisi, tapi juga mengikuti zaman,” pungkasnya.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Memetakan 8 Usaha Orang Madura di Perantauan Berdasarkan Ciri dan Asal Daerahnya

Exit mobile version