Sebagai penyintas bipolar, Jessica Muthmaina (24) berhasil menyelesaikan studinya di Jurusan Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM), meski harus melewati pasang-surut pemulihan diri.
***
Jessica hanya bisa menangis di ruang tunggu puskesmas setelah dokter mendiagnosisnya mengidap bipolar. Suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati, mulai dari posisi terendah yakni depresif atau tertekan ke tertinggi atau manik.
Ia menggambarkan hidupnya seperti zombie. Bak mayat hidup. Rasanya hampa, terombang-ambing, tidak lagi ‘bernyawa’, tanpa tujuan.
“Simpelnya seperti menjalani hidup yang tidak ada arah dari bangun sampai tidur,” ucap Jessica kepada Mojok, Senin (3/2/2025).
Namun, Jessica mampu melewatinya. Berkat keberaniannya pergi ke psikiater, ia jadi bisa mengatasi masalah dan penyakitnya. Sebab, ia sadar penyakit mental akan selalu mengiringi dirinya seumur hidup.

Salah satu mimpi yang berhasil ia wujudkan adalah lulus dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan penyakit yang menyertainya.
“4 tahun aku lalui di Fisika UGM dengan berkali-kali masuk bangsal jiwa, dua kali masuk rumah sakit jiwa, dan satu kali otakku disetrum listrik,” ucap Jessica.
“Aku melaluinya dan aku berbangga,” lanjutnya.
Mendapat teman online
Sejak remaja, Jessica memang punya keingintahuan yang tinggi, tapi rasa penasaran itu justru membuatnya terlihat sebagai sosok yang mengganggu di mata teman-temannya. Akhirnya, ia dijauhi dan tak punya tempat berbagi.
Sementara, pertanyaan-pertanyaan terus muncul di kepalanya. Misalnya, saat Jessica belajar di pesantren. Ia selalu mempertanyakan soal aturan di sana, seperti ‘mengapa perempuan harus menunduk saat laki-laki lewat, padahal keduanya sama-sama manusia yang diciptakan setara?’ atau pertanyaan simpel seperti ‘kenapa dia harus pakai kaos kaki pajang?’
“Pertanyaan itu bikin aku dibenci teman-teman OSIS dan banyak anak-anak lain yang menganggap aku terlalu banyak bertanya,” ucap alumnus UGM tersebut.
Oleh karena itu, Jessica lebih banyak menghabiskan waktunya berselancar di dunia maya. Dari sanalah ia bertemu sosok teman online yang berkenan mendengarkan ceritanya dengan seksama.
Temannya juga yang memberikan pengetahuan soal isu kesehatan mental, hingga mendorong Jessica berani ke psikiater.
“Hormon-hormon di otakku bekerja secara tidak teratur. Sistem di dalamnya naik turun dengan cara yang berbeda dari orang lain,” ujar Jessica.
Temannya pun menyarankan Jessica untuk pergi konsultasi ke psikiater, karena sudah mulai mengganggu fisik dan mentalnya. Lebih dari itu, kondisi tersebut tak hanya berdampak bagi diri sendiri tapi sampai mengganggu orang lain.
Gagal tes di ITB dan lolos di UGM
Akhirnya, Jessica memberanikan diri untuk pergi ke puskesmas di akhir tahun 2017. Ia nekat pergi sendiri dan tak memberitahu keluarganya mengenai masalah yang ia hadapi.
“Aku modal nekat ambil BPJS di lemari ibu yang saat itu sedang umroh,” kata Jessica.
Saat itulah pertama kalinya Jessica mendapat diagnosis sebagai pengidap bipolar. Sembari menunggu obat dari dokter, Jessica hanya bisa menangis sendirian di ruang tunggu.
“Rasanya sedih tapi bukan kayak sedih yang ‘oh, aku kena kanker’ atau apa. Malah yang aku rasakan lebih ke ‘oh jadi semua yang aku rasain tuh bisa diperbaiki ya… itu bisa di-treatment,” ujarnya.
Meski sudah mendapat pengobatan, Jessica sadar penyakitnya bisa kambuh sewaktu-waktu. Apalagi, saat ia dinyatakan gagal masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Astronomi di tahun 2018. Mimpinya seakan hancur, tapi ia berusaha untuk bangkit.
Akhirnya, ia memutuskan gapyear dan mengubah targetnya untuk masuk Jurusan Fisika di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2019.
“Aku mau fisika aja, karena aku penasaran sama kuantum,” ucapnya.
Healing is not linear–ucap alumnus UGM
Jessica sadar, bipolar adalah penyakit seumur hidup. Artinya, ia harus rutin minum obat sepanjang hidupnya agar bisa berdamai dengan penyakitnya.
“Satu hal yang membuat sedih dari being grieving atau being depressed adalah kamu nggak bisa memberhentikan dunia supaya semua tuh terfokus untuk memberikanmu istirahat, nggak bisa. Life must go on,” kata Jessica.
Saat mentalnya down, Jessica tak bisa memberi batas akhir kapan waktunya bersedih dan tidak. Sebab, kata dia, proses sembuh itu bukan soal menang atau kalah, tapi bagaimana cara dia mendengarkan tubuh dan pikirannya saat sedang lelah.
“Kamu bisa tidur atau ketemu buat orang untuk refresh lagi, atau kalau aku dengan masuk bangsal dan disuntik,” ujarnya.
Sepanjang tahun ini, Jessica sudah 10 kali masuk bangsal. Ia merasa tubuhnya bagai komputer yang di-restart. Dokter menyuntik obat penenang ke tubuhnya agar bisa tidur.
“Waktu itu skripsian, habis itu ikutan simposium international di ITB, beberapa minggu sebelumnya aku harus dikejut listrik atau Electroconulsive Therapy (ECT) saking obat anti-depresen udah resistant,”
Berkat kegigihannya, Jessica berhasil menyabet gelar sarjananya di UGM tahun 2024 dengan IPK 3,28. Bahkan, ia mendapatkan beasiswa S2 LPDP untuk Jurusan Astrofisika. Hingga kini, Jessica berusaha menikmati perjalanan ‘sembuh’nya dengan melakukan hal-hal yang ia sukai seperti meriset, menulis jurnal, membaca buku, menonton film sembari minum obat-obatan.
BACA JUGA: Tuntaskan S3 UGM dengan IPK Sempurna, Meski Sempat Ditolak Beasiswa karena Usia atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.