Ilmu Getaran Merpati Putih, Seni Bertarung dalam Gelap yang Perkasa Tanpa Mantra

Ilustrasi Ilmu Getaran Merpati Putih, Seni Bertarung dalam Gelap yang Perkasa Tanpa Mantra. MOJOK.CO

Perguruan Pencak Silat Bela Diri Tangan Kosong (PPS Betako) Merpati Putih merupakan salah satu perguruan pencak silat legendaris dari Jogja. Mereka terkenal dengan latihan fisik yang keras dengan ujian memecah benda keras. Selain itu, perguruan ini juga memiliki seni bertarung dalam gelap yang mengandalkan kemampuan dalam tubuh tanpa mantra.

***

Siang itu saya berada di daerah Jalan Goa Selarong, Sewon, Bantul. Goa yang kini menjadi objek wisata itu dahulu merupakan tempat bersejarah. Pangeran Diponegoro dan pasukannya pernah bermarkas di sana selama melakoni perang gerilya melawan pasukan Belanda.

Namun, saya bukan berada di objek wisata goa, melainkan rumah seorang lelaki yang sudah lebih dari tiga dekade mendalami ilmu bela diri Merpati Putih. Wuryantomo (54) namanya, meski usianya sudah kepala lima, badannya tampak bugar. Wajahnya berseri dan tak banyak kerut. Awalnya saya kira ia masih umur 40.

“Mungkin ini efek beragam latihan di perguruan kami,” ungkapnya tertawa merespons pujian saya. Ia merupakan sosok yang kini aktif melatih di sejumlah kelompok latihan di Jogja. Selain itu juga pernah menjadi pengurus di organisasi pusat Merpati Putih.

Ilmu bertarung dalam gelap

Rumah lelaki ini hanya berjarak satu setengah kilometer dari Goa Selarong. Oleh karena itu, ia menceritakan salah satu kekagumannya pada kemampuan Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang mampu menumbangkan banyak pasukan Belanda saat malam hari. Mengingat pada masa itu pencahayaan masih minim.

“Bekal mereka itu ilmu bertarung dalam gelap.  Itu ada ilmunya, bukan pakai mantra dan segala macam,” ujarnya lulusan Departemen Kimia, UGM ini.

Tomo juga mengaku pernah mendapat ilmu bertarung dalam gelap saat menimba ilmu di Merpati Putih. Saat itu sekitar 1993, empat tahun setelah ia mulai belajar dan ia sudah berada di tingkatan empat ada latihan bertarung di ruang tanpa cahaya.

“Saat tingkat empat saya latihan di sekitar Ambarukmo,” katanya.

Kala itu, ia berdiri di tengah ruangan dengan delapan anggota lain yang mengelilinginya. Setiap anggota yang mengitari telah mendapat nomor urutan. Setelah semuanya siap lampu ruangan pun padam.

Pelatih memberi aba-aba untuk memulai pertarungan. Satu per satu nomor disebutkan secara acak. Para anggota yang sudah disebutkan namanya pun bergerak maju mengincar Tomo di tengah. Dalam gelap, pukulan dan tendangan melayang. Bermodalkan naluri terlatih, mereka saling serang.

Ilmu getaran Merpati Putih

Meski mata nyaris tak bisa melihat apa-apa, mereka bisa saling berbalas serangan dan menghindar. Inilah, hasil latihan salah satu ilmu yang dipelajari di Merpati Putih yakni ilmu getaran.

“Ya saya kena pukul berkali-kali. Jangan dibayangkan yang keren tanpa celah begitu. Tapi setidaknya ada naluri untuk membaca pergerakan dari lawan dalam kegelapan,” kenang Tomo tersenyum.

Menurut Tomo, kemampuan ini sejatinya merupakan menggabungkan metode nafas dengan penghayatan untuk mempertajam sensor tubuh manusia. Tidak ada mantra maupun unsur klenik dalam hal ini.

“Kalau istilah Jawa-nya ini olah rasa. Dasarnya ada di pernafasan, bukan mantra,” katanya.

Guru Besar ( jongkok rambut putih ) dan anggota MP dari Utah USA, di pantai parangkusumo Bantul. MOJOK.CO
Guru Besar ( jongkok rambut putih ) dan anggota MP dari Utah USA, di pantai parangkusumo Bantul. (Istimewa)

Untuk keperluan atraksi, pesilat Merpati Putih kerap memperagakan mengendarai motor dengan mata tertutup. Ilmu ini mulai dikenalkan ke publik sejak 1987.

