Biji kopi robusta hasil lahan di Desa Muncar, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah kini jadi incaran konsumen. Padahal, beberapa tahun lalu, warga kerap dilanda frustasi karena harga jual yang rendah dan pemasaran yang terbatas.
Kopi sebenarnya sudah jadi komoditas yang hampir pasti ditanam oleh warga desa. Namun, minimnya pengetahuan membuat potensi itu belum termaksimalkan.
Beberapa tahun belakangan, hal itu berubah. Bahkan kopi menghadirkan banyak dampak lain yang membuat desa ini langsung moncer selepas pandemi mereda.
***
Secangkir kopi yang hampir tandas tergeletak di hadapan Jumiran (56). Kopi yang ia minum, semua proses mulai dari perawatan tanaman hingga pasca-panen dilakukan di desanya tinggal. Desa Muncar, Kecamatan Gemawang yang letaknya di ujung utara Kabupaten Temanggung.
Sore itu ia duduk di teras sambil menatap sawah yang terhampar tepat di depan rumahnya. Sawah yang dikelilingi perbukitan yang menjulang di segala penjuru arah.
“Coba tengok di perbukitan itu, isinya kebun kopi dan pohon aren,” ujarnya sambil menunjukkan tangan. Mengajak saya memperhatikan detail pemandangan di sekeliling.
Desa Muncar kala itu dikelilingi kabut pasca-hujan seharian. Suasana seperti ini, kata sosok yang akrab disapa Jujuk, merupakan momen terbaik menikmati secangkir kopi robusta sambil beristirahat usai aktivitas seharian.
Jujuk merupakan sosok yang lahir dan besar di desa ini. Sehari-hari selain bekerja sebagai perangkat desa, ia juga mengelola beberapa kebun kopi robusta di Desa Muncar. Ia ingat betul bahwa sejak lama, kopi robusta menjadi komoditas yang ditanam hampir oleh semua warga desanya.
“Dulu, sempat ditanami tembakau juga, tapi kemudian masyarakat memilih untuk beralih ke kopi,” paparnya.
Cerita pertemuan warga dengan komoditas kopi sudah terjalin sejak era kolonial Belanda. Dulu di daerah sekitar Muncar terdapat sebuah perkebunan yang dikelola perusahaan kolonial -kini beralih menjadi PT Perkebunan Nusantara. Banyak di antara warga yang kemudian bekerja menjadi buruh perkebunan tersebut.
Hal tersebut diperkuat dengan keberadaan sebuah prasasti VOC tahun 1619 yang ditemukan di Bukit Tanggulangsi, tak jauh dari Muncar. Prasasti itu menunjukkan bahwa kawasan ini punya potensi besar untuk ditanami komoditas kopi jenis robusta.
Para warga desa yang bekerja sebagai buruh, mulai tertarik untuk menanam kopi di lahan milik mereka sendiri. Namun, konon cerita yang didengar Jujuk, dahulu untuk mendapatkan bibit tidaklah mudah. Bibit belum banyak tersedia.
“Sehingga para pekerja itu kadang-kadang mengambil bibit dari perkebunan untuk ditanam sendiri,” terangnya.
Berjalannya waktu, hampir semua warga menanam kopi di lahan yang mereka kelola. Mayoritas warga di sini memang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
Kopi punya musim panen setahun sekali. Biasanya di rentang waktu Juli-Agustus. Sehingga kopi, buat warga dijadikan sebagai ‘pelarian’ sekaligus tabungan untuk kebutuhan-kebutuhan yang besar seperti menyekolahkan anak hingga merenovasi rumah.
Untuk kebutuhan sehari-hari, warga mengandalkan komoditas pendamping seperti jagung, pisang, talas, dan ubi. Ada pula pohon aren yang ditanam berdampingan dengan kebun kopi. Aren disadap niranya sebagai bahan produksi gula aren. Semua itu jadi andalan warga untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Kopi belum dipercaya sepenuhnya
“Hasil produksi belum maksimal. Pengolahan belum benar. Selain itu harga jualnya juga tidak menguntungkan petani. Padahal itu jadi tumpuan pemasukan besar setiap tahun,” curhat Jujuk.
