Gagal di Bekasi Buat Perantau Madura Kuliah di UIN Jogja Sambil Jadi Tukang Pijat Panggilan, Sering Dipanggil ke Sarkem sampai Bikin Skripsi tentang Pijat

mahasiswa uin jogja jadi tukang pijat panggilan langganan orang sarkem.MOJOK.CO

Ilustrasi mahasiswa UIN Jogja jadi tukang pijat panggilan (Ega/Mojok.co)

Merantau ke Jogja karena nonton FTV membawa mahasiswa UIN Jogja asal Madura ke jalan rezeki tak terduga sebagai tukang pijat panggilan. Pelanggan jasa Pijat Sehat Warisan Leluhur (PSWL) miliknya beragam, bahkan sempat jadi langganan pekerja Sarkem Jogja.

***

Sejak bekerja, 2-3 bulan sekali atau saat badan seperti kelelahan saya sering menggunakan jasa tukang pijat panggilan. Seperti akhir 2023 lalu, kelelahan setelah melakukan liputan hampir sepekan di luar kota, jadi awal pertemuan saya dengan seorang mahasiswa UIN Jogja asal Madura yang bertahan hidup di perantauan bermodalkan kepiawaian memijat badan.

Tukang pijat panggilan bernama Khoirul Rohman (28) saya kenal berkat rekomendasi dari seorang teman kantor. Katanya, pijatan lelaki yang akrab disapa Oman ini bertenaga dan bikin badan rileks.

Teman saya itu punya cerita unik saat bertama kali mengenal Oman. Ia dapat rekomendasi dari tukang cilok di dekat kosnya, yang ternyata sudah langganan pijat dengan lelaki asal Madura itu.

Pertama kali pijat pijat dengan Oman, memang terasa tangannya terampil mengurut badan yang sedang pegal-pegal. Saat itu, kami hanya berbincang sekilas lantaran saya agak kelelahan sampai tertidur.

Suatu ketika, saya sedang berbincang dengan seorang teman lain yang bekerja sebagai roaster di sebuah kedai kopi ternama Jogja. Kami tiba-tiba saja membicarakan rekomendasi soal tukang pijat yang enak. Obrolan orang dewasa. Tentu, saya menyebut nama Oman. Dan sialnya, teman saya juga sudah mengenalnya lewat jalur yang tak diduga-duga. Hal itu membuat saya sadar bahwa mahasiswa UIN Jogja ini memang bukan tukang pijat biasa.

Ketika perantau Madura terjebak di Jogja gara-gara FTV

Akhirnya, pada Rabu (1/5/2024), bertepatan dengan Hari Buruh saya menghubungi Oman untuk membuat janji pijat jam 4 sore. Beruntung, ia sedang kosong. Dalam sehari, ia membatasai maksimal hanya 5-6 kali melayani janji pijat.

Nantinya, saya tahu bahwa memijat bukan hanya persoalan tenaga yang disalurkan lewat tangan ke badan orang lain. Namun juga banyak menyedot emosi dan pikiran sehingga tak heran kalau lebih dari enam kali memijat orang dalam sehari, bisa-bisa Oman drop di keesokan harinya.

Tepat pukul 4, motor Honda BeAT Oman sudah terparkir di depan kos. Saya keluar untuk menyambut dan mengajaknya masuk ke kamar.

Sosok Omah bersama seperangkat pendukung pijat (Hammam/Mojok.co)

Langsung saja, setelah persiapan sejenak, saya langsung tengkurap. Oman, mulai mengurut telapak kaki saya. Kami langsung memulai perbincangan panjang.

Lelaki kelahiran Sumenep ini, ternyata awalnya datang ke Jogja tidak untuk kuliah. Selepas lulus SMA pada 2017 silam, terlebih dahulu ia merantau ke Bekasi menjadi penjaga warung Madura milik kerabatnya. Pekerjaan itu hanya ia jalani tak sampai setahun lantaran mengaku tidak betah.

“Habis itu saya pulang Mas. Ya, sambil mikir mau ngapain setelah ini,” kata anak pertama dari dua bersaudara itu.