Seiring perkembangannya, ilmu getaran juga banyak dimanfaatkan untuk membantu para disabilitas netra untuk beraktivitas. Di Jogja misalnya, Merpati Putih pernah berkolaborasi dengan Yayasan Mardi Wuto yang bergerak pada pemberdayaan tuna netra.

Perguruan ini mengklaim sudah membantu lebih dari 3.000 tuna netra di Indonesia agar bisa lebih mudah beraktivitas. Kemampuan itu dinilai bisa membuat seseorang mendeteksi getaran dari benda di sekitar.

Bahkan, ilmu ini pernah dipraktikan oleh prajurit Kopassus saat melakukan pencarian jenazah korban tanah longsor  di Bogor pada Februari 2018 lalu.

“Pada dasarnya, perguruan mencoba untuk memaksimalkan semua potensi yang kami miliki untuk kepentingan orang banyak,” kata Tomo.

Olah nafas Merpati Putih

Olah napas memang jadi salah satu karakter yang melekat pada perguruan yang lahir di Jogja ini. Sejak awal berkembang, sejak jenjang paling awal, para anggota mendapatkan porsi latihan khusus terkait pernapasan.

Merpati Putih sendiri secara organisasi resmi berdiri 2 April 1963. Namun perjalanan keilmuannya telah berkembang jauh sebelum itu. Dasar-dasar ilmu bela diri Merpati Putih bermula sejak era Mataram Islam.

Mulai terorganisir secara lebih mendalam pada era R Sarengat Siswo Hardjono (Sarengat Hadi Poenomo). Sosok tersebut menyandang gelar Sang Guru pada perguruan Merpati Putih yang mulanya merupakan ilmu bela diri yang dipelajari oleh kalangan keluarga saja.

Sang Guru lantas memberikan mandat kepada dua anaknya yakni Poerwoto Hadi Poernomo dan Budi Santoso Hadi Poernomo. Kedua anaknya yang kemudian menyandang gelar Guru Besar ini, berdasarkan amanat sang ayah, akhirnya membuat perguruan terbuka untuk umum.

Perguruan ini memiliki seragam berwarna putih dengan balutan warna merah pada kerahnya. Menunjukkan sisi nasionalisme dan pengabdian pada negara.

Namun, nama perguruan sebenarnya berasal dari sebuah falsafah yakni Mersudi Patising Tindak Pusakane Titising Hening yang artinya mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan ketenangan.

Tomo yang sempat belajar langsung kepada dua Guru Besar menjelaskan bahwa lambang perguruan benar-benar menggambarkan filosofi Merpati Putih. Perguruan ini mengusung perdamaian sebelum kekuatan. Di lambang terdapat beberapa ikon seperti tangan, warna emas, hitam, hingga seekor merpati putih.

“Tangan itu kekuatan. Ada warna emas di tangan yang menunjukkan kita bisa berjaya dengan energi di tangan. Lalu warna hitam itu menunjukkan kekuatan kita ada misterinya, kita tidak tahu batas kekuatan dan tidak tahu kapan bisa muncul. Tapi di depan tangan itu ada merpati, secara universal itu kan perdamaian,” paparnya.

Latihan keras namun mengedepankan perdamaian

Perguruan ini mengedepankan perdamaian. Sikap welas asih merupakan karakter yang dikedepankan Sang Guru. Hal itu juga menjadi alasan mengapa nama depan perguruan ada kombinasi antara pencak silat dengan bela diri. Menurut Tomo, utamanya para anggota diajarkan untuk membela dirinya.

“Bukan untuk menjadi agresor,” tegasnya.

Ia juga menegaskan kalau di perguruan, sanksi tegas membayangi para anggota yang terlibat tawuran atau pertikaian di jalan. Jika ada masalah terkait perguruan maka pengurus yang akan menyelesaikan. Begitu pula dalam ranah politik, ada larangan keras menggunakan atribut Merpati Putih dalam bentuk apa pun bagi anggota yang terjun ke politik praktis.

“Kami ingin jadi merah putih. Terbuka untuk semua dan tidak berafiliasi dengan pihak tertentu saja,” paparnya.

Di sisi lain, kedamaian itu berjalan seiringan dengan porsi latihan yang terbilang keras dan berat di perguruan ini. Bahkan ada ujian pemecahan benda keras dalam setiap jenjang kenaikan tingkat bagi mereka yang sudah berusia di atas 14 tahun.