Dulu, warga belum memahami perawatan pohon kopi dengan baik. Kopi dibiarkan tumbuh menjalar tinggi layaknya tanaman hutan. Alhasil seringkali hasilnya kurang maksimal baik secara kuantitas maupun kualitas.
Proses pemanenan juga terbilang masih asal-asalan. Kebanyakan petani lebih memilih petik hijau padahal secara kualitas belum ideal. Alhasil, harga jualnya pun kurang menguntungkan.
“Hal itu membuat banyak yang menyelingi kebun kopi dengan pohon penghasil kayu seperti sengon laut,” ujarnya.
Padahal menurut Jujuk, hal itu membuat kuantitas hasil panen kopi berkurang lantaran zat hara di tanah tersedot ke pohon lain. Saat dibarengi pohon lain seperti sengon laut, satu pohon kopi hanya bisa menghasilkan kopi di bawah lima kilogram saat musim panen.
“Padahal kalau kopi saja itu sebenarnya bisa menghasilkan jauh lebih banyak, lebih dari sepuluh kilogram setiap pohonnya,” paparnya.
Kondisi itu terjadi di Muncar selama bertahun-tahun. Hal yang membuat tanah dengan potensi kopi berkualitas ini belum merasakan manfaatnya secara maksimal.
Dari kediaman Jujuk, saya melangkah ke permukiman di sisi utaranya. Menyambangi rumah Sukarjan (47) yang merupakan petani sekaligus pengolah kopi. Sore itu, mesin roasting kopi di rumahnya baru saja usai beroperasi. Harum biji kopi yang mentas disangrai memadati salah satu ruang di rumahnya.
Mesin roasting itu merupakan hibah dari PT Astra International Tbk melalui program yang bertajuk Desa Sejahtera Astra (DSA). Muncar didapuk sebagai salah satu desa yang dinilai berpotensi sehingga sejak 2018 silam mendapat bimbingan serta bantuan.
Sukarjan menceritakan kalau dulu, persoalan utama petani kopi adalah harga jual yang belum menjanjikan. Satu kilogram green bean kopi diberi harga tengkulak di bawah Rp20.000.
“Dulu dapat harga Rp17 ribu per kilo saja sudah bagus itu,” kenangnya.
Proses distribusi kopi para petani di sini masih terbatas pada tengkulak-tengkulak. Mereka tidak punya banyak pilihan sehingga harga yang ditawarkan pun mau tak mau diterima.
Ada satu momen ketika Sukarjan, melalui koleganya, berhasil membawa kopi robusta Muncar menjuarai kompetisi nasional. Pada kompetisi uji cita rasa kopi (cupping) di Banyuwangi 2015 silam itu kopi Muncar keluar sebagai juara dua.
“Momen itu cukup berdampak. Kopi kami mulai diperhitungkan,” ujar Sukarjan.
Kebangkitan perlahan
Salah satu dampak kemenangan itu adalah harga kopi yang mulai naik perlahan. Beberapa tahun selanjutnya, PT Astra International juga mulai melirik potensi yang dimiliki desa ini. Lewat fasilitator DSA Temanggung bernama Achmad Sofiyudin, Muncar mulai mendapatkan pendampingan intensif.
Sofi mengajak warga untuk menggali potensi desanya secara lebih mendalam. Bantuan-bantuan pun disalurkan sesuai kebutuhan warga untuk memaksimalkan potensi desanya. Fokus utama Astra saat pertama masuk adalah di bidang kopi.
“Pertama ini kami dapat bantuan mesin roasting. Ada dua mesin dari Astra di desa ini,” kata Sukarjan.
Sukarjan melanjutkan bahwa bantuan Astra melalui pendampingan Sofi begitu berdampak. Warga desa mulai sadar akan pentingnya perawatan hingga proses pasca-panen yang benar.