Di saat pulang itulah, Oman sempat banyak menghabiskan waktu di rumah. Salah satu hiburan andalannya saat di rumah adalah menonton televisi, lebih spesifik, drama FTV.

“Nah itu dia, FTV kan sering syuting di Jogja. Saya ini kok jadi kepikiran, kayaknya menarik kalau merantau ke Jogja. Kotanya ini seperti syahdu dan tentram,” katanya antusias.

Tercetus lah ide merantau ke Jogja. Pada 2018, ia pun berangkat dengan modal nekat untuk bekerja. Sampai di Jogja ia dijemput oleh seorang kenalan dan langung bekerja di sebuah kedai kopi milik sesama orang Madura.

Sebelum kuliah di UIN Jogja, jualan “Pentol Cinta Entertainment” sambil jadi tukang pijat panggilan

Dia hanya beberapa bulan saja bekerja di kedai kopi tersebut. Oman, lalu terbesit untuk membuka usaha pentol Madura. Katanya, ia masih jarang melihat pedagang asongan berjualan makanan itu. Padahal, di kota lain, ia jamak menjumpai perantau Madura yang jualan pentol.

Lagi-lagi, gara-gara FTV, ia menamai dagangannya secara cukup nyentrik. Namanya, “Pentol Cinta Entertainment”. Ia terbahak saat menceritakan masa lalunya, tanpa kehilangan fokus memijat badan saya.

“Nanti saya kasih lihat, ada di Facebook saya. Namanya ya kepikiran dari FTV. Logonya, pentol saya tambahin foto teman cewek saya yang cantik, saya izin ke dia dulu,” katanya terbahak.

Optimisme untuk berdagang itu ternyata tak bertemu kenyataan yang manis. Dagangannya tak laku. Oman mengaku banyak salah strategi. Termasuk, tidak menyiapkan dana untuk promo-promo di awal. Usaha itu pun gagal hanya dalam waktu tak sampai dua bulan.

Di saat itulah, ia mulai merasakan pahit hidup di Jogja. Diburu-buru ibu kos untuk segera membayar sewa sementara makan saja ia mengaku mengandalkan mie instan setiap hari.

“Sulit, Jogja ternyata nggak seromantis FTV. Selama seminggu setelah gagal bisnis benar-benar kehabisan uang. Sehari makan sekali, itu pun mie instan. Sampai nangis itu saya di kos,” kenangnya.

Sejak awal merantau ke Jogja, bahkan saat masih hidup di pondok, Oman memang sudah punya sampingan sebagai tukang pijat. Kepiawaian itu ia dapat dari neneknya yang punya profesi serupa. Namun, sejauh itu ia tak pernah mempromosikan dirinya. Hanya sebatas melayani teman sendiri yang butuh pijatan. Dibayarnya pun seikhlasnya saja.

Tak lama setelah masa paceklik di Jogja, rezeki kembali mendatangi lelaki ini. Seorang kenalan, menawarinya untuk bekerja di bagian dapur sebuah kedai kopi. Kesempatan yang berusaha tidak ia sia-siakan.

Kuliah di UIN Jogja sambil gencar promosi pijat panggilan

Saat bekerja itulah, ada momen yang seketika membuat Oman terbesit untuk kuliah. Suatu ketika, seorang temannya, datang ke kedai kopi itu diantar kedua orang tuanya. Rekannya didatangi keluarga ke Jogja karena baru saja wisuda.

“Itu ya, saya langsung kepikiran, kayaknya kok menarik kalau orang tua saya bisa datang dari Sumenep ke sini untuk menghadiri wisuda saya,” kelakarnya.

Akhirnya, pada 2019 ia mempersiapkan untuk kuliah. Awalnya, ia tak ingin memilih UIN Jogja tapi UGM. Ia mengikuti UTBK dengan pilihan jurusan hukum dan psikologi. Pilihan yang membuat teman-temannya tertawa.

“Kata teman saya, orang masuk UGM kalau nggak pintar itu ya kaya. Sementara saya kan nggak keduanya,” katanya. Sialan, selain karena pijatannya, dari tadi badan saya goncang karena tawa.