“Jadi kami benar-benar menggembleng fisik, kemudian olah napas,” paparnya.

Namanya saja Bela Diri Tangan Kosong (Betako), perguruan ini memang menguatkan segala potensi dalam tubuh. Tubuh merupakan pemberian Tuhan yang jadi senjata terbaik bagi para anggota. Sehingga di ketingkatan Merpati Putih terdapat ujian khusus terkait penguatan tangan, kaki, dan anggota badan lainnya.

Pemecahan benda keras menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri akan potensi kekuatan di dalam tubuh. Beragam medium benda keras yang jadi bahan uji, mulai dari balok es, batu sungai, hingga balok semen.

Gunakan senjata secara berpasangan

Gunakan senjata secara berpasangan

Namun, perguruan ini tetap menggunakan senjata sebagai salah satu pendukung aksi bela diri. Guru Besar, Mas Pung, mengibaratkan senjata sebagai sebuah properti sekaligus penambah kelengkapan.

Merpati Putih selalu menggunakan senjata secara berpasangan. Sehingga tangan kanan dan kiri aktif bergerak mengayunkan alat untuk menimbulkan keseimbangan.

Tomo tiba-tiba izin beranjak untuk mengambil contoh senjata di rumahnya. Ia kembali membawa tongkat panjang yang terbuat dari kayu glugu atau pohon kelapa dan replika pisau kudi dengan gagang yang mirip sehelai bulu merpati.

Tongkat tersebut panjangnya sekitar 160 cm. Panjangnya setara dengan pembuatnya yakni Guru Besar Mas Pung.

“Nggak tinggi kan beliau. Tapi kemampuannya luar biasa,” kata Tomo. Saat saya memegangnya, panjang tongkat memang hanya setinggi hidung saya.

Karakter dan keunggulan pencak silat Merpati Putih membuatnya juga digunakan oleh pasukan militer sebagai pendamping bela diri khusus militer.

Jadi beladiri Kopassus

Mulanya Guru Besar mendapat kepercayaan untuk melatih pasukan pengamanan presiden (Paspampres) pada 1976. Lalu berlanjut melatih pasukanan khusus Kopashanda yang kemudian berganti nama menjadi Kopassus. Pastukan elit TNI AD ini hingga kini masih berlatih Merpati Putih.

Bela diri Merpati Putih mengajarkan olah nafas salah satunya untuk pemukulan benda keras. (Istimewa)

Mayor Jenderal TNI Mohammad Hasan saat menjadi Danjen Kopassus pada 2020-2021 mengungkapkan bahwa Prajurit Baret Merah sejak lama menjadikan beladiri tersebut sebagai andalan. Kemampuan tersebut selalu terpelihara di kalangan prajurit dari generasi ke generasi.

“Setiap prajurit dituntut untuk menguasai teknik beladiri ini,” terangnya dalam YouTube Markas Komando Pasukan Khusus.

Ilmu pencak silat ini ia anggap membantu menjaga kesehatan dan kebugaran para prajurit. Selain itu, teknik-tekniknya dapat berguna dalam beragam tugas di lapangan. Salah satunya pada tugas pencarian korban tanah longsor yang pernah prajurit lakukan.

Tingkatan keilmuan di perguruan ini berawal dari tingkat dasar I dan II, berlanjut tingkat balik I dan II, tingkat kombinasi I dan II, tingkat khusus (tangan, kaki, badan), tingkat kesegaran, dan tingkat inti I dan II. Sementara itu, dalam organisasi terdapat predikat Sang Guru, Guru Besar, Dewan Guru, dan Pewaris Muda.

Di tengah perkembangannya saat ini, Merpati Putih tidak mengenal gelar pendekar bagi para anggotanya. Menurut Tomo, ide tentang pendekar memang sempat tercetus namun masih dalam proses pematangan konsepsi.

“Karena idealisme kita sesuai dengan pesan Mas Bud,  jadi pendekar itu jadi insan perguruan tanggap, tangguh, dan mumpuni. Kalau secara agama, betul-betul insan kamil, itu kan susah, secara tidak mudah di zaman sekarang,” pungkasnya.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Perjalanan Pagar Nusa, Perguruan Pencak Silat dari Pesantren NU yang Lahir karena Keresahan Kiai

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version