Warga mulai lebih gencar melakukan petik merah, alih-alih petik hijau seperti yang sebelumnya lazim dilakukan. Proses panen pun dilakukan sistematis mulai dari petik merah biji kopi, perimbangan, penjemuran, huller, sortasi biji, sampai pengemasan atau penyimpanan.
Penjemuran juga mulai menggunakan sistem para-para. Sistem ini membuat penjemuran tidak langsung dilakukan di permukaan tanah, akan tetapi menggunakan alat seperti rak janjang. Sehingga hasilnya lebih sempurna.
Selanjutnya, harga green bean kopi pun secara konsisten berada di angka yang ideal menurut para warga. Jika tadinya harganya di bawah Rp20 ribu, sejak saat itu mulai konsisten antara Rp25 ribu sampai Rp30 ribu.
“Kalau petik merah bahkan sampai Rp35ribu per kilogram,” katanya.
Kehadiran Astra, menurut Sukarjan, juga berdampak dengan terbukanya jalur-jalur pemasaran yang dulu tidak disadari warga. Sejumlah pemain industri kopi masuk ke Muncar. Membuat mereka punya semakin banyak pilihan dan tidak hanya berpangku pada tengkulak lokal.
“Bahkan belakangan, kami jadi yang kurang mampu memenuhi permintaan pasar,” paparnya. Setahun, jika dikumpulkan, seluruh Kepala Keluarga (KK) di Muncar dapat menghasilkan ratusan bahkan seribu ton biji kopi.
Momen kebangkitan itu berlanjut, warga mulai berkonsolidasi lewat kelompok tani. Selain itu, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) juga dibentuk. Perhatian Astra bersambut dengan kesadaran warga untuk memajukan desanya.
Pokdarwis Muncar Moncer kemudian memproduksi olahan kopi dengan kemasan yang siap dipasarkan secara daring maupun luring. Produk itu diberi nama Muncar Moncer Coffee yang dibalut kemasan yang cukup premium.
Produk unggulan lain yang diciptakan adalah Muncar Moncer Gula Semut. Olahan gula aren hasil dari kebun-kebun petani.
“Keduanya itu kalau dikonsumsi bersamaan, mantap rasanya,” kata Sukarjan dengan senyum sumringah. Komoditas lain seperti seperti pisang, talas, hingga daun kopi juga diolah menjadi produk siap jual berupa keripik.
Siasat moncer setelah pandemi selesai
Selanjutnya, Herbimono (44), ketua Pokdarwis Muncar Moncer mengatakan bahwa setelah mulai menaikkan pamor kopi Muncar, perlahan warga tergerak untuk memaksimalkan potensi wisata di desa. Hal itu berawal dari gelaran Festival Panen Raya Kopi 2019 yang digelar di Muncar.
“Saat itu, saya berdiskusi dengan fasilitator Mas Sofi, ia melihat banyak potensi desa yang bisa dioptimalkan,” terang Herbi.
Desa Muncar punya sejumlah potensi wisata alam yang menarik. Bentang alam perbukitan mempunyai sudut-sudut menarik untuk digali. Mulai dari pemandangan persawahan, bukit, air terjun, hingga aktivitas edukasi pertanian bersama warga.
Desa ini terdiri dari delapan dusun yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Aktivitas wisata terpusat di Creative Hub yang terletak di dusun Muncar Gumuk. Setiap dusun lain punya destinasi dan hal menarik untuk dikulik.
Awal 2020, proses untuk menggerakkan wisata desa dilakukan. Astra menyalurkan bantuan untuk pembangunan jembatan sawah yang menjadi salah satu landmark wisata di Muncar. Namun, tiba-tiba saja, langkah itu terhentak pandemi Covid-19.
“Tapi justru di situ kami melihat potensi,” ujar Herbi seketika.
Pandemi membuat mobilitas keluar masuk daerah menjadi terhambat. Menarik minat wisatawan untuk berkunjung tentu bukan perkara mudah. Namun, mobilitas keluar yang terbatas justru membuat geliat di dalam desa bisa dioptimalkan.