Benar saja, ketika pengumuman tiba, Oman dinyatakan tidak lolos. Tentu ia kecewa lantaran mengaku sudah belajar buku-buku tebal untuk persiapan tes. Ia pun mengikuti saran temannya untuk mendaftar di UIN Jogja dan beruntungnya, diterima.

Kini, Oman sudah mulai memijat bagian punggung saya sambil menceritakan fase penting dalam hidupnya. Di UIN Jogja, ia sekaligus aktif di organisasi teater. Ia mengaku sudah aktif teater sejak masih di pondok.

Kerja, kuliah, dan mengikuti aktivitas teater yang padat membuatnya kewalahan. Ia harus mengorbankan salah satunya. Ia pun mundur dari pekerjaannya di kedai kopi.

“Sejak 2020, sudah saya niatkan untuk lebih serius mempromosikan keahlian saya di urusan pijat,” ujarnya.

Bukti keseriusan itu, ia mulai membranding jasanya dengan nama PSWL terapi. Lalu, mematok tarif sesuai harga pasaran di Jogja. Saat ini, tarifnya Rp100 ribu per jam dan Rp140 ribu untuk 90 menit. Oman juga mengikuti sertifikasi supaya bisa menyasar pasar tamu-tamu hotel.

“Pokoknya saya seriusi itu. Promosi di Facebook, Instagram, sampai MiChat,” katanya. Aplikasi terakhir itulah yang sempat membawanya ke pengalaman-pengalaman unik sebagai tukang pijat.

Tukang pijat panggilan pekerja Sarkem Jogja

Sudah sekitar satu jam ia memijat urut bagian belakang tubuh saya. Kini, mulai beralih ke bagian depan. Saya mulai bisa mendengar cerita sambil melihat ekspresi kocaknya.

Oman, memang jago promosi. Tak heran, banyak pelanggan yang datang karena getok tular. Ia memanfaatkan segala jalan untuk bisa mendapat pelanggan. Termasuk, lewat dunia teater yang ia geluti di UIN Jogja.

Suatu ketika, tawaran untuk berperan di sebuah film datang kepadanya. Cuma jadi extras atau talen tambahan, tapi baginya, itu pengalaman berarti. Untuk peran di film Ir Juanda Pemersatu Laut Indonesia itu ia rela cukur kumis dan jenggot. Pada hari syuting, ia diinstruksikan untuk datang jam lima pagi.

“Tahu jam berapa akhirnya saya syuting? Jam sembilan malam,” ujarnya tertawa lepas. Lagi-lagi, perut saya goncang.

Padahal, di peran itu ia hanya muncul beberapa detik saja. Sekedar lewat. Bahkan, menurutnya, terkadnag yang tampak bukan wajahnya.

Namun, Oman tidak mau kesempatan itu terbuang sia-sia. Di area syuting, ia sadar bahwa banyak kru yang kelelahan. Akhirnya, ia menyebar kartu nama dan mempromosikan jasa pijat panggilan. Dan, benar saja beberapa hari berselang ia dapat panggilan ke hotel dari beberapa kru film itu. Tak heran, jika teman saya dari berbagai latarbelakang pekerjaan, kok bisa-bisanya tahu sosok mahasiswa UIN Jogja yang aktif teater ini.

Lelaki asal Madura ini memang sempat menerima semua jenis panggilan untuk pijat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Sehingga, suatu ketika seorang pelanggan memanggilnya untuk datang ke sebuah lokasi yang tak terduga, tempat prostitusi Sarkem Jogja.

“Intinya, dia pekerja Sarkem, perempuan. Pertama kali saya datang, bingung masuknya. Benar-benar canggung,” kelakarnya.

Langganan tiga bulan, sampai mengajak rekan-rekan lain di Sarkem

Ia masuk Sarkem dari pintu utara. Awalnya kaget, lantaran harus membayar karcis masuk sebesar Rp3 ribu. Saat itu, kebetulan sekali ia tak bawa uang tunai.

“Saya dicegat, saya bilang mau kerja mijat di dalam. Penjaga tidak percaya, sampai akhirnya saya tunjukkan pemesannya. Lalu, malah mereka arahkan rumahnya di sebelah mana,” katanya.

Itu bukan kali pertama ia memijat wanita tapi ketika tiba di ruangan untuk memijat, keringat dingin mengucur di tubuh Oman. Bukan karena pikiran kotor, melainkan takut, jika terjadi apa-apa.

“Kadang takut aja ini dijebak atau gimana. Kalau urusan yang lain, saya nggak mikir aneh-aneh,” ujarnya.

Ia berusaha hati-hati ketika memijat wanita. Selalu meminta izin, ketika hendak mengurut bagian tertentu. Dan pada kali pertama ke Sarkem, semuanya berjalan lancar.

“Pokoknya orang itu langganan ke saya, setiap minggu, dalam durasi tiga bulan,” kenangnya.

Oman mengaku selalu pakai masker saat masuk Sarkem, alasannya tentu karena sedang pandemi Covid-19. Pada bulan ketiga itulah kemudian ia pernah sekali membuka maskernya.

“Wah Mas, aku ki penasaran dari dulu kamu pakai masker terus. Akhirnya sekarang kelihatan wajahnya,” kata Oman menirukan wanita itu.

Setelah itu, ternyata, tiba-tiba ia dapat pesanan dari beberapa orang lain di Sarkem dan hotel sekitarnya. Ia percaya, selain karena pijat, sikap profesionalnya kepada pelanggan lah yang membuat pelanggan itu kemudian merekomendasikan ke yang lain.

Hal itu membuatnya cukup paham seluk beluk tempat itu. Tempat yang menurutnya tidak hendak ia kunjungi lagi.

“Setelah saya dapat calon (istri), saya sudah nggak menerima panggilan dari perempuan lagi. Apalagi ke sana,” kelakarnya.

Skripsi di UIN Jogja tentang pijat

Setelah melewati proses panjang promosi gencar, kini setiap hari selalu ada pelanggan. Kadang, Oman sampai terpaksa untuk menolak atau menyarankan jadwal lain karena sudah penuh. Jalan hidup yang dulu ragu ia pilih ternyata justru mendatangkan rezeki di Jogja.

Pijat bukan hanya persoalan membuat tubuh pelanggan jadi lebih nyaman dan bugar. Ada interaksi. Dan interaksi dengan beragam jenis orang kadang menyedot energi. Itulah, alasan Oman membatasi jumlah pelanggan per harinya.

Ia mengaku mencintai apa yang dikerjakannya ini. Bahkan, saat ini “tabib” mengisi kolom profesi di KTP-nya. Sampai-sampai, ia pun mengerjakan skripsi di UIN Jogja dengan pengobatan Islam yang masih berkaitan dengan dunia pijat.

Skripsi itu mengambil rujukan dari Kitab Mujarobat karya Syekh Ahmad Dairobi Al Kabir. Kitab yang pernah ia pelajari saat mondok dulu.

“Sebenarnya itu kitab bicara soal tinjauan pengobatan dalam Islam dari segi sufistik. Tapi saya korelasikan dengan dunia pijat yang saya jalani ini,” terangnya.

Sudah sembilan puluh menit, mahasiswa UIN Jogja ini memijat saya. Di fase terakhir, ia menyuruh saya duduk dengan kaki selonjor. Ia menyuruh saya rileks, lalu memegang leher saya dengan kedua tangannya. Seketika, semuanya jadi gelap.

Saya merasa seperti bermimpi untuk sekian detik. Lalu, tersadar dan tiba-tiba badan seperti sangat segar.

“Wah, kayak pingsan saya, apa itu tadi Mas?” tanya saya.

“Ya semacam hipnoterapi. Rileks kan?” katanya menutup sesi pijat kami.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA 3 Rahasia yang Buat Warung Madura Nekat Jualan di Dekat Indomaret dan Alfamart dengan Harga Tak Lebih Murah

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version