Akhirnya, warga di desa mulai bergerak. Mereka punya kesadaran bahwa apa yang dibangun saat itu bisa berdampak jangka panjang. Proses kecil tapi berkelanjutan.
“Intinya kami itu hanya memaksimalkan apa yang ada di desa. Bukan membuat sesuatu yang tidak ada di desa,” terangnya.
Hal itu membuat warga tidak punya ketergantungan pada wisata ini. Tersedia beragam paket wisata yang ditawarkan. Namun, semua itu perlu direservasi. Sehingga pada hari biasa, warga pun dapat beraktivitas normal.
Paket wisata yang ditawarkan cukup beragam. Mulai dari tur agrowisata kehutanan, tur kopi dan produksi gula, dan beragam hal menarik lainnya.
Wisatawan yang hendak menginap diberi tempat di homestay yang menyatu dengan rumah warga. Rumah Herbimono misalnya, menyediakan dua kamar yang bisa disinggahi wisatawan.
“Awalnya ada beberapa rumah saja, sekarang total sudah ada 25 kamar yang tersebar di sejumlah warga,” terangnya.
Biaya menginap dipatok seharga Rp100 ribu per malam. Hasil itu akan dibagi antara induk semang dan alokasi untuk kas operasional wisata desa.
“Saat itu kami punya keyakinan bahwa ini bisa menjadi daya tarik seusai pandemi. Momen sulit ini kami gunakan untuk bersiap,” terangnya.
Dan betul saja, pada 2022 ketika pandemi melandai, persiapan panjang itu membuahkan hasil. Herbimono menunjukkan buku tamu yang menginap di rumahnya. Tercatat daftar panjang pengunjung mulai dari beberapa stasiun televisi yang hendak meliput, wisatawan lokal dan mancanegara, hingga para akademisi yang hendak melakukan penelitian.
“Sepanjang 2020 dan 2021 memang ada. Tapi setelah pandemi memang kami langsung siap,” katanya.
“Ibaratnya, ketika yang lain baru bangkit kami langsung moncer,” kata sosok yang dijuluki kepala suku ini serawa tertawa.
Wisata desa ini, menurut Herbimono, tujuan utamanya adalah mengenalkan kopi secara lebih luas. Dua hal yang tak bisa terpisahkan. Upaya mengenalkan desa lebih luas lewat potensi wisata bermuara pada produk kopi Muncar yang semakin dikenal.
***
Semalam di Muncar, memberikan gambaran bahwa desa ini telah melewati perjalanan panjang hingga mencapai titik saat ini. Pagi harinya, saya ditemani pemuda sekaligus pegiat desa bernama Himawan Yoga Amrullah (27) untuk berkeliling.
Jalan penghubung antar-dusun melewati perkebunan kopi robusta yang membentang melintas perbukitan. Pagi itu, di jalan para warga sudah berduyun-duyun berangkat ke ladang kopi untuk melakukan perawatan.
Tujuan utama kami adalah Bukit Mbelang yang terletak di dusun Blawong Kulon. Ini merupakan titik tertinggi di Muncar. Saat tiba di puncaknya, terlihat permukiman warga yang kebanyakan rumah bertingkat. Bagian atas rumah warga itu dibuat lapang.
“Bagian atas rumah itu biasanya untuk menjemur kopi,” ujar Himawan.
Matanya khidmat memandang ke sekitar. Ini merupakan pemandangan yang biasa ia lihat sehari-hari. Namun, ia mengaku tak bosan.
Dulu, Yoga sempat merantau ke luar kota untuk menempuh studi perguruan tinggi dan bekerja. Namun, setelah melihat perkembangan desanya, sejak 2019 ia memutuskan untuk pulang kampung.
“Sekarang kami bangga dengan desa ini. Banyak anak muda yang merantau lalu balik seperti saya,” pungkasnya.
Letak Muncar boleh jauh dari pusat Kabupaten Temanggung. Aksesnya melewati jalan naik turun perbukitan. Namun kini, selain menarik pelancong datang juga membuat anak mudanya optimis dengan masa depan di kampung halaman.